Kamis, 24 November 2016

“MENZIARAHI” SANG MAHAPUTERA MOHAMMAD YAMIN DI TALAWI



Dari Kota Sawahlunto, selepas waktu sholat Zhuhur, menuju Kota Batusangkar. Cuaca sangat bersahabat. Walau di beberapa arah terlihat awan hitam bergerak di langit. Sebagaimana biasanya, setiap perjalanan, mataku selalu menyapu daerah-daerah yang kulalui, menemukan objek menarik untuk direkam dalam sebentuk gambar foto. Namun kali ini, tidak banyak momen dan objek menarik hatiku. Hingga aku lebih menikmati saja jalan yang kulalui. Antara Kota Sawahlunto dan Kota Batusangkar terdapat Kecamatan Talawi.




SEBELUM perjalanan ke Kota Sawahlunto, sejak awal sudah kurancang mengunjungi Talawi. Aku hendak berziarah ke Makam Prof. Mr. Mohammad Yamin, S.H. Beliau merupakan tokoh sastrawan, sejarawan, budayawan, politikus dan seorang ahli hukum yang dihormati sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Tercatat sebagai salah seorang perintis puisi modern Indonesia. Pelopor lahirnya Soempah Pemoeda, sekaligus “pencipta imaji keindonesiaan” yang mempengaruhi sejarah persatuan Indonesia.

Nama Talawi bagiku selalu menjadi ingatan tak terlupakan. Di salah satu dataran tanah perbukitan di Talawi, tahun 1984 pernah diselenggarakan Kemah Seniman se Sumatera oleh BKNNI Sumatera Barat yang digagas oleh sastrawan dan budayawan Chairul Harun. Pesertanya lebih dari 1000 orang. Dihadiri tidak saja para seniman dari Sumatera tapi juga dari Pulau Jawa. Termasuk para pelajar dari sejumlah sekolah menengah atas terkemuka di Sumatera Barat.




Kemah Seniman se Sumatera itu, meninggalkan kenangan mendalam bagiku. Tentu juga bagi para seniman lain yang menjadi peserta. Selain diikuti dari berbagai daerah, di momen ini pernah tercetus sebagai hasil diskusi, mendorong setiap pemerintah kota dan kabupaten di Sumbar untuk segera mendirikan Medan Nan Bapaneh.  Suatu fasilitas “membangkitkan” dan “menjaga” semangat seni pertunjukan di daerah masing-masing terhadap kesenian tradisi dan kontemporer.

Ketika kembali datang ke Talawi setelah masa jauh berlalu, sungguh…, aku tak dapat menemukan jejak lokasi perbukitan dimana pernah terjadi suatu peristiwa besar kegiatan kesenian para seniman Sumatera Barat (Sumbar). Kemah Seniman. Wajah Talawi kini sudah jauh berkembang. Sudah semakin ramai orang, ramai bangunan didirikan dimana-mana. Aku pun tak hendak pula bertanya dimana terletak lokasi masa lalu itu.

Namun aku tetap teringat, pada momen Kemah Seniman se Sumatera itu, aku gunakan kesempatan berjalan kaki dari lokasi perkemahan untuk berkunjung ke Makam Mahaputra Mohammad Yamin.  Lokasinya tidak berapa jauh dari lokasi perkemahan. Waktu itu terasa lengang. Makamnya pun tak begitu terawat dengan baik. Walau sudah diberi pagar tembok, beratap seng, terkesan semacam pondok biasa. Karena ada penanda berupa tulisan yang dipancang dengan tiang. Memberi kesan bahwa makam itu bukanlah “orang biasa.”




Mohammad Yamin bukan orang biasa tapi luarbiasa. Beliau dilahirkan di Talawi, Sawahlunto, pada 23 Agustus 1903. Merupakan putra dari pasangan Usman Baginda Khatib dan Siti Saadah yang masing-masing berasal dari Sawahlunto dan Padang Panjang. Ayahnya memiliki enam belas anak dari lima istri, yang hampir keseluruhannya kelak menjadi intelektual berpengaruh. Saudara-saudara Yamin antara lain : Muhammad Yaman, seorang pendidik; Djamaluddin Adinegoro, seorang wartawan terkemuka; dan Ramana Usman, pelopor korps diplomatik Indonesia. Selain itu sepupunya, Mohammad Amir, juga merupakan tokoh pergerakan Kemerdekaan Indonesia.

Makam M.Yamin di Talawi terletak di salah satu sisi ruas jalan penghubung Kota Sawahlunto dengan Kota Batusangkar. Hanya 27 km dari Kota Batusangkar. Sayang letter nama penanda bahwa itu merupakan makam tokoh sejarah, hurufnya “dibiarkan” tidak lengkap. Semoga instansi pengelola segera memperbaiki, kalau perlu mengganti dengan bahan yang lebih tahan oleh cuaca dan “kejahilan” tangan-tangan tak bertanggungjawab.

Mohammad Yamin memulai karier sebagai seorang penulis pada decade 1920-an semasa dunia sastra Indonesia mengalami perkembangan. Karya-karya pertamanya ditulis menggunakan bahasa Melayu dalam jurnal Jong Sumatera, sebuah jurnal berbahasa Belanda pada tahun 1920. Karya-karya terawalnya masih terikat kepada bentuk-bentuk bahasa Melayu Klasik. 




Pada tahun 1922, Yamin muncul untuk pertama kali sebagai penyair dengan puisinya, Tanah Air; yang dimaksud tanah airnya yaitu Minangkabau di Sumatera. Tanah Air merupakan himpunan puisi modern Melayu pertama yang pernah diterbitkan.

Himpunan Yamin yang kedua, Tumpah Darahku, muncul pada 28 Oktober 1928. Karya ini sangat penting dari segi sejarah, karena pada waktu itulah Yamin dan beberapa orang pejuang kebangsaan, memutuskan untuk menghormati satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia yang tunggal. Dramanya, Ken Arok dan Ken Dedes yang berdasarkan sejarah Jawa, muncul juga pada tahun yang sama.

Dalam puisinya, Yamin banyak menggunakan bentuk soneta yang dipinjamnya dari literatur Belanda. Walaupun Yamin melakukan banyak eksperimen bahasa dalam puisi-puisinya, ia masih lebih menepati norma-norma klasik Bahasa Melayu, berbanding dengan generasi-generasi penulis yang lebih muda. Ia juga menerbitkan banyak drama, esei, novel sejarah, dan puisi. Ia juga menterjemahkan karya-karya William Shakespeare (drama Julius Caesar) dan Rabindranath Tagore.




Penunjuk waktu di pergelangan tangan, menunjukkan kurang dari pukul 13.00 WIB. Senin 21 November 2016. Suasana jalan tidak ramai. Maklumlah hanya sebuah kota kecamatan. Begitu juga kompleks makam terbilang luas arealnya dengan suasana senyap. Terdapat 2 buah pintu pagar untuk keluar masuk makam, hanya pintu sisi bahagian kiri yang dibuka. Ada pos penjagaan tapi dalam keadaan tertutup. Ada seorang laki-laki ---mungkin tenaga kebersihan--- kutemui berada dekat pintu, padanyalah aku meminta izin. Beliau terkesan ramah. Mempersilahkan, “Silahkan. Tidak apa-apa (tidak masalah),” katanya tersenyum. Kemudian melanjutkan pekerjaannya.




Aku segera melangkah ke dalam kompleks Makam Mahaputera. Luas arealnya menurut hematku pantas. Tidak terlalu luas, juga tidak terlalu sempit. Penataannya pun terkesan lapang. Sementara sisi bahagian menghadap jalan raya, terkesan rindang. Areal bersih dan terawat dengan baik. Bangunan tempat berada makam, dengan arsitektur “rumah bagonjong,” sangat dipujikan. Terbuka tanpa dinding. Sementara baik tiang maupun bahagian-bahagian sebagaimana biasanya rumah bagonjong dipenuhi motif ukiran, bangunan pelindung makam juga demikian.


Makam M.Yamin tahun 2017, Sketsa Body Dharma


Karier politik Yamin dimulai ketika ia masih menjadi mahasiswa di Jakarta. Ketika itu ia bergabung dalam organisasi Jong Sumatranen Bond dan menyusun ikrah Sumpah Pemuda yang dibacakan pada Kongres Pemuda II. Dalam ikrar tersebut, ia menetapkan Bahasa Indonesia, yang berasal dari Bahasa Melayu. sebagai bahasa nasional Indonesia. Melalui organisasi Indonesia Muda, Yamin mendesak supaya Bahasa Indonesia dijadikan sebagai alat persatuan. Kemudian setelah kemerdekaan, Bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi serta bahasa utama dalam kesusasteraan Indonesia.

Karya-karya Mohammad Yamin:
  • Tanah Air (puisi), 1922
  • Indonesia, Tumpah Darahku, 1928
  • Kalau Dewa Tara Sudah Berkata (drama), 1932
  • Ken Arok dan Ken Dedes (drama), 1934
  • Sedjarah Peperangan Dipanegara, 1945
  • Tan Malaka, 1945
  • Gadjah Mada (novel), 1948
  • Sapta Dharma, 1950
  • Revolusi Amerika, 1951
  • Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, 1951
  • Bumi Siliwangi (Soneta), 1954
  • Kebudayaan Asia-Afrika, 1955
  • Konstitusi Indonesia dalam Gelanggang Demokrasi, 1956
  • 6000 Tahun Sang Merah Putih, 1958
  • Naskah Persiapan Undang-undang Dasar, 1960, 3 jilid
  • Ketatanegaraan Madjapahit, 7 jilid

Penghargaan
  • Bintang Mahaputra RI, tanda penghargaan tertinggi dari Presiden RI atas jasa-jasanya pada nusa dan bangsa
  • Tanda penghargaan dari Corps Polisi Militer sebagai pencipta lambang Gajah Mada dan Panca Darma Corps
  • Tanda penghargaan Panglima Kostrad atas jasanya menciptakan Pataka Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat.




Setelah kemerdekaan, jabatan-jabatan yang pernah dipangku Yamin antara lain anggota DPR sejak tahun 1950, Menter Kehakiman (1951-1952), Menteri Pengajaran, Pendidikan, Pendidikan dan Kebudayaan (1953–1955), Menteri Urusan Sosial dan Budaya (1959-1960), Ketua Dewan Perancang Nasional (1962), Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (1961–1962) dan Menteri Penerangan (1962-1963).

Ada setengah jam lamanya berada di areal Makam Mahaputera Mohammad Yamin; mendatangi tempat makam, berkeliling sejenak, kemudian duduk di bangku besi di bawah pohon yang rindang. Memandang areal pelataran di hadapan. Yang terbayang ialah, andaikan seniman dan pemerintah daerah dapat mengelolanya, menghidupkan dengan kegiatan “kebahasaan” di sini, tempatnya sangat memadai. Tentu juga suatu penghormatan buat Sang Mahaputera. Sebagaimana cita-citanya, tanah air, bahasa dan bangsa: Satu Indonesia.




Seperti beliau lahir di Talawi, tumbuh dan berkembang diluar Talawi. Dalam usianya 59 tahun kemudian, beliau dibaringkan di samping makam ayahnya di Talawi. Kembali di Talawi. Mohammad Yamin wafat di Jakarta, 17 Oktober 1962. (Bahan Data, dikutip dari Wikipedia Indonesia).

abrar khairul ikhirma
Selasa 22 November 2016

2 komentar:

  1. Bermanfaat..
    Terimakasih dapat membacanya.

    Salam
    Semoga Baik dan Sehat, Sobat

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih masih menyempatkan diri untuk membaca.
      sama2 semoga juga baik dan sehat...

      Hapus