Sabtu, 12 November 2016

KEDAI KECIL DI PEKAN BARU CHANGLUN II, AKU MENEMU "KEMERDEKAAN" MANUSIAWI



HANYA suatu kebetulan saja.
Apa yang lebih hebat dari suatu kebetulan?
Karena kebetulan ini, aku merasa tergelitik untuk menuliskannya. 




Pertama menjejak Negeri Kedah, terletak di Utara Malaysia, aku merasa akrab dengan suasananya. Aku masih dapat menyaksikan pohon, masih dapat berlepas pandang dengan kawasan terbuka, kedai-kedai kecil, meskipun jalan-jalan penghubung beraspal meretasnya di sana sini. Kemudian terpasah di Pekan Baru-Changlun II ---sesuai dengan tulisan di plank merek penanda kedai— tempat bersantai sejenak. Menikmati sepiring nasi goreng kampong dan secangkir kopi O hangat.

Oh ya, aku tidak mengetahui apa-apa perbedaan nasi goreng kampong dengan nasi goreng kota (barangkali ?)  Antara kampong dengan kota secara umum, aku dapat memahaminya. Tapi sepiring nasi goreng di Malaysia ini ? Terus terang aku tak faham. 




Bagiku sederhana saja, aku tak suka makanan yang aneh-aneh. Maksudnya varian-varian kuliner macam kue bolu ya kue bolu saja. Tidak diberi hiasan mentega berlapis-lapis, mises, coklat rasa strawberry atau apalah namanya, yang kerap ada pada pesta-pesta. Begitu juga pada minuman. Teh rasa jeruk, jeruk rasa vanilla, vanilla rasa jahe. Bagiku minuman keseharianku hanya kopi hangat. Kopi, gula dan air hangat. Itu saja.

Pagi-pagi sejak berangkat dari Kuala Lumpur aku tak sempat merokok, sampai kini menjejak Kedah.
Betapa kulalui  waktu selama itu dengan kesabaran. Menghormati aturan bersama walau “terbelenggu” kemerdekaan. Tahukah orang banyak selama ini dimana-mana, “kenikmatan” yang menurut mereka demi “kesehatan” itu, ada banyak orang ikut “berkorban” mewujudkannya ???

Di kamar penginapan ber-AC, tak ada jendela. Lobi  penginapan itu pun kecil, juga tak bisa merokok. Diluar di depan penginapan boleh tapi mengingat waktu harus segera berangkat ke setasiun.  Akhirnya berlapang dada saja. Di KL-Central tak terlihat “smooking area.” Kedai tempat sarapan juga terlarang. Apalagi dalam perjalanan naik kereta api. Begitu juga turun di setasiun Arau, Perlis, meskipun sudah berada di peron terbuka, aku enggan untuk merokok di setasiun itu. Rokok mesti dinikmati tidak untuk hal yang terburu-buru. 

Aku bukan seorang perokok berat, juga bukan pula merokok tak tahu tempat yang patut dan mungkin. Aku bukan terlahir sebagai manusia bar-bar. Aku dapat terima di berbagai tempat dipasangnya peringatan, “Dilarang Merokok” atau “No Smoking.”  Tetapi aku tidak pernah dapat menerima “penyeragaman” yang tidak manusiawi dimana-mana. Karenanya, aku tak pernah percaya di berbagai tempat berlabelkan “international.” International kupahami ialah dapat mewakili kebutuhan dan selera dari berbagai asal dan manusianya. Sebagai aturannya, ada tempat yang dilarang dan ada tempat yang diperbolehkan. Itu yang kuanggap manusiawi. Keadilan akan pilihan sepanjang tidak merugikan orang lain dan tiap orang dapat menikmati dengan cara mereka masing-masing.




Merokok tidaklah kejahatan. Ada perusahaan rokok kelas dunia tetap dibiarkan memproduksi rokok. Kemudian memasarkan ke berbagai dunia. Coorporate yang menggurita. Termasuk salah satu perusahaan rokok terbesar di tanah airku, jatuh ke tangan perusahaan asing. Itu ada apa ??? Tidakkah ini hanya politik dagang berbungkus alasan “kesehatan” (???)

Supaya tidak sembarangan merokok di tempat yang tak diizinkan, larangan itu “ampuh” dan benar. Aku seratus persen setuju. Tetapi semestinya juga harus disediakan tempat-tempat bagi perokok. Ruang-ruang public yang boleh dinikmati oleh “kaum khusus” ini. Perkaranya, fasilitas umum juga harus dapat dinikmati oleh berbagai lapis. Mereka memiliki hak yang sama. Basisnya, keadilan. 

Kita sadar bahwa di berbagai belahan dunia, rokok dan merokok sudah perkara “tua.” Ada pabrik, ada bisnis, ada perpajakan, ada secara tidak langsung kita nikmati bersama hasilnya walau sejatinya tidak merokok. Akal sehat terkadang dibutakan karena hanya kata menjaga “kesehatan.” Banyak orang sakit dan mati justru tidak merokok sama sekali. Karena pencemaran air dan udara. Karena makanan. Karena pola hidup yang salah.

Kuakui, perutku sudah sangat keroncongan. Termasuk keinginan segera dapat meneguk kopi hangat. Baru saja memasuki kedai di Changlun ini, mataku bertumbuk pada kaleng di atas meja. Aku memastikan kaleng itu adalah asbak yang disediakan untuk pengunjung perokok. Aku berterimakasih di bawa ke kedai ini. Tidak pada tempat makan dan minum yang membuat aku tak bisa sepenuhnya nikmati.

Tata ruang kedai ini sangat simple memanfaatkan keterbatasan. Terdapat meja-meja tidak saling berhimpitan.  Berada di salah satu sisi dari persimpangan jalan. Namun suasana kawasan ini petang hari kedatanganku, tidaklah ramai dan bising. Mengingatkan juga kota kelahiranku, tenang dan nyaman. Ada toko-toko sudah pada tutup di barisan pertokoan.

Aku tidak tahu, apakah dia pelayan atau owner kedai minum ini. Yang jelas penampilannya boleh juga. Masih muda. Macam penyanyi Michael Jackson. Selama menikmati suasana santai, satu dua meja terisi pengunjung yang lain. Namun antara meja ke meja tak ada saling terganggu. 

Kedainya terbuka saja dua sisi, menghadap pada jalan yang berbeda. Tak ada kaca dan tak ada udara AC. Aku menyukai tempat dengan udara terbuka seperti ini. Dapat merokok sambil meneguk kopi hangat. 




Bercakap-cakap penuh persaudaraan. Aku sangat menemukan suasana kemerdekaan yang manusiawi itu di sini. Di kedai kecil Changlun, Kedah, selama berada dalam perjalanan budaya ke semenanjung Malaya ini.
Kebiasaanku ialah senantiasa mendocumentasikan diri dengan camera foto. Aku kesulitan memotret, karena tripod cameraku tak ada. Dengan senang hati, orang kedai minum itu menawarkan kebaikannya, untuk memotretkanku dengan cameraku. Sungguh hal kecil tapi tidak semua tempat kita dapat menemukan orang serupa ini. Tanpa harus meminta tapi menawarkan kesediaannya membantu.  

Insyaallah, suatu hari kelak nanti, aku ingin benar menulis cerita pendek perihal ini, untuk sebuah karya sastra. Kuingat hari itu, dalam kedai kecil minuman di Pekan Baru Changlun, Kedah, Minggu 4 September 2016, ketika petang hari, dengan cahaya matahari yang indah, tepat enam hari selepas perayaan Hari Kemerdekaan Malaysia (*)

abrar khairul ikhirma
Kedah 04 September 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar