Rabu, 07 Juni 2017

AKU DAN HERU B ISKANDAR

Suatu siang, aku asyik melukis dalam kesendirianku di Sanggar Pasamayan. Melukis menurutku saja. Menggunakan sehelai kain bekas, cat air bekas-bekas pembuatan spanduk. Sendiri menghuni sanggar di sudut depan Taman Budaya Padang sudah pemandangan biasa bagi mereka-mereka yang pernah “bermain” ke Taman Budaya  di tahun 1980-an.




Siang itu, aku kedatangan seorang teman dari Bukittinggi yaitu Heru B. Iskandar. Bertubuh sehat, berpakaian rapi, suka bicara cepat dan menyergah.

Aku memanggilnya dengan Heru. Masa tahun 1980, untuk dunia kepenulisan di media cetak suratkabar terbitan Padang, Sumatera Barat, nama kami berdua adalah nama yang fenomenal. Karena aktifitas kami menulis terbilang “teratas” dibandingkan dengan regenerasi teman-teman seusia kami, mensuplay beraneka macam kebutuhan media berita Koran. Nama kami hampir tak pernah absen dari pekan ke pekan di penerbitan harian suratkabar daerah.

Dibandingkan kepopuleran nama di dunia kepenulisan, kami lebih banyak dikenal sebagai jurnalis muda, lebih akrabnya sebagai wartawan cilik. Pada masa 1980 adalah tahun-tahun tumbuh suburnya regenerasi kewartawanan dan penulis-penulis di Sumatera Barat (Sumbar) melalui media cetak, yang dimasa itu hanya tiga penerbitan besar yaitu Harian Haluan, Harian Singgalang dan Harian Semangat. Memenuhi pangsa pasar tiga provinsi, Sumbar-Riau dan Jambi. Bahkan sampai mencapai pembaca “orang rantau” di Jakarta.

Ada dua daerah di Sumbar yang dikenal tumbuh subur regenerasi kemunculan jurnalis muda dan penulis, yakni, Kota Pariaman dan Kota Bukittinggi. Pada saat itu tak dipungkiri kami berdua adalah “bintang” nya. Aku “bintang” dari Pariaman dan Heru “bintang” dari Bukittinggi.

Pada waktu kedatangan Heru “menemuiku” di Taman Budaya Padang, adalah masa-masa awal aku hijrah dari Pariaman ke Kota Padang dan bergabung di Sanggar Pasamayan. Pada saat yang sama, Heru sendiri juga hijrah dari Bukittinggi ke Solok. Alasan hijrah ini, sama-sama bertujuan menyelamatkan pendidikan kami di sekolah formal, yang mengalami “kerumitan.”

Nama Heru semakin “dikenal” tersebab dia menulis sejumlah berita kasus. Sehingga topic berita yang ditulisnya heboh dan namanya juga ikut menjadi perbincangan karena keberaniannya.

Masa aku berada di Taman Budaya Padang, hampir setiap waktu aku ditemui oleh banyak penulis dan seniman. Mereka-mereka itu pada umumnya lebih banyak aku kenal hanya nama di suratkabar. Sebaliknya mereka sangat mengenalku walau belum pernah berjumpa sama sekali.

Beberapa tahun silam, kenangan kedatangan Heru menemuiku ke Taman Budaya Padang, kembali muncul, tatkala Dodi Nurja, seorang teman jurnalis memberitahu bahwa ada gambarku bersama Heru, yang diposting di fesbook bernama Budi Tan. Aku bersyukur, momen itu masih disimpan Heru dalam sebentuk foto.

Pada hari yang sama kedatangan Heru, kami dari Taman Budaya Padang, berjalan kaki menelusuri sepenggal Kota Padang. Salah satunya ke daerah Batang Arau. Mampir menemui keluarga saudara Heru di salah satu bangunan tua pecinan di kawasan yang lebih dikenal sebagai Muaro Padang. Sejak itu kami tak pernah berjumpa lagi, sampai saat ini. Termasuk juga tidak pernah berkomunikasi.




Aku teringat di masa tahun 1980-an itu, bila aku berada di Kota Bukittinggi, bersama Heru, kami suka menikmati suasana malam. Berjalan-jalan dari Birugo, Lapangan Kantin, Kawasan Pasa Bawah hingga akhirnya berakhir di Pasa Ateh, Kawasan Jam Gadang. Duduk di salah satu kedai kopi, bercakap-cakap sampai mata benar-benar meminta untuk tidur merebahkan tubuh.

Selain menulis berita untuk suratkabar, nama Heru B.Iskandar juga tercantum dalam dunia kepenulisan puisi. Banyak sudah puisi-puisi yang pernah ditulisnya. Bahkan puisinya seringkali lolos redaksi untuk dimuat di Majalah Zaman, anak majalah Mingguan Berita Tempo, Jakarta.

Di paruh akhir tahun 1990-an, aku pernah dengar, dia bergerak pada usaha penerbitan majalah kumpulan cerpen. Kemudian dengan berani, bersama teman-temannya di Jakarta, dia menerbitkan tabloid hiburan yang laris bak kacang goreng. Tabloidnya fenomenal hingga akhirnya ditutup.

Terakhir aku dengar, Heru sampai kini, menerjuni usaha pemasangan jaringan internet, pembuatan tower ke pelosok daerah di Indonesia.

Bila teringat akan namanya, aku teringat dengan Bagansiapi-api, daerah di Riau. Di daerah itu orangtuanya berada. Nama daerah yang mengundang hasratku tapi sampai saat ini aku belum pernah sampai ke Bagansiapi-siapi (*)  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar