Senin, 19 Juni 2017

1 BULAN MENULIS NOVEL, EDITINGNYA 11 BULAN

Menulis novel adalah hal mudah bagi mereka yang memang biasa menulis novel. Aku kira, tidak bagi orang yang tidak memiliki kebiasaan. Mereka pastilah menemukan kesulitan mengolah ide-idenya ke sebentuk karya tulis novel. Menulis novel, memerlukan istilahku “nafas panjang,” yakni kemampuan mengembangkan, memberi isi, menjaga plot, tentu juga supaya lancar dibaca, sekaligus menarik untuk dibaca oleh semua orang.




Di masa aku mengalami masa-masa sulit, masa pergulatan batin dan kegetiran hidupku, akhirnya, aku mendapat sebuah sarana berupa personal computer (PC) baru, dengan spesifikasi tertinggi di zamannya, dualcore. PC rakitan seharga Rp.5.500.000,- Harga yang sangat mahal bagiku. Tetapi seakan memberikan aku sebuah jalan terang, untuk mengatasi segala konflik batin yang sedang terjadi agar tidak berlarut-larut.

Diantara masa-masa hidup di kegetiran yang kusebut “masa-masa hidup sepanjang Jalan Veteran,” itu, mendorongku untuk menggarap salah satu ide. Aku ingin menenggelamkan diriku untuk melanjutkan dunia kepenulisanku untuk menulis novel.

Memiliki PC baru mendorongku dengan semangat baru. Semangat kesungguhan untuk memilih menulis sebagai suatu cara “mengatasi” berbagai konflik batin yang sedang melanda hari-hariku. Termasuk tantangan, yang kini aku baru “berani” menuliskannya. Jauh sebelumnya, suatu kali aku diundang bertemu ke kantornya oleh Sutan Zaili Asril, seorang yang sudah lama kami saling mengenal. Seorang yang ternama bagi kami di Sumatera Barat dengan segala aktifitasnya.

Sahabat yang kini sudah almarhum itu, pada saat itu menjadi Pemimpin Umum Suratkabar Harian Padang Ekspres. Di hujung dari berbagai percakapan kami yang akrab, beliau menanyakan apakah aku memiliki naskah novel. Lalu kujawab banyak. “Mana???” tanya beliau. Langsung saja aku ajukan sebuah opsi kepada sahabat yang sudah menjadi wartawan senior, kolomnis, pengarang novel dan pemerhati soal-soal social dan budaya itu, “Maukah Uda belikan awak sebuah PC, gantinya sebuah novel untuk diterbitkan di Padang Ekspres sebagai cerita bersambung?"

SUTAN ZAILI ASRIL (Repro: Warta Kota)

Spontan saja Uda Zai ---panggilan akrab beliau, menjawab “Bisa!” Kemudian beliau menjanjikan uangnya dapat diambil seminggu kemudian..

Ternyata saat menemuinya lagi di kantornya di Jalan Proklamasi tempat kami sering bertemu, Uda Zai meminta maaf, karena sesuatu dan lain hal. Alasannya dapat kuterima dan kupahami. Sama sekali beliau tidak mengelak dari “keinginannya” yang tidak hanya berupa keinginanku sendiri.

Sama sekali aku tidak merasa kecewa. Bagiku, jawabannya “Ya” itu saja sudah sangat berarti bagiku. Karena dia menjawabnya tanpa banyak pertimbangan. Tanpa ada jeda antara opsi yang kuajukan dengan jawaban yang diberikannya. Spontan. Aku nilai sangat murni bahwa beliau sangat respek kepada pribadiku. Terutama berulangkali dia menceritakan bahwa dia adalah salah seorang pembaca dari tulisan-tulisanku yang pernah dipublikasikan di suratkabar. Mengakui, dia sangat cemburu pada style kepenulisanku yang sulit dapat ditirunya.

Ada beberapakali pertemuanku dengan Zaili tapi aku tak pernah menagih cerita perihal PC. Terakhir pertemuanku, aku mampir ke kantornya sebagaimana biasanya semenjak beliau “mengundangku” datang untuk dapat bertemu. Aku menyerahkan print novel yang sudah kutulis dengan PC yang bukan “pembelian” beliau sebagaimana pembicaraan terdahulu, dalam keadaan terjilid dengan baik dan sebuah compactdisk berisi naskah yang diprint. Dia menyambut dengan gembira. Lalu kami bercakap-cakap penuh keakraban. Aku “numpang” bersholat Ashar di ruang kantornya. Selesai itu aku pamitan. Itulah pertemuan terakhirku dengan almarhum sampai akhir hayatnya.

Novel yang kutulis kuberi judul, “Hikayat Sebuah Peti.” Menggabungkan dua buah ide yang ditemui pada tempat berbeda dan waktu yang berbeda. Nanti bila kubukukan, judulnya akan kurobah menjadi, “Novel Tragedi Tigabelas Bab.”

Di seruas jalan dalam Kota Padang, ada sebuah rumah sejak lama begitu menarik perhatianku. Hampir 24 jam --pagi, siang, malam, dinihari-- aku melewati depan rumah itu. Adakalanya, nongkrong di warung emperan pertokoan di seberang jalannya, waktu  malam-malam menikmati semangkok mie dan segelas kopi.

Mulai tahun 1980 sampai tahun 2008 --sampai saat cerita ini selesai ditulis-- pintu pagar besinya tak pernah ditutupkan. Selalu dibiarkan terbuka begitu saja. Keganjilan itu telah membuat tanda tanya dalam diriku. Pemiliknya membuat pintu tapi enggan untuk menutup dan membukanya, sebagaimana biasanya tiap hari terjadi sebagai rutinitas orang pada setiap rumah dimana-mana.

Hal itu tersimpan dalam pikiranku sampai bertahun-tahun.

Suatu malam di tahun 2003, di petang kamis malam jum’at, kemudian aku ketahui saat itu sekitar pkl. 02.00 wib dinihari, di tempat yang lain lagi, saat menuju pulang ke rumah, melewati seruas jalan yang dianggap masyarakat merupakan daerah angker.

Jalan raya itu menikung dengan salah satu sisinya adalah perbukitan dan di kakinya terdapat sebuah kuburan tua. Di sisi yang lainnya mengalir sebuah sungai, dimana dua buah sungai bertemu untuk  selanjutnya, mengalir dalam satu alur menuju muara dan lepas ke laut Samudera Hindia.

Antara bukit dan sungai, dipisahkan ruas jalan. Dalam kesenyapan malam, aku melihat di pinggir jalan ada sebuah mobil pick-up tengah berhenti di bawah lampu mercury yang bersinar terang. Dua orang tengah sibuk kutak katik mesin di bawah jok depan. Nampaknya mobil mereka sedang ada masalah.

Pada saat itu, aku mengayuh sepeda unto ---sepeda ontel, buatan England, sepeda lama, jika saat dikayuh dari sumbu belakang, terdengar bunyi tik-tik-tik. Sambil melintas mataku tertuju pada bak mobil itu. Di dalamnya ada sebuah peti kayu. Mungkinkah isinya berupa mayat? Mana tahu kedua orang itu adalah pembunuh.

Dua hal itu telah menginspirasiku untuk menuliskan kegelisahan yang selalu menjadi tanda tanya, menggelitik daya kreatif kepenulisanku.

Novel yang kutulis tidaklah berupa cerita misteri. Bukan pula kisah percintaan. Juga tidak politik. Apalagi soal-soal keagamaan. Aku menuliskannya, hanya berupa rangkaian berbagai tokoh. Simbolik dari perilaku manusia keseharian saja. Novel yang tak memiliki tokoh utama. Juga tak menampilkan sosok tokoh suci. Yang ada hanya deretan setiap tokoh-tokoh, tak luput dari sisi buruknya.

Aku menggunakan waktu menulis setiap di sebahagian waktu malam hari di sebuah rumah seorang diri. Aku dapat menyelesaikan novelku malam-malam itu dalam masa satu bulan. Terlalu lama, karena aku menulis seringkali tidak bisa sepenuhnya memanfaatkan waktu dengan maksimal. Saat menulis aku sendiri merasa ketakutan. Seakan aku berada dalam cerita yang kutuliskan. Hampir tiap saat merinding bulu romaku. Cepat-cepat kumatikan PC dan bergegas untuk tidur. Bahkan sering tak bisa tidur sampai pagi hari.

Supaya novel yang kutulis sesuai dengan yang kuingini, tidak membosankan dan plot cerita dapat terjaga dengan baik, aku bekerja keras untuk membaca ulang dan memperbaikinya. Ada banyak kemudian aku delete, melakukan sejumlah tambahan. Proses editing aku lakukan berulang-ulang kali sampai memakan waktu 11 bulan, hingga aku putuskan, aku tak akan merobahnya lagi. Suatu pekerjaan kepenulisan yang sangat menyita waktuku. Terutama waktu malam hari, sebagaimana kebiasaanku untuk menulis.


ABRAR YUSRA (Repro: Wikipedia)
Yang membahagiakanku dari kerja keras ini ialah, naskah novelku dapat kuselesaikan dengan baik. Salah satu karya yang pernah kuhasilkan antara tahun 2007-2008 silam. 4 eks print naskah terjilid. Satu eks aku berikan kepada sahabatku Sutan Zaili Asril. 

Satu eks kupinjamkan pada seseorang, pada saat proses menulis, dia meminta dirinya sebagai orang pertama yang membaca karyaku itu, lalu silih berganti berpindah tangan pada sejumlah orang yang meminta diberikan hak istimewa untuk membacanya, jika novel yang kutulis selesai aku tulis. Print naskah ini hilang tak diketahui siapa terakhir yang memegangnya.

Satu eks print lagi kulepas untuk berpindah-pindah tangan untuk dibaca teman-teman, pada orang-orang yang mengetahui bahwa aku menulis novel. Nasibnya pun tidak jauh beda. Print inipun lenyap tidak diketahui. Satu-satunya satu eks print yang kusimpan, sempat kulepas untuk dibaca sejumlah orang, hingga akhirnya kuputuskan tidak lagi meminjamkannya.

Dari pengakuan sejumlah teman-teman yang pernah membacanya, mereka sampai membaca dua tiga kali walau print naskah tersebut sejumlah 266 halaman ketikan. Tanda teman-teman yang berkesempatan membaca naskah print novelku memberikan apresiasi mereka  pada karya yang kutulis, walaupun dalam hanya sebentuk print, novelku telah menghasilkan honorarium tidak kurang dari Rp.6.000.000,- dalam tempo 6 bulan di akhir tahun 2008. Sama sekali aku tidak meminta setiap pembaca membayar tapi tidak menyangka setiap selesai membaca, mereka memberikan donasi kepadaku, serendah-rendahnya Rp.50.000,- tapi mayoritas antara 100-200 ribu rupiah per satu orang.

Pada saat sastrawan dan penulis biografie (alm) Abrar Yusra datang ke Padang, menyelesaikan penulisan biografie seorang tokoh, aku perlihatkan print naskahku yang terjilid padanya. Dipegangnya sesaat sambil menatap cover jilid, “Abang sibuk mengejar deadline menulis buku biografie, tak sempat membacanya. Tapi tinggalkan saja dulu, pinjam,” katanya di depan pintu kamar penginapan, sepulang kami membezuk teaterawan dan penyair Muhammad Ibrahim Ilyas yang dirawat di Rumah Sakit Yos Sudarso Padang.

Malam tiga hari kemudian, aku datang menemui Abrar Yusra di penginapannya. Si Abang, begitu kami memanggilnya, saat pintu kamarnya dibuka dan mengetahui aku berdiri di depan pintu, ekspresinya demikian gembira. Buru-buru ke dalam kamar dan kembali dengan naskah print novelku di tangannya, “Novel yang indah, bung! Novel rancak yang pernah den baca,” kata Abrar Yusra dengan wajah berseri-seri.

Segera mengajakku pergi keluar penginapan. Tujuan utama mesin ATM di bank yang terletak di Simpang Kandang. Lalu berlanjut makan sate, nasi soto dan minum sekoteng di kedai emperan jalan, sekitar bangunan Bioskop Raya di Pasar Raya Padang. “Novel bung telah menghentikan kerja den dua malam menulis biografie, padahal waktu sudah tidak memungkinkan lagi. Biografie itu harus siap,” Abrar Yusra bercerita padaku diantara kami bersantap, “Ya, konsekuensinya harus tambah 2 hari dan balik Jakarta tertunda.”

Padahal aku sama sekali tidak bertanya, tidak juga berharap beliau membacanya dan bercerita apa-apa tentang novel tersebut. Hanya sekadar memperlihatkan saja kepadanya tanda bahwa aku masih tetap menulis. Katanya, diantara kesibukannya menulis, mulanya dia hanya iseng-iseng saja membalik print itu. Tahu-tahu, dia terpikat untuk meneruskan membacanyanya. Menghentikan pekerjaannya menulis. “Dua malam, den tamatkan membacanya,” katanya tanpa terkesan merasa rugi waktu. Lalu memasukkan uang ke sakuku, yang kemudian aku ketahui berjumlah, Rp.1.500.000,-

LEON AGUSTA (Repro: Tempo)

Tidak sampai sebulan kemudian, “Mana novel Arkhi yang diceritakan Abrar (Yusra) pada saya,” tanya sastrawan dan penyair (alm) Leon Agusta, setelah dia memelukku erat. Pada perjumpaan pertama dan terakhir kalinya, setelah bertahun-tahun kami tak lagi bertemu dan tak berkontak, di salah satu kamar Hotel Muara Padang. Tempat Leon Agusta dan Abrar Yusra menginap dari Jakarta, untuk menghadiri peluncuran buku biografie. Saat yang sama juga ada fotografer dan penggerak seni Edi Utama.

Kiranya Abrar Yusra menceritakan novelku yang pernah dibacanya kepada Leon Agusta. Membuat beliau tertarik ingin membaca karyaku itu. Tetapi, sampai akhir hayat beliau, aku tiada kesempatan memberikan print novelku kepadanya. 

Maka tiada pula aku mendengar bagaimana sambutannya terhadap yang pernah kutulis. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar