Rabu, 21 Juni 2017

"MAK ANJANG" DARI SWISS

Ada yang kita kenal oleh pertemuan menjadi hubungan persaudaraan sampai akhir hayat tapi ada pertemuan yang kemudian menjadi berakhir. Keduanya saling berkait dalam hidup, tiada sanggup untuk memisahkan. Sayonara…




Suatu petang di pertengahan tahun 1990-an, dari arah “Simpang Sayonara” aku bersama dengan Kekasihku berjalan kaki, dengan titik tujuan menuju taman, dimana masa itu aku banyak menghabiskan waktuku di sana.

Simpang Sayonara yang kini tiada lagi orang mengenal nama itu, karena tidak popular lagi. Sebuah persimpangan jalan dengan lima jalan yang bertemu di tempat sama. Jalan Damar dari arah Utara, Jalan Belakang Olo dari arah Timur, Jalan Pemuda dari Selatan dan dua jalan kecil dari arah Barat. Kedua jalan kecil menghubungkan dari simpang jalan itu menuju arah kawasan pantai.  Itulah Simpang Sayonara yang pada umumnya dikenal warga kota di tahun 1970-an.

Cahaya matahari kala petang, sudah tidak membakar lagi. Namun panas yang menguap dari aspal jalanan dan dari bangunan-bangunan beton, tidak sanggup diredam pohon-pohon mahoni yang berbaris menjadi tanaman pelindung di sepanjang jalan Pemuda.

Pada masa itu, aku masih dapat mencintai kota ini. Kota Tercinta, puisi abadi dari Penyair Leon Agusta. Beberapa lekuk tempat biasanya sering kusinggahi dan sejumlah jalanannya masih memberi ruang untukku dapat menikmatinya. Terutama kala malam hari. Aku sangat akrab dengan trotoar di kiri kanan jalan. Sepi para pejalan kaki bila malam mulai menuju larut. Pada saat-saat berjalan kaki itulah, aku dapat bercakap-cakap dengan diriku tentang banyak hal. Tentu saja angan-anganku, kegetiran yang silih berganti, diantara rasa lapar yang selalu datang dan kemudian hanya diselesaikan dengan secangkir kopi yang hangat.

Di depan pintu halaman Hotel Tiga-Tiga, saat menelusuri Jalan Pemuda petang itu, langkahku dengan Kekasih terhenti. Percakapan kami pun terputus. Seorang bule, sebutan kami untuk orang asing, telah menghentikan langkah kami.

Sang Bule menanyakan tentang dimana letak universitas dan culture centre. Dengan dua pertanyaan itu, aku dapat dengan cepat menilai Sang Bule, bukanlah seorang hippies. Maksudnya seseorang yang datang ke suatu Negara hanya bertujuan untuk menikmati objek wisata, kuliner dan bersenang-senang. Bule ini tentulah bertujuan lebih kepada mempelajari untuk mengenal pendidikan dan kebudayaan. Tidak sekadar untuk bersenang-senang. Sehingga aku sangat respek memberi kemudahan pada seseorang yang datang ke negeri “asing” baginya ini.

Sang Bule berbahasa Indonesia dengan terpatah-patah. Belumlah begitu fasih. Sedikit ia memberi gambaran, bahwa kedatangannya ke Indonesia adalah untuk belajar bahasa dan mengenal budaya setempat. Menurut pengajarnya di negerinya, jika ia ke Indonesia datangilah university atau culture centre.

Dengan penuh keakraban, juga dibantu Kekasihku yang dapat berbahasa Inggris, aku menjelaskan bahwa ada dua universitas besar dan terkemuka di kota ini. Pertama Universitas Andalas terletak di daerah yang bernama Limau Manih. Sebuah kawasan dataran tinggi. Kemudian perguruan tinggi IKIP Padang, yang kelak di kemudian hari berobah nama dengan Universitas Padang. Aku menunjuk ke arah utara, lurusan dari Jalan Pemuda dimana kami tengah berdiri saat itu.

Culture Centre untuk kota ini dinamakan Taman Budaya. Sebuah kawasan dengan sejumlah bangunan yang menjadi pusat kesenian. Dari lokasi kami berdiri di pertengahan Jalan Pemuda itu, ke arah selatannya, disanalah tempatnya. Hanya sejarak beberapa ratus meter saja. Dapat ditempuh dengan hanya berjalan kaki. Kukatakan, aku dan Kekasihku ini hendak menuju culture centre.

Aku teringat dengan sejumlah pengalaman orang-orang yang pernah berkunjung belajar ke luar negeri. Pengalaman yang kuketahui lewat artikel-artikel, pernah kubaca di majalah atau pun suratkabar. Mereka belajar bahasa dan mengenal budaya setempat, diuntungkan kesempatan mereka hidup di dalam keluarga warganegara Negara yang dikunjunginya.

Walaupun hanya percakapan singkat di pinggir jalan Pemuda itu, aku memberi saran kepada Sang Bule, sebaiknya mendapatkan keluarga untuk menumpang selama tinggal di sini. Tidak hanya menginap di hotel. Karena tujuannya mempelajari bahasa dan budaya.

Kiranya, pada esok petangnya, ketika aku sudah lupa dengan peristiwa petang kemarin, aku lihat Sang Bule sudah bercakap-cakap akrab di salah satu sudut bangunan pertunjukan seni di Taman Budaya. Dimana tempatku berhabis hari bertahun-tahun. Bule itu bercakap-cakap dengan Nina Rianti yang sudah kuanggap kakakku selama ini. Nina sering datang ke Taman Budaya, jika ada kegiatan pertunjukan kesenian.

Pada saat itulah kemudian kuketahui nama si Bule adalah Benhard, warganegara Swiss. Benhard akhirnya menjadi salah seorang saudara kami. Atas kebaikan pasangan seniman suami isteri Alda Wimmar Irawan Noer dan Nina Rianti, Benhard selama berada di kota kami, bertempat tinggal di rumah mereka di Tunggua Hitam, yang juga rumah tempatku selalu pulang kala malam mulai turun untuk suatu masa.

Benhard pernah kami bawa bersama-sama berlibur naik kereta api ke Pariaman. Sebuah kota di pesisir barat Pulau Sumatera. Kota terletak di pinggir laut Samudera Hindia. Benhard teramat senang melihat ombak memecah di pantai. Lautnya bersih. Semasa Benhard muda adalah seorang atlet, pernah terpilih menjadi atlet ke Oliampiade Munchen, sayang karena terjadi kelainan pada bahagian tulangnya pada masa persiapan, ia gagal mewakili negaranya di pertandingan tingkat dunia. Dengan berani Benhard untuk beberapa saat berenang di laut, menghampiri kapal ikan sedang jangkar.

Selama di rumah Nina, Benhard belajar berbahasa Indonesia. Benhard di negaranya, sebelum datang ke Indonesia sudah banyak menghafal berbagai kata-kata Indonesia. Karenanya Benhard dengan cepat bisa berbahasa Indonesia. Selama Benhard berada di rumah itu, mendatangkan kegembiraan tersendiri. Karena selalu saja terjadi percakapan terhenti sejenak, Benhard buru-buru masuk kamar membaca kamus bahasa, lalu keluar dari kamar dengan tertawa terbahak-bahak.

Tanpa ada yang memberi petunjuk, Benhard setiap pagi selalu keluar dari rumah. Ternyata diketahui Benhard pergi ke Airport Tabing. Ia berjalan menempuh jalan tikus, diantara semak belukar, mencapai landasan pacu pesawat, kemudian menyeberang dan terus memasuki ruang umum untuk para penumpang dan pengantar di bandara. Jalan itu digunakan oleh sejumlah penduduk setempat di belakang bandara sebagai jalan pintas ke jalan raya. Sejak aku menjadi penghuni rumah Nina sampai akhirnya pergi tidak lagi tinggal di sana, aku sendiri tak pernah mengetahui dimana posisinya, apalagi melalui jalan ke bandara itu sampai sekarang.

Di ruang bandara itulah Benhard dapat menulis surat, berkirim kabar ke teman dan keluarganya di Swiss, lalu mengirimkannya dengan faxsimile. Alasannya, ruangannya sejuk berairconditioner dan dapat duduk menghadap meja, menulis dengan posisi nyaman. Di rumah tak ada meja yang cocok, terlalu rendah, sedang postur tubuhnya tinggi.

Lewat surat menyurat itulah, Benhard menceritakan kepada kami, tanggapan teman-temannya di Swiss, bagaimana dia menceritakan pengalaman pertamanya memanjat pohon kelapa di samping rumah. Dia panjat untuk dapat mengambil buah muda, mendapatkan air dan isi buah kelapa yang segar. Usaha kenikmatan itu harus ditebusnya dengan sejumlah bagian kulit di tubuhnya luka-luka lecet, digigit semut besar berwarna merah yang menyakitkan dan terjatuh ke tanah karena tak bisa turun dengan baik. Lalu menjadi demam.

Benhard pun menceritakan kepada kami, bagaimana teman-temannya protes, ketika mendengar kami tidak memanggilnya dengan nama Pak Benhard tapi dengan panggilan Mak Anjang. Benhard menanyakan apakah itu Mak Anjang ???

Mak Anjang adalah salah satu panggilan khas orang kampong kami di tanah Minang. Orang-orang yang berpostur tinggi melebihi dari tinggi orang kampong kami pada umumnya, selalu mau atau tidak mau akan digelari dengan nama Mak Anjang. Apalagi dalam keseharian masyarakat Minang, orang hampir sulit untuk menyebut dan memanggil seseorang sesuai dengan namanya. Senantiasa ada-ada saja nama dan gelar khusus yang diberikan kepada seseorang.

Kami tidak mengetahui, apakah Benhard dapat menerima penjelasan kami. Termasuk apakah dia menyenangi atau tidak, ketika kami memanggilnya Mak Anjang sampai kemudian ia kembali ke negaranya Swiss.

NAGARI PASIA AMPEK ANGKEK CANDUANG, AGAM


Ketika waktu berlalu. Aku sudah tidak lagi pulang ke rumah Nina. Sudah lama sekali. Di suatu petang hari, seorang wartawan senior yang kukenal, mendatangi kedai dimana aku saat itu sehari-hari mengurus sebuah usaha percetakan kecil, tidak jauh dari Simpang Sayonara. Wartawan itu Sjaiful Bachri. Dia dikenal sebagai seorang wartawan olahraga di suratkabar Harian Haluan. Dia tidak turun dari Vespa kendaraan roda dua yang dikendarainya. Hanya berhenti di depan kedai.

Uda Pul, begitu aku memanggilnya, memberitahu bahwa sejak pagi ada sepasang suami isteri orang bule, datang ke redaksi suratkabar tempatnya bekerja, ingin bertemu denganku. Tak satupun orang redaksi dan wartawan yang tahu dimana keberadaanku dapat ditemui, meskipun umumnya namaku mereka sangat kenal, walaupun aku tidak bekerja di suratkabar itu. Jadi mereka tidak dapat mengantarkan kedua bule itu untuk dapat bertemu denganku. Namun bule itu tak hendak juga meninggalkan kantor suratkabar. Tetap bertahan sampai ia mendapatkan keterangan yang pasti mengenai diriku. Hingga akhirnya bertemu Uda Pul dan Uda Pul rupanya diam-diam sering melihatku berada di kedai percetakan ini. Karenanya dia menemuiku menyampaikan kabar itu.

Aku menemui sepasang bule yang mencariku itu di kantor redaksi suratkabar Harian Haluan, yang terletak di Jalan Damar. Aku tidak menyangka, ternyata Benhard si Mak Anjang bersama isterinya! Seketika aku tertawa. Aku teringat disuatu kali dulu semasa di rumah Nina, kami bertanya perihal isterinya, Benhard menjawab, “Isteri saya meninggal di Swiss….,” Mendengar itu kami merasa bersalah telah menanyakan sesuatu yang bisa membuatnya sedih. Kami terdiam.

Sesaat Benhard bergegas masuk ke dalam kamarnya. Semua yang ada di ruang tengah rumah tak satupun bersuara. Ketika Benhard kemudian keluar dari kamar, kami hanya memandangnya. Sedang Benhard tiba-tiba tertawa mencairkan ekspresi kami yang sudah tegang. Lalu berkata, “Isteri saya tidak meninggal di Swiss. Saya sudah baca kamus, maksudnya isteri saya tinggal di Swiss,” serempak pecahlah tawa kami.

Bertiga kami meninggalkan kantor redaksi suratkabar Haluan menuju jalan Belakang Olo. Jaraknya lebih kurang hanya seratus meter. Aku dan Benhard bercakap-cakap. Dia menanyakan pukul berapa kedai percetakan ditutup. Aku jawab pukul lima. Di depan kedai dia berkata, “Masih satu jam lagi waktu kerjamu berakhir. Baiklah kami tunggu,” katanya.

Walaupun aku berkata tidak apa-apa, bahwa kedatangannya tidak membuatku terganggu kerja, karena kedai percetakan ini aku pimpinannya, namun Benhard dan isterinya tetap tidak hendak menggangguku di jam kerja. Benhard dan isterinya menunggu di kedai minum di halaman rumah, satu petak antaranya dari tempatku bekerja.

Pada petang hari, setelah kedai percetakan tutup, kami bertiga akhirnya bercerita penuh rasa kekeluargaan di kedai minum, di udara terbuka halaman sebuah rumah di Jalan Belakang Olo. Benhard bertanya keadaanku. Termasuk menanyakan apakah aku sudah menikah dengan kekasih saat kami bertemu pertamakali dulu itu.

Ketika kuceritakan tragedy yang menimpaku, ia pun teramat faham. Ekspresi pasangan suami isteri itu turut berduka. Benhard dalam usianya itu, kulihat matanya berkaca-kaca. Ia menangis dalam kesedihan. Disanalah aku akhirnya mengetahui, bahasa kesedihan itu di dunia tetap sama walau berbeda bangsa dan Negara.

Di kesempatan itu, kami saling bercerita tentang hubungan manusia, tragedy dan budaya masing-masing Negara kami. Aku banyak hal mendapatkan pandangan realistis dari Benhard tentang semuanya. Setidaknya aku sangat mengetahui, betapa ia memiliki perhatian dan kesungguhan antara hubungan persaudaraan mendalam. Benhard tidak hanya menghibur kesedihanku tetapi mengajakku pada pemandangan yang terbuka terhadap kodrat manusia.

Karenanya, aku membiarkan begitu saja saat waktu siang ditelan oleh waktu malam. Ditandai dengan lampu-lampu menyala, kendaraan hiruk pikuk yang melintasi jalan di hadapan kami, malam segera jatuh di pelukan Kota Padang. Tahun-tahun di akhir tahun 1990-an.

Diantara hari-hariku berada di Kota Bukittinggi, kota yang diapit dua gunung termashur, Gunung Marapi dan Gunung Singgalang. Daerah yang berada di ketinggian 1000 dpl itu menjadi daerah berhabis waktuku untuk suatu masa berikutnya. Aku tak pernah bosan berkeliling kota ini. Termasuk berlama-lama di kawasan Ngarai Sianok seorang diri. Aku setia menunggu embun berangkat dari kawasan ngarai pada pagi hari. Atau bertahan menyaksikan cahaya matahari petang berganti dengan gelap malam di pinggir sungai di dasar ngarai.

Setelah semuanya cukup bersama dingin, barulah aku beranjak untuk keluar dari ngarai. Kemudian berhabis malam di sekitar taman Jam Gadang. Menikmati anak-anak bercengkrama, muda mudi hilir mudik, pedagang makanan dan mainan. Adakalanya aku duduk-duduk di dekat pemain saluang, music tradisional Minang. Mendengarkan dendangnya dengan pantun-pantun yang sangat akrab bagiku.

Setiap berada di Bukittinggi, salah satunya aku menginap di rumah sahabatku Asraferi Sabri. Hanya beberapa kilometer dari pusat kota. Tetapi wilayah administratifnya sudah berbeda. Termasuk daerah Agam Tuo. Daerah Kabupaten Agam. Sahabatku masa itu memilih bermukim di kampungnya. Diapun terpilih menjadi Wali Nagari Pasia, Ampek Angkek. Wali Nagari di kampong halamannya. Merupakan kenagarian terkecil di Kabupaten Agam. Hanya memiliki 3 jorong. Daerah yang termasuk dataran sekitar Gunung Marapi.

Bersebelahan dengan Nagari Pasia, terdapat Nagari Batu Taba. Masih termasuk dalam satu kecamatan yakni Kecamatan Ampek Angkek Canduang. Sering aku melintasi nagari Batu Taba sebagai jalur alternative menuju Kota Bukittinggi dari arah Kota Padang atau sebaliknya. Jalan itu menghubungkan Kubang Putiah, Sungai Pua dan bertemu jalan raya Padang-Bukittinggi di Koto Baru. Kesemuanya adalah daerah perkampungan dan lahan-lahan pertanian yang berada di seputaran Gunung Marapi. Sepanjang jalan aku dapat bertemu view areal sawah ladang, rumah-rumah gadang, masjid tua dan suasana keramahan alami.


DARI BATU TABA KE KUBANG PUTIAH, AGAM


Suatu siang, dari Nagari Pasia, aku menuju Nagari Batu Taba. Nagari Batu Taba terdapat banyak home industry masyarakatnya. Penduduknya produktif  dengan usaha rumahan berupa konveksi. Tergerak saja hati untuk bersengaja ke Batu Taba. Aku ingin menemui salah seorang anak dari Nina Rianti, kakak angkatku semasa dulu hidup di Padang. Sudah lama dia menetap di Batu Taba. Terutama sejak beliau menikah.

Tidak begitu payah menemukan rumah yang akan kutuju. Aku dapat bertemu dengan Nanda Irawan, anak Nina Rianti. Tidak hanya bertemu Nanda saja, rupanya hari itu hari baik. Setelah beberapa tahun putus kontak sejak bertemu di Jalan Belakang Olo, hari itu aku bertemu lagi dengan Mak Anjang Benhard. Rupanya dia sejak lama banyak menghabiskan waktunya di Bukittinggi, selain berkeliling Negara-negara di Asean dan pulang ke Swiss.

Di beranda rumah Nanda, aku dan Benhard bercakap-cakap banyak hal. Diantara percakapan itu, ia mengeluarkan sejumlah potongan-potongan berita, yang diguntingnya dari berbagai majalah dan suratkabar, baik terbitan Indonesia maupun terbitan luar negeri. Tak kukira, Benhard sangat perhatian kepada perihal kerusakan tatanan social masyarakat dan alam lingkungan. Semangatnya pada soal-soal semacam itu sangat terlihat jernih.

Benhard menceritakan perbandingan, bagaimana pada waktu berbeda ia mendatangi suatu kota di Thailand. Kedatangan pertama, ia masih dapat penginapan dengan sewa yang wajar. Sewa yang sesuai dengan kemampuannya sebagai orang asing yang hendak berlibur. Tetapi akibat ekspouse dunia media travelling ---memperlihatkan sebuah potongan berita dari majalah terkenal negeri barat yang diguntingnya--- di waktu berikutnya ia datang, di berbagai tempat penginapan dan hiburan penuh sesak oleh turis-turis dari negeri barat. Otomatis struktur social masyarakat berubah seiring pertumbuhan ekonomi semacam itu. Harga-harga meningkat. Salah satunya ia merasa tidak nyaman berlibur karena sudah ramai dan untuk mendapatkan penginapan murah, sudah jauh dari pusat kota.

Tidak ketinggalan, ia juga menyinggung persoalan kesehatan dan gerakan anti merokok. Ia memperlihatkan kepadaku sejumlah kotak kemasan rokok yang dibawanya dari berbagai Negara. Memperlihatkan betapa tidak efektifnya gambar-gambar yang disertakan pada kotak kemasan itu. Kenyataannya masyarakat di berbagai tempat masih mengkonsumsi rokok.

Ketika aku bercanda, kenapa hanya kotak kemasan kosong yang diperlihatkannya kepadaku. Kemana isinya? Benhard menjawabnya dengan cepat, dia beli dalam keadaan utuh tapi isinya dibuang.

Pertemuan di Rumah Nanda di Batu Taba itu di pertengahan bulan Juni 2012, setelah 14 tahun kemudian semenjak Benhard mencariku ke kantor redaksi Harian Haluan di Jalan Damar, Padang. Selama itu kami tak pernah bertemu atau pun berkontak. Termasuk juga setelah 2012 bertemu di Batu Taba sampai saat aku menuliskan kisah Mak Anjang dari Swiss ini. Kami tak pernah berjumpa dan berkontak.

Yang kuketahui terakhir kalinya saat itu hanyalah, Benhard bersama keluarga Nina, hubungan kekeluargaan mereka semakin erat. Benhard telah mendorong keluarga Nina untuk membuka usaha tenunan tradisionil Minang yakni kain songket. Bahkan mereka telah dapat menyusun dan menerbitkan sebuah buku Songket Minang. Suatu sumbangan terhadap literature yang berharga bagi asset budaya daerah, maupun nasional.

Walaupun aku tidak banyak waktu dengan Mak Anjang Benhard, semenjak pertemuan awal kami sampai pertemuan terakhir di tahun 2012 di Batu Taba itu, aku tetap bersyukur terhadap persahabatan. Di dalam hubungan kekeluargaan yang baik itu, yang berhujung kepada pengembangan usaha tenun kain songket yang mereka usahakan, aku pernah ada diantaranya.

@abrar khairul ikhirma
Dari Pesisir Pantai Barat

21 Juni 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar