Minggu, 09 Oktober 2011

PULAU ANSO DUO: Sekali Songkok Pacah Talua

CATATAN BAGIAN KETIGA “SEKALI BERDAYUNG, TIGA PULAU TERKUNJUNGI” 04-10-2011

SEMULA tujuan pertama adalah Pulau Ujuang. Mengingat pasang akan turun maka diputuskan membelokkan biduak ke Pulau Anso Duo terlebih dahulu. Kalau pasang akan turun, ikan-ikan yang bermain di karang tiba waktunya bergegas pergi ke laut dalam sekitar pulau. Kalau tidak cepat mereka akan terkurung di batu karang. Tujuan dua nelayan yang membawaku adalah manjalo ikan maka tentu ikan-ikan itulah yang akan mereka “buru” sebelum mereka terlanjur lari ke laut dalam. Kami berangkat dari Pantai Gandoriah pukul 8.40 WIB dengan biduak (perahu) bercadik, bermesin berkekuatan 5 pk. Kami tidak merapat ke dermaga tetapi langsung ke bagian sisi Utara pulau, setentang bangunan “Surau Katik Sangko” yang beberapa waktu lalu dibangun Pemerintah Kota Pariaman.


Baru saja Kak Saad akan menambatkan biduak, Lelen yang sudah lebih duluan menyisir pantai tidak jauh dari kami berlabuh, sudah mulai menebarkan jalanya. Sekali tebar, Alhamdulillah…. langsung saja mendapat banyak ikan “nyiua” mirip ikan bawal. Dalam sekejap terisilah sepertiga karung untuk penyimpan hasil tangkap. Lalu Kak Saad dan Lelen menyisir karang. Sedangkan aku sendirian mengelilingi pulau.


Ikan “nyiua” mirip bawal atau gabua yang saya sebutkan itu memang lebih menyukai hidup di sekitar karang. Kulitnya putih keperak-perakan. Memiliki daya jelajah yang gesit dan lincah. Seperti juga ikan-ikan lain, ia amat suka bergerombol mencari makan. Ada yang menarik akan ikan nyiua, pabila ada gerakan yang mengejutkannya, mereka akan lari bertemparasan kian kemari. Jangan tertipu. Setelah mereka kocar-kacir itu jangan anggap mereka akan terpisah. Tidak. Sebentar mereka akan kembali merapat, menyatu dan membentuk rombongan kembali. Ini memberikan pelajaran bahwa ikan nyiua mengajarkan, betapapun terpisah oleh keadaan, pada akhirnya mereka tetap bersatu, tetap dalam persaudaraan. Sungguh alam dan isinya memberikan makna dan hakekat pada manusia yang memiliki kearifan.


Tangkapan yang sekali “songkok” atau sekali tebar jala tadi adalah “pacah talua” bagi kami. Tahukah arti “pacah talua” ??? Maksudnya rezeki pertama atas usaha yang dilakukan. Sesuatu yang pertama sudah menghasilkan maka seringkali dianggap sesuatu awal yang baik. Akan ada harapan untuk selanjutnya. Tidak salah juga Kak Saad dan Lelen amat gembira dengan keberhasilan itu. Saya juga ikut gembira. Kepergian para nelayan itu tidaklah sia-sia. Jika tangkapan nanti banyak, mereka akan berbagi dua dan sudah pasti saya juga akan kecipratan. Bagian masing-masing mereka berdua, biasanya mereka ambil untuk santap keluarga, selebihnya akan mereka jual di pantai nantinya. Biasanya hasilnya lumayanlah….
Pulau Anso atau dikenal juga dengan Pulau Anso Duo sudah tersohor lebih duluan. Betapa tidak. Namanya menjadi legendaries karena ada pantun yang sangat popular dalam masyarakat Minangkabau, Melayu dan etnik lain di nusantara ini yang tetap hidup sampai sekarang:

Pulau Pandan jauah di tangah
Di baliak Pulau Anso Duo
Hancua badan dikanduang tanah
Budi elok takana juo

(Dalam Bahasa Indonesia: Pulau Pandan jauh di tengah/ Di balik Pulau Angsa Dua/ Hancur badan dikandung tanah/Budi baik teringat juga)


Tidak salah pemerintah menjadikan Pulau Anso sebagai objek wisata. Karena popularitas nama yang sudah dimiliki selama ini, pun jarak antara pulau dengan pantai cukup dekat. Dengan memakai biduak bermesin tempel, bisa ditempuh kurang dari 20 menit, terutama dalam keadaan cuaca baik. Selain itu di Pulau Anso terdapat sejak lama sebuah Kuburan Panjang yang dipercayai oleh banyak orang sebagai kuburan orang keramat. Sampai sekarang, keberadaan kuburan ini masih terus diperdebatkan, siapa yang berkubur di dalamnya. Ada yang mengatakan, disinilah Syech Burhanuddin berkubur. Ada juga menyebut kuburan dua panglima perang yang tewas dalam pertempuran ingin menguasai Pariaman. Ada pula menyebutnya sebagai kuburan Katik Sangko, salah satu tokoh agama yang disegani pada masa dahulu di daerah Pariaman pegunungan. Yang jelas kuburan itu kini memiliki prasasti bertuliskan nama di atas batu mar-mar, Husin orang dari Mesir ???


Kami hanya sebentar di Pulau Anso dan bergegas menuju Pulau Ujuang. Ketiga pulau di depan pantai itu tidak dihuni penduduk. Pulau Tangah dan Pulau Ujuang setahu saya tidak dibuka sebagai objek wisata untuk umum oleh pemerintah meski, juga tidak ada larangan untuk berkunjung ke situ. Berbeda misalnya dengan Pulau Anso, pemerintah seringkali mempromosikannya untuk “jualan” meningkatkan potensi pariwisata daerah dan membentuk “panitia jasa” setiap tahun untuk membawa pengunjung pantai ke pulau, pada momen keramaian semacam pelaksanaan Tabuik, Lebaran dan Tahun Baru. Resikonya ya itu tadi, sampah. Pengunjung pergi, sampah tersebar begitu saja. Bungkus makanan dan botol-botol minuman kemasan bertebaran mengotori pulau.
Siangnya pulang dari Pulau Ujuang dan Pulau Tangah akhirnya kami bertiga kembali lagi ke Pulau Anso. Terlihat dermaga kayu yang dibangun pemerintah sudah rusak. Juga tiga bangunan rumah singgah untuk nelayan bagaikan “rumah hantu,” karena dibiarkan tanpa ada pengawasan. Biduak kami tidak merapat setentang bangunan itu. Kami hanya melintas saja menuju sisi utara pulau, dimana pagi tadi kami berlabuh. Air laut masih juga jernih dan ombak-ombak kecil memainkan biduk kami bagaikan suatu irama yang teratur. Cahaya matahari sudah mulai menerang tapi tidak terik. Namun kulit tubuhku sudah mulai melegam. Setelah biduak ditambatkan, Kak Saad dan Lelen kembali menyisir pantai dan karang saat pasang benar-benar susut.


Di bagian belakang pulau terhampar seperti lantai, karang yang menjadi penjaga pulau dari ombak. Ada kira-kira 3 atau 5 ratus meter dari pantai pulau, ombak memecah berdegum-degum. Di kejauhan sejumlah biduak nelayan asyik mengail ikan. Tetumbuhan di pulau ini masih terbilang banyak. Pohon kelapa dan pohon-pohon lain masih tumbuh dengan baik. Beberapa waktu lalu di sekitar pulau bergelimpangan pepohonan yang rebah kelaut, karena abrasi luarbiasa. Nampaknya, pohon yang bergelimpangan itu sudah dibersihkan. Mungkin karena pulau ini dibuka saat lebaran lalu untuk kunjungan wisata, tapi kemanakah kayu-kayu itu??? Bukankah kayu itu bisa dijadikan lagi sebagai penghalang hantaman ombak jika pasang sedang naik ???


Cukup lama saya sendirian berkeliling pulau. Memperhatikan biota laut yang berada di karang-karang, bermain pasir-pasiran, lalu mematut-matut pepohonan. Dua teman nelayan saya datang ke tempat saya duduk, mengajak untuk kembali lagi ke pantai. Hari itu hasil tangkap dengan memakai jalo lumayan banyak. Satu setengah karung. Selain ikan nyiua ada juga ikan marang surek. Ikan Marang Surek ini sangat enak jika digulai santan kelapa. Kata teman nelayan, ikan itu termasuk ikan ekspor ???

Tidak ada komentar:

Posting Komentar