Sabtu, 22 Oktober 2011

Nareh : Petang di Setasiun Kecil

Tadi petang (19/10/11) aku sengaja mendatangi tempat ini, Setasiun Nareh.
Sejak lama aku sudah berniat untuk menjenguk “sisa masa lalu” itu tapi selalu saja tidak kesampaian. Padahal akhir-akhir ini aku sudah beberapakali ke Nareh. Baru kali inilah kesampaian keinginanku itu.


Nareh [dituliskan oleh pemerintah dengan Naras tapi aku lebih memilih untuk menuliskannya sesuai dengan aslinya, Nareh]. Peng-indonesia-an nama daerah ini telah menghilangkan spesifik dan perobahan pelafaz-an, jelas akan merobah arti dan nuansanya.

Di Nareh terdapat sebuah setasiun kecil, merupakan salah satu setasiun kereta api di Sumatera Barat. Sampai kini masih terdapat bangunan setasiun, gudang, rumah, buatan zaman Belanda. Meskipun tidak terawat dengan baik, namun kesan kekokohannya masih menyisakan betapa pentingnya setasiun ini di masa lalu, di dalam membuka akses ke pedalaman Pariaman dan sekitarnya.


Setasiun Nareh merupakan jalur paling ujung dari jalur kereta api Padang-Pariaman. Setelah era transportasi berkembang dengan jalur mobil angkutan umum, otomatis perlahan mematikan trayek kereta api cukup lama. Seiring selesainya pembangunan jalan by-pass Lubuk Aluang-Simpang Ampek, yang melintasi Nareh.


Petang di Setasiun Nareh suasananya sepi.
Aku bagaikan disapa masa lalu yang kini tenggelam dalam perjalanan zaman.
Setasiun Nareh yang berada di bagian arah Utara Kota Pariaman ini masih memiliki harapan untuk dihidupkan kembali. Konon kabarnya akan diteruskan jalur menuju Pasaman Barat, jalur yang tak kesampaian di zaman Belanda dulu.


Di era akhir Presiden RI Soeharto, terbukanya daerah Pasaman Barat dengan perkebunan sawit, telah meningkatkan perkembangan daerah secara cepat. Sekaitan hasil perkebunan sawit dan keinginan untuk menghidupkan jalur kereta api lagi maka, Setasiun Nareh akhirnya difungsikan lagi sebagai sarana pemuatan pengangkut minyak sawit ke pelabuhan Teluk Bayur. Namun hal itu pun tidak berlangsung lama, karena lengsernya Soeharto, perusahaan sawit yang berkait dengan “keluarga Cendana” mengalami perubahan kebijakan. Setasiun Nareh kembali “mati.”

Sejak itu sampai sekarang Setasiun Nareh tidak lagi dimasuki kereta. Setasiun ini bagaikan bernasib tinggal kenangan saja lagi. Dimana setasiun yang pernah dikunjungi kereta sejak era “Mak-Itam” sampai ke zaman “Mak Uniang.” Dari kereta api berbahan batubara sampai ke mesin bertenaga diesel.


Tidak ada suara-suara yang menunjukkan adanya kehidupan di sini, saat aku mengelilingi setasiun kecuali satu dua orang kulihat di rumah depan setasiun tengah “bersunyi-sunyi.” Aku menyaksikan ada bagian bangunan yang kurang terawat, terutama ada atap genteng yang sudah tidak ada lagi di tempatnya, rel kereta dipenuhi rerumputan, sungguh menyedihkan.

Ketika aku asyik memotret beberapa sudut pengambilan setasiun, dengan hanya mengandalkan camera ponsel yang amat terbatas, aku dapat berjumpa dengan seorang lelaki pensiunan kereta api yakni Pak Darwis asal Lubuak Aluang yang menikah dengan perempuan asal Nareh dan anaknya, yang kini masih menjaga setasiun . Cukup lama kami bercakap-cakap di depan peron yang memang tidak ada atapnya.

Sayang cuaca menjadi cepat mendung, karena akan turun hujan, membuat kemampuan camera tidak maksimal. Akhirnya aku bergegas kembali menuju arah pusat kota.
Meskipun sudah tercapai tujuanku, aku sebenarnya belum puas, tersebab belum sepenuhnya menikmati suasana yang kuinginkan. Mendapatkan gambar-gambar dari berbagai sudut, yang mewakili suasana yang dipendam Setasiun Nareh. Biarlah dalam kesempatan lain aku bisa datang lagi dan memotret dengan baik, juga dengan camera yang lebih memadai. (abrar-khairul-ikhirma-19-10-11)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar