Selasa, 25 Oktober 2011

Kala Pagi Memandang ke Daratan


Sudah lama aku ingin memotret, saat pagi berada di pulau ke arah daratan.
Mungkin tidak lagi hitungan minggu dan bulan, sudah bertahun jika dihitung saat keinginan itu muncul dalam pikiranku.


Apa yang membuat keinginan itu datang ?
Tidak lain dan tidak bukan sederhana saja. Ada pepatah Orang Minang yang mengatakan “mahangok kalua badan.” Artinya kira-kira mencari kemungkinan atau bantuan dari luar. Arti pepatah Minang itu sangat universal. Bisa dijadikan sebagai penyimpul dari banyak hal terhadap keberadaan seseorang atau diri sendiri. Bisa ditafsir dengan atau untuk apa saja. Rasanya sangat relevan dan selalu dapat dijadikan sebagai acuan.


Aku misalnya, menafsirkannya sekaitan keinginanku untuk melihat daratan dari sebuah pulau. Meminjam pepatah “mahangok kalua badan” itu dalam artian melihat kehidupan lain diluar kehidupan sehari-hari yang selama ini dijalani.

Kehidupan yang aku maksud daerah, suasana dan segala yang berkait dengan perihal itu. Bagaimana keseharianku hidup lebih banyak hanya di daratan.
Bagaimana pula sekiranya saat-saat berada berjarak dari daratan melihat dari pulau. Salah satu gugusan yang terpisah dengan daratan, dikepung oleh lautan. Beralun, berombak dan bergelombang.


Berada di sebuah pulau tidaklah aneh bagiku. Dalam sejumlah kesempatan hal itu pernah terjadi. Namun waktu pagi hari dan pulaunya berjarak dekat dengan daratan, lalu dapat mengabadikan pemandangan dan suasananya ya belum sempat terlakukan. Tentu saja penyebabnya macam-macam. Salah satunya, sedang tidak memiliki camera dan tidak berada di momen yang tepat. Memang sulit untuk merencanakan dan menjalankan rencana itu sendiri.


Buktinya baru kali inilah aku mendapatkan kesempatan.
Kesempatan yang tidak direncanakan. Tujuanku sebagaimana biasanya, kalau sedang berada di kota tepi pantai ini, minum pagiku di pangkalan nelayan.

Di sini tepi pantai, aku dapat melihat ikan-ikan diturunkan nelayan dari kapal bagan ke daratan dengan keranjang ikan. Atau menurunkan biduk ke laut, melepas yang pergi melaut, menunggu ombak tenang hingga dapat membawa biduk ke balik ombak. Begitu juga sapaan yang akrab dari para nelayan dan pedagang ikan atau bercakap-cakap sejenak di bawah kerindangan pepohonan waru dan ketaping pantai. Semuanya membuat diriku menjadi segar.


Pagi 12 Oktober 2011 aku kembali diajak nelayan panjalo ikan ke pulau. Tanpa sungkan aku terima ajakan mereka. Karena cuaca sangat bagus. Laut di hadapan tenang. Tanpa persiapan apa-apa. Baik makanan, minuman, baju ganti dan camera yang memadai. Camera hanya camera hp yang megapixelnya amat terbatas. Tidak apa. Yang jelas aku dapat membuat foto-foto yang aku inginkan.


Aku tidak mensia-siakan kesempatan.
Kesempatan untuk menyaksikan pagi hari dari arah pulau ke daratan.
Tujuan pertama adalah Pulau Anso atau Pulau Anso Duo. Jaraknya dekat dari Pantai Gandoriah. Dengan keadaan laut yang tenang, perjalanan hanya tidak lebih dari 20 menit, dengan biduk bermesin 9 pk.
Dalam perjalanan tanpa ragu, aku mengeluarkan ponsel yang memiliki camera. Langsung saja memotret ke berbagai arah.

Saat sampai di pulau, aku tidak terkira gembiranya. Aku dapat menyaksikan view yang sangat indah sekali. Memandang ke daratan, kea rah timur yang mulai menerang. Langit yang bersih dan daratan terlihat memanjang dari Utara ke Selatan. Pantai yang senantiasa kujejak jika merintang hati dan pikiran kala pagi, siang dan sore, bila aku sedang berada di kota ini.


Meskipun dengan keterbatasan kemampuan daya rekam camera ponselku, dalam situasi begini, aku sudah terobati daripada tidak bisa melakukan apa-apa.
Bagaimana tidak. Lihatlah gunung dapat kusaksikan nun di kejauhan dari arah pulau. Jejeran batang waru, ketaping dan mahoni memagar daratan di sepelangkahan pantai.
Sungguh aku seorang yang beruntung.
Seseorang yang amat menikmati keindahan alam.


Aku pagi hari dari arah pulau memandang daratan.
Ada jarak memang yang memisahkan tapi aku selalu merasa selalu satu.
Daratan memiliki dinamikanya. Laut memiliki dinamikanya juga. Begitu pulau yang dikatakan terasing sesungguhnya tidak asing.
[abrar-khairul-ikhirma-13-10-2011]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar