Sabtu, 20 Mei 2017

TERSEBAB (TAUFIK IKRAM) MELAYU

PIPA-PIPA besi terentang panjang di permukaan tanah. Dimulai dari sumur penghisap. Cukam ke perut bumi. Mengalir ke penampungan, lalu pengolahan, kemudian diekspor. Masyarakat Sakai menjadi “saksi” proses itu bertahun-tahun di depan matanya.




Kelompok etnis Sakai yang hidup di Provinsi Riau daratan Pulau Sumatera, adalah potret “usang” kebudayaan masa silam. Salah satu potret “luka” kebudayaan pembangunan di nusantara sampai hari ini.

Mereka dikenal sebagai masyarakat “terasing” dari gerak laju pembangunan (terutama ekonomi, teknologi, pendidikan atau pun kesehatan) di Riau. Karena terlambat (atau dilambatkan?) mengantisipasi dan menikmati perkembangan yang terjadi diluar kehidupan mereka, sebagai masyarakat tradisionil.

Ketertinggalan itu dalam kacamata kehidupan sosial moderen, mengakibatkan  terbelit “kemiskinan” dan “keterbelakangan” dibandingkan dengan masyarakat yang dibesarkan kemajuan modernisasi. Pembangunan (hampir-hampir) tak menyentuh mereka dan pemerintah tak serius melindungi hak-haknya, sebagaimana yang dikehendaki dalam pemerataan “kemerdekaan” bangsa.

Pada pemerintahan terdahulu, “potret Sakai” berlangsung dalam kehidupan yang kusam, robek, dimakan musim. Seringkali dimunculkan ke permukaan, Riau adalah daerah provinsi kaya minyak di Indonesia. Tambang devisa dan tambang alat “kekuasaan” dalam berpolitik. Selain menjadi gerbang perdagangan dan industri, karena berdampingan dengan negara tetangga, Singapura dan Malaysia.

Di balik “gemuruh” kekuasaan, “kepentingan” yang dianggap harus didahulukan dan lajunya ekonomi yang diagungkan, disitulah masyarakat seperti etnis Sakai semakin “terasing.” Hidup “tersuruk” di daerah pinggiran dan pedalaman. Mereka tidak berdaya “melawan” tekanan yang masuk pada kehidupan sosialnya, sebagai konsekuensi arus besar pembangunan.

Pipa-pipa yang menghasilkan berbarel-barel minyak dan dollar itu (suka atau tidak suka), terbentang melintasi wilayah dimana mereka hidup dalam kemiskinan. Potensi daerahnya “dikuras” tapi mereka boleh kata “tak menikmati.” Tak merubah keadaan dan bahkan seringkali “terpaksa” tak dapat mempertahankan haknya, saat memenuhi “kepentingan” tersebut.

Kegetiran di “bumi melayu” itu tak akan pernah hilang dalam catatan aktifis sosial dan kebudayaan. Banyak pihak “mengatasnamakan” mereka dan banyak pula benar-benar merasa prihatin. Merekalah yang setia mendampingi “keterasingan” dari riuh rendah “kemajuan” yang selalu bergerak bersama kekuasaan di daerah.

Perjuangan terhadap “keterasingan” tak pernah mati. Terutama bagi para pengibar panji-panji kebudayaan. Ia dikobarkan melalui tindakan, pemikiran dan hasil-hasil karya para seniman (sastra, teater, tari, musik atau pun seni rupa) kreatif. Walau pun sayup, namun adakalanya bertemu kala membalik kitab kehidupan kita.

Salah satunya, Taufik Ikram Jamil, salah seorang penyair terkemuka Riau selalu “bersigigih” menggali, mengembangkan dan mempertahankan kebudayaan Melayu. Dengan cermat mengolah sejumlah topik “spesifik,” bersungguh-sungguh pada estetis bahasa, mengambil idiom “keterasingan” etnis Sakai itu dalam sajaknya berjudul “Sakai,” dengan bait pertama penuh risau, “riang menghadang menjelang petang/ bayang-bayang telah jauh tumbang/ bersulam kelam”

“Penghargaan” kebudayaanlah alternatif menjadikan potret usang, berubah dalam mengentaskan “kemiskinan” bangsa. Pada kebudayaan tersimpan  tanggungjawab moral, kemanusiaan dan keberagamaan. Namun sistimatis pemberdayaan pembangunan dan hasil-hasilnya masih belum berjalan dengan baik. Karena seringkali “tidak sealur,” bahkan “mencampakkan”-nya. Simaklah bait kedua sajak Sakai, “apa dayaku kini kecuali berharap pagi/ juga berjanji tinggalkan sunyi/ saat terang lalat menyaput jagat.”

Bukan hanya Sakai. Masih banyak etnik lain mengalami hal sama. Tapi sebagai suatu “simbol,” mampu mengungkap bahwa kehadiran untuk “kesejahteraan” rakyat tak merakyat. Masyarakat di berbagai daerah di nusantara, yang sudah mulai mendekati hasil-hasil kemajuan juga tak terlepas pada masalah “keterasingan,” dari “apa” yang memasuki struktur sosial kehidupannya.

Kebudayaan-kebudayaan “baru,” bertolak belakang dengan “kebudayaan tradisi” mereka, menggeser pada perubahan seringkali secara “paksa” dan akibat perubahan itu menjadikan mereka semakin “terpuruk.” Dimungkinkan oleh “pemanfaatan” kekuasaan, melalui tangan-tangannya “praktek” ekonomi dan hukum “kapitalis” yang berjalan disadari atau tidak.

Sakai yang dimunculkan sebagai idiom oleh Taufik Ikram dalam sajaknya, adalah wakil dari keadaan “keterasingan” universal, ketika “perubahan” memasuki suatu wilayah. Di mana di dalamnya ada manusia, budaya dan tata alam tradisi.

Gambaran Penyair Taufik Ikram pada bait ketiga sajak Sakainya, dapat dilihat sebagai perubahan yang “menyimpan” proses pada pembentukan yang dihasilkan dari “keterasingan” manusia dan kelompoknya, “tapi hari-hari telah pecah/ aku pun tetap gagu/ bak lukah/ di batu-batu,” dapat menimbulkan konflik sosial dan merebak ke arah politik sewaktu-waktu, misalnya.

Berlanjut pada bait keempat sajak Sakai, upaya penjelasan penghayatan dari analisa (mempertanyakan) terhadap berbagai keadaan yang telah terjadi sebagai persoalan kebudayaan yang (kini) dihadapi semacam daerah Riau, “(demang-buana-mahmud-tuah-jebat-lanang-megat-jamil-kecik-ali-ali-soeman-hasan-tarji-mengapa kausakaikan daku)”

Nama-nama tokoh yang disebut penyair Taufik Ikram pada bait keempat, adalah nama-nama yang sudah tertera (dikenal) antara lain dalam perjalanan sejarah kebudayaan dan sastra Melayu di  Riau. Mereka adalah “acuan” sebagai penjaga nilai-nilai dari hasil suatu peradaban ke masa depan.   

Perubahan yang terjadi pada suatu bangsa, berubahnya struktur sosial akibat alam (bencana dan perpindahan) dan manusia (perang, politik-kekuasaan, kecerobohan pembangunan). Kebudayaan pun terbentuk sesuai dengan sejarah dan perkembangan masyarakatnya. Bertahan, berkembang atau hancur sama sekali.

Perjuangan sejumlah masyarakat Riau agar Kebudayaan Melayu dapat dipertahankan, terasa kental ditemui dalam sajak-sajak Taufik Ikram Djamil pada kumpulan sajak penggal pertamanya, “tersebab haku melayu,” yang pernah diterbitkan Yayasan Membaca Pekanbaru di tahun 1995 silam.

Taufik sang penyair, dilahirkan di Telukbelitung 19 September 1963, sebuah desa yang berada di suatu pulau di Riau, dekat perbatasan Indonesia dengan Singapura dan Malaysia. Semula menulis karya sastra dan tulisan kebudayaan ke berbagai media terbitan lokal dan nasional hingga kemudian terjun ke jurnalistik sebagai wartawan di suratkabar Harian Kompas. Terakhir mengabdikan diri, salah seorang “pejuang” kehidupan kesenian dan kebudayaan (Melayu) di Riau.

Mencermati asal sastrawan dan budayawan Riau (seperti juga Taufik) mayoritas mereka terlahir dari kepulauan, yang kini sudah membentuk wilayah administratif Provinsi Kepulauan Riau. Kemudian mereka hidup menetap di Pekanbaru (Riau daratan). Beraktifitas dan berinteraksi. Objektifitas pendekatan mereka dalam memahami situasi “keterasingan” terasa lebih murni. “Kemelayuan” mereka pun begitu “sublim.”

Perkembangan nilai Melayu dalam kesastraan daerah dan nasional yang dihasilkan “amat terjaga” cita rasa Melayunya. Dimungkinkan sejarah sastra Melayu sudah berlangsung dalam rentang yang panjang. Berangkat apa yang telah dilakukan oleh mendiang Raja Ali Haji dari Penyengat. Diperkukuh pula dengan dinyatakannya pulau itu (pulau yang terletak di depan pulau Tanjung Pinang) sebagai tempat pembinaan bahasa Melayu berpusat, sehingga menjadi baku dan salah satu “simbol” tonggak terbentuknya bahasa nasional, Bahasa Indonesia.


TAUFIK IKRAM JAMIL


Sakai dengan “keterasingannya,” dalam bentuk lain Taufik mencatat pula dalam karyanya tentang “tragedi” perubahan, juga akan mempengaruhi kebudayaan, khususnya “melayu” di Riau pada sajaknya berjudul “akankah muaratakus.” Simaklah bait pertamanya, “akankah/ akankah kausentrumkan riuh ria ini/ dengan listrik 114 megawatt/ hingga kita sama-sama hangus/ tinggal arang-arang tersergam/ jadi kabel kesedihan panjang.”

Kehadiran pembangkit listrik Kotopanjang, di perbatasan Riau dan Sumatera Barat, pernah menjadi “perdebatan” nasional. Perdebatan telah usai, dengan ditenggelamkannya sejumlah desa-desa untuk pembuatan waduk. Nyaris mengorbankan pula situs sejarah Candi Muaratakus. Candi tersebut didirikan semasa pemerintahan raja-raja keturunan Sjailendra seperti juga terdapat di Tanjung Medan (daerah Lubuk Sikapiang) dan Simanganibat (Tapanuli).

Bukan manusia dan budayanya saja menjadi “korban” tapi juga perubahan lingkungan tak sedikit mengalami kepunahan, “akankah/ akankah kau lupakan rentak kawanan gajah/ dengan lagu-lagu dangdut/ hingga kita sama-sama terdiam/ tinggal kebungkaman hari/ jadi nada kelaraan tinggi.” Sisi alam ini, tak serius dilihat dan  dipertimbangkan. Pengrusakan lingkungan selalu memakan korban. Mereka yang seharusnya berbuat “dibungkam” oleh berbagai sebab untuk mencapai tujuan.

Sebagaimana biasanya, “pembangunan” demi kejayaan “kemajuan” selalu menyisihkan “pertimbangan” kebudayaan. Senantiasa meninggalkan “luka” dan menambah masalah-masalah sosial dalam kebangsaan kita. Tersisa dan sisa-sisa itu lama-lama bergumpal dapat menjadi “akumulasi.”

Inilah tragedi terbesar yang akan dihadapi di masa depan. Tercerabutnya akar dan compang campingnya sebuah kehidupan. “akankah akankah akankah akankah/ akankah kaurendam rindu dendam ini/ hingga sungai kampar timpas kandas/ tinggal keperihan arus/ memenuhi waduk musim bermusim.”

“Mentilik” dan “menghening-inapkan” sajak-sajak Taufik Ikram, semakin nyata, dia telah menyerap persoalan diluar dirinya (diluar kebanyakan perilaku karya penyair Indonesia), lalu menguraikan di setiap kata sejumlah peristiwa yang patut dan tidak. Tidak “memaksa” orang agar memahami persoalan pribadinya sendiri tapi “menating” perihal yang dihadapi suatu masyarakat daerah berkembang.

Kekayaan sastra, tidak hanya dibangun oleh persoalan yang diceritakan tapi bagaimana suatu karya terbangun lebih komprehensif. Antara karya dan pembaca tidak menjadi berjarak tapi ikut saling memahami, persoalan apa yang sebenarnya sedang kita hadapi dewasa ini.

Pemanfaatan “kemelayuan” atau sosal-soal etnik bisa menjebak pada konsumsi lokal dan ego kedaerahan. Taufik (mungkin) menyadari betul sehingga dia memakai kata, memilih topik dan melumurinya dengan “makna” seperti sudah diperhitungkan sebagai pilihannya dalam berkarya. Lugas tanpa kehilangan estetika, rapi tak melenyapkan makna. Membuat “pembaca” yang tak berkait Melayu tak pupus ketertarikannya mendekati persoalan yang disampaikan.

Hal itu dimungkinkan, tersebab Taufik Ikram Jamil, Melayu (*)


[Artikel Opini Budaya oleh Abrar Khairul Ikhirma ini, pernah dipublikasikan di Suratkabar Harian Singgalang Padang]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar