Minggu, 14 Mei 2017

RUMAH BACA CHAIRUL HARUN



MEMBACA di negeri “Orang Bicara” adalah fenomena. Usaha terus menerus mendekatkan orang pada kegemaran, hingga (mudah-mudahan) bisa sebagai kebutuhan kiranya tugas mulia. Terkadang bagaikan sebuah mimpi di alam nyata. Namun kegigihan dari para pecinta kebudayaan terhadap jiwa bangsa tak pernah padam. Selalu tumbuh lalu mati, dan tumbuh lagi. Begitu perulangannya.




10 TAHUN Wafatnya Budayawan dan Sastrawan Indonesia Chairul Harun, yang juga tokoh pers, selain diberikan Penghargaan Budaya dari PERSINDO (Perhimpunan Seniman Indonesia) Sumatera Barat, diketuai Asbon Dudinan Haza, peringatannya juga ditandai dengan dibukanya secara resmi, “Rumah Baca Chairul Harun” di kampung kelahirannya, Kayutanam, Jumat (29/2/2008).

Rumah Baca itu semakin menambah bilangan dari kantung-kantung “tumbuh kembang” kegemaran membaca yang ingin ditradisikan, agar terbentuk keseimbangan akan kesukaan dari sekadar melihat dan mendengar menjadi plus “membaca.” Lokasinya sangat dekat dari pasar rakyat dan berada pada pemukiman masyarakat. Bangunannya menarik dan nyaman sebagai tempat membaca.




Membaca bisa dimaksudkan untuk suatu pengamatan (dari yang tersirat), lisan (melalui oral) atau tulisan. Dari ketiga hal itu, pada umumnya bangsa kita lebih menyukai secara lisan, baru kemudian tulisan, sedikit berjerih payah melalui bahasa pengamatan. Tak setiap orang dapat mencapai tingkatan paling tinggi membaca itu, apalagi kemudian dapat pula “menyimpulkan” sebagai perwujudan dari pemahaman.

Bukan tersebab perkara cerdas atau tidak tetapi berangkat dari kebiasaan, lalu pengalaman, kemudian membudaya. Proses demikian tidak dapat terjadi dalam waktu singkat. Ada waktu, keinginan dan kesempatan terbentuk dari suatu lingkungan yang menciptakannya.

Tradisi tulis baca sebenarnya sudah dimulai sejak lama. Turun temurun. Bisa dipelajari melalui catatan sejarah. Namun tidak semua bangsa di suatu negeri, mempelajari dan membutuhkannya dalam keseharian. Ternyata yang jauh lebih pesat perkembangannya terpakai ialah bahasa lisan.

Dengan munculnya teknologi “tabung kaca” yang disebut televisi, telah membentuk banyak orang semakin gemar untuk melihat dan mendengar saja, dari pada harus berkutat dengan membaca “bacaan.” Keakraban bahasa lisan dan gambar sekaligus, disimpulkan telah melemahkan penjelajahan daya pikir untuk mempertimbangkan sehingga menjadikan pemahaman yang seragam.

Daya tarik yang ditimbulkan sangat luarbiasa. Berkat adanya gambar-gambar atraktif dan permainan bunyi suara, berupa kata-kata menyampaikan “sesuatu” atau sekaligus bunyi musik yang enak didengar dan menyenangkan.

Menghadapi lemahnya daya baca masyarakat, pemerintah pernah sampai perlu mengadakan program suatu gerakan nasional, agar tumbuh gemar membaca dalam masyarakat. Kampanye gencar dilakukan. Sejumlah rumah baca didirikan. Buku-buku dicetak dan perpustakaan besar atau kecil diadakan.

Namun jumlah pengunjung dan pembaca --pada umumnya,-- perbandingannya masih jauh di bawah angka menggembirakan dengan populasi dimana institusi itu ada. Tetapi harus diterima dengan gembira.

Tidak semua bibit unggul ada dalam satu persemaian. Ketika dipindah, ditanam, tumbuh dan dirawat, senantiasa diikuti mati oleh banyak sebab atau tumbuh tapi tak menghasilkan apa-apa. Menghasilkan tapi tak berkualitas.

Itulah tantangan bagi Rumah Baca Chairul Harun. Apa lagi berada di tanah di mana bahasa lisan berkembang sejak dulu. Minangkabau! Petatah petitih, tutur bahasa, disampaikan turun temurun melalui pengucapan yang terekam dalam ingatan, kemudian disampaikan lagi dengan kefasihan.




ADALAH menggembirakan, tatkala akhirnya terwujud dibukanya Rumah Baca itu. Mulanya, isteri pertama almarhum mengutarakan pada saya, bagaimana “menangani” buku-buku di rumah Pasir Putih, Padang. Waktu dibicarakan pada adiknya Syafrizal Harun (Da Zal), ia bukan tidak mau mengurus tapi tak etis kalau mengajukan diri. Akhirnya jalan terbaik saya minta ibu mendengar pendapat anaknya Gombang Nan Cengka di Jakarta yang lebih berhak. Dia tak keberatan.

Usulan saya, dari pada tidak terawat dan bisa lebih “agak” aman, buku-buku milik Chairul Harun bisa diungsikan ke rumah orangtuanya di Kayutanam. Uda Basril Djabar salah satu sahabatnya meminjamkan mobil dan sopirnya. Sehari tuntas. Tetapi perkara baru datang, bagaimana keadaan buku-buku itu selanjutnya?

Saya sendiri “kesulitan” datang ke Kayutanam. Sampai tulisan ini diturunkan ---dipublikasikan di suratkabar Harian Singgalang, Padang--- belum dapat menyaksikan bagaimana keadaannya.

Dari beberapa kali bertemu Uda Zal saya “gosok” terus adiknya. Bahkan saya terlanjur bicara “melankolik” pada Sutan Zaili Asril (almarhum) di suatu percakapan lepas di kantornya di suratkabar Harian Padang Ekspres. Sutan Zaili menawarkan diri, menyediakan salah satu ruang kantornya dan memberikan nama dengan “Kamar Baca Chairul Harun.”

Itupun tak saya tuntaskan. Sampai akhirnya sebagai pelepas “uneg-uneg” saya menulis catatan di Harian Singgalang (15/12/2003) dengan memanfaatkan momentum hari ulang tahunnya suratkabar bersejarah itu ke 35, dimana almarhum Chairul Harun berperan besar semenjak suratkabar tersebut terbit setiap hari dan dirayakan di INS Kayutanam, Desember 2003. Menyoal bagaimana “mendirikan rumah untuk Chairul Harun.” Agar buku-buku itu dapat dimanfaatkan oleh orang-orang berikutnya.

Mendapat kabar Rumah Baca Chairul Harun diresmikan, agaknya, kegembiraan itu bukan hanya milik saya sendiri tetapi, bagi kita semua dan khazanah ilmu pengetahuan dan kebudayaan secara luas. Sebab telah lahir sebuah kantung harapan, dimana nanti bisa menjadi salah satu sumber bagi penelitian mahasiswa,  tempat mengembangkan dunia baca secara dini, atau menghidupkannya dengan sejumlah kegiatan kesenian. Diskusi dan pertunjukan.

Di halaman bangunannya, bisa sewaktu-waktu diselenggarakan kegiatan diskusi, pertunjukan spontanitas atau pun terjadual. Masyarakat sekeliling sebelumnya sudah terbiasa, di sekitar bangunan tersebut sudah berulangkali terselenggara bermacam kegiatan pertunjukan seni, yang diadakan semasa almarhum hidup. Sehingga atmosfir yang nanti dipancarkan Rumah Baca akan memiliki korelasinya saling membutuhkan.

Bila dihitung saja ada 12 bulan dalam setahun, pengelola Rumah Baca cukup tahap pertama menyelenggarakan 4 kegiatan saja dalam setahun. Artinya sekali dalam tiga bulan. Misalnya, berupa Diskusi kecil, peluncuran/bedah buku, baca puisi dan pertunjukkan teater (monolog dan pantomim). Tak perlu kegiatan besar. Yang penting publikasi pada segmen yang tepat. 




TANTANGAN lain agar Rumah Baca tidak hanya sebuah tempat penyimpan buku, lengang, terkunci dan berdebu, diperlukan kerja keras tanpa pamrih. Karena dibutuhkan penjaga, listrik dan biaya lainnya. Diperlukan menarik hati simpatisan untuk mengalirkan donasinya menanggulangi pembiayaan, agar Rumah Baca bisa terkelola dengan baik. Termanfaatkan secara maksimal.

Sudah saatnya, sebagai langkah awal dari pihak-pihak pemerintah dan perusahaan besar swasta di daerah ini dilakukan pendekatan menjadi donatur. Semisal di wilayah Kabupaten Padang Pariaman terdapat, Angkasa Pura pengelola Bandara Internasional Minangkabau di Ketaping, Perusahaan konstruksi, minuman, pengolahan sari kelapa di Kasang, atau lagi air kemasan di Sicincin.

Lebih meluas lagi pada PT Semen Padang atau lembaga dan personal di PKDP dan Gebu Minang. Kemudian bisa dilanjutkan melakukan kontak dengan lembaga-lembaga swadaya yang mendonori kegiatan kemasyarakatan dalam dan luar negeri. Apalagi kinerja jelas dan baik, tentulah akan lebih banyak dukungan atas keberadaan Rumah Baca yang didirikan.

Jika Rumah Baca Chairul Harun dapat melangkah menerobos batas dengan donatur, bisa jadi sebuah pilot project ke depan atas meyakinkan, betapa pentingnya suatu kerjasama mengurus suatu bangsa. Karena di daerah ini, begitu kerap terjadi kegagalan pada apa yang telah dimulai (*)


[Artikel Opini Budaya oleh Abrar Khairul Ikhirma ini pernah dipublikasikan di suratkabar Harian Singgalang, Padang, Maret 2008]

1 komentar: