Senin, 29 Mei 2017

BUNG KARNO, RUMAH PENGASINGANMU

Belum terasa lengkap, bila datang ke Kota Bengkulu, tanpa berkunjung ke Rumah Bung Karno, atau lebih tepatnya rumah dimana Bung Karno, Sang Proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia, pernah tinggal selama diasingkan oleh Belanda di Bengkulu.




Pada salah satu kesempatan berkunjung ke Bengkulu, aku menyempatkan diri untuk mendatangi yang disebut masyarakat Bengkulu sebagai, Rumah Bung Karno. Selama berada di Kota Bengkulu, aku menginap di daerah Malabro, pemukiman penduduk, yang berdekatan dengan Benteng Marlborough, yang berada di kawasan pesisir Pantai Bengkulu.

Untuk mencapai Rumah Bung Karno dari Malabro terbilang dekat. Karenanya, disuatu siang sambil mengitari Kota Bengkulu, aku menyengajakan diri untuk mendatangi rumah tua, yang sudah dijadikan salah satu museum sejarah, yang dapat dikunjungi oleh masyarakat umum. Situs atau cagar budaya ini, merupakan salah satu “kekayaan” Kota Bengkulu, menjadi identitas yang kuat bahwa Bengkulu merupakan daerah yang bersejarah di dalam peta perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia.




Bung Karno atau Soekarno menjalani hukuman pengasingan sebelumnya diasingkan ke Ende, Flores pada 14 Januari 1934. Beliau di Ende diasingkan selama empat tahun (1934-1938). Kemudian dipindahkan ke Bengkulu.

Saat kedatangan ke Rumah Bung Karno, suasana sepi-sepi saja. Cahaya matahari menerangi Kota Bengkulu, dengan udara yang terbilang panas. Ada pedagang asongan yang berada tak jauh dari pintu masuk. Areal parkirnya terlihat memadai dan bersih.

Begitu juga memasuki halaman yang luas, terlihat terasa lapang. Rumput di halaman dan sejumlah tanaman bunga, tampak terawat. Melihat suasana demikian, menggiring perasaan, di masa lalu Bung Karno tentu merasa nyaman dan menyukai suasana asri dan tenang.




Dalam banyak cerita yang pernah aku baca-baca, di rumah bekas rumah pengasingan Bung Karno ini, terdapat sebuah sumur tua, yang dikabarkan adalah sumur misteri. Sumur yang terdapat magis dan banyak yang mengatakan sebagai sumur yang angker.

Ketika sudah menaiki anak tangga, tepatnya di beranda, disambut oleh petugas yang menyodorkan berupa karcis kunjungan. Sayang karcis itu tidak diberikan, dianya hanya menerima uang yang diberikan. Namun aku tak hendak berdebat perkara itu. Karena hal-hal semacam itu, adalah pernak-pernik yang semestinya perlu dikontrol oleh pihak atasannya. Sehingga tidak merusak keberadaan objek yang didatangi oleh pengunjung yang memiliki latar belakang beragam.

Cukup lama aku berada di Rumah Bung Karno ini. Menikmati suasananya yang tenang. Bangunan tua ini sangat terawat setelah direnovasi. Mulai dari depan sampai bahagian belakang, terlihat bersih. Sayang sumur tua itu, sudah direnovasi. Tidak ada tanda-tanda bahwa itu sebuah sumur tua. Menurut hematku, sumur itu tak mesti diperbaharui, kesan ketuaannya tetaplah dipertahankan.

Rumah berpekarangan luas ini, ditempati oleh Bung Karno dari tahun 1938-1942. Masa-masa di Bengkulu ini, Soekarno memiliki jejak-jejak sejarah penting yang tak dapat dilupakan begitu saja. Selain rumah ini, Soekarno meninggalkan karyanya berupa bangunan Masjid Jami’ dan perjalanan kehidupan pribadinya dengan Bu Fatmawati. Sang Penjahit Bendera Pusaka Sangsaka Merah Putih.




Dalam Rumah Bung Karno ini terdapat sejumlah barang-barang peninggalan Soekarno. Ada ranjang besi yang pernah dipakai Soekarno dan keluarganya, koleksi buku yang mayoritas berbahasa Belanda serta seragam grup tonil Monte Carlo asuhan Soekarno semasa di Bengkulu.

Ada juga foto-foto Soekarno dan keluarganya yang menghiasi hampir seluruh ruangan. Termasuk sebuah sepeda tua yang dipakai Soekarno selama berada di Bengkulu.


Rumah Bung Karno ini terletak di tengah Kota Bengkulu, berada di Jalan Soekarno-Hatta, Kelurahan Anggut Atas, Kecamatan Gading Cempaka. Konon rumah ini adalah milik seorang pedagang Tionghoa yang bernama Lion Bwe Seng, yang disewa oleh orang Belanda untuk menempatkan Soekarno selama diasingkan di Bengkulu (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar