Rabu, 08 Februari 2017

PEKERJA TAMBANG OMBILIN, Puisi Abrar Khairul Ikhirma





aku berdiri sejenak pada monument di tengah taman kota
antara bangunan tua terdiam siang nan lengang
meninggalkan lobang dalam dada
siapa kan dapat kuseru di sini
berkisah zaman telah pergi

aku mendengar derik roda lori sepanjang waktu
pada detak jantungku bagaikan pemukul lonceng
berdentang dari pagi sampai petang
sirine membubung ke langit lorong-lorong
memberi pertanda batas antara semuanya
pagi masuk kerja, waktu istirahat siang dan pulang senja

lori-lori itu membawa tiap nafas keringat hitam
bergegas tiada henti pada rel besi dingin terkunci
apa dayaku menakik perut bumi sepanjang hari
kecuali menghitam legam pada cerita misteri
batu bara tiada terkira

kusapa batang lunto batang ombilin
duka cerita mengalir bertahun membasah
airmu yang kian mengering bagai perempuan tua
mengalir disela batu tiada memandangmu
pernah membenam di sini bersama darah
jejak sejarah bermula kita terjajah
kerja paksa menambang hidup
dimulai 128 tahun yang silam
lenggis besi menakik bumi
di sini kutulis puisi

aku tepat berada di depan monumenmu
seakan mengalun dalam ratap dan sunyi
lagu yang didendangkan pada pantun
cerita menyayat risau yang berduri:
“dari tepian ke Sawahlunto,
Sawahlunto bukit berantai.”

adakah sesiang ini pandangan bertumbuk
pada gemulai tubuh muda senyum merekah
bibir membasah pipi merona taman-taman
bersendagurau di taman tiada pengunjung
gelak tawa hilang sepi pun meradang
merudung mengingat untung

mataku menjadi silau saat tengadah
seperti do’a-doa mereka yang dibuang jauh
menjadi orang rantai si penambang sansai
aku teringat akan puisi-puisi pernah kubaca
pasangan penyair suami-isteri 1980-an
M Yusuf dan Hanifah
“Lagu Siul dan Orang Buangan”
Sambil mendekapkan tangan ke dada
Membayangkan kota bermukimnya
Pada makna yang tak hanya bersepuh kata

Rel terbenam, lori melapuk dan silo diam
Lobang tambang gelap sehitam batu bara
Suatu hari kelak tinggal legenda.

Sawahlunto, Desember 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar