Senin, 06 Februari 2017

EMPAT GAMBAR KEPADA MUHAMMAD IBRAHIM ILYAS



Muhammad Ibrahim Ilyas, satu nama dari banyak nama orang sastra, yang sampai kini tetap bergiat di pelataran kesenian dari Sumatera Barat, Indonesia. Untuk saat ini, Bram, begitu panggilan akrabnya, adalah seniman senior daerah yang aktif berkarya tulis puisi, selain tetap bergiat dalam penyutradaraan pentas teater.




Bram tidaklah produk penyair yang lahir diuntungkan dengan adanya sarana media internet dan media social. Beliau berangkat dari pergulatan berkesenian pada jejak rekam yang jelas. Jauh sebelum tersedianya sarana hasil teknologi yang kita nikmati bernama internet ini.

Dia salah seorang pendiri dan pengasuh majalah dan Koran tabloid kebudayaan Ruang, yang diterbitkan dalam suasana zaman Orde Baru, dimana “menerbitkan” adalah bukan perkara yang mudah oleh setiap orang maupun lembaga.

Bram pun pernah mempublikasikan karyanya ke media cetak terbitan Padang. Tercatat salah seorang yang pernah bergabung dengan Bumi Teater pimpinan teaterawan Wisran Hadi. Sekeluar dari Bumi Teater, bersama teaterawan A Alin De berteater di Sanggar Teater Dayung-dayung, Padang. “Memperkuat” kehadiran Teater Semut yang didirikan dan diasuh Edi Anwar, selain bersama Asbon Budinan Haza dan Asri Rosdi akhirnya mendirikan Sanggar Pasamaian, Padang.

Teater dan sastra, dua dunia yang kini ditekuni Bram. Walaupun untuk satu masa, Bram pernah asyik dengan dunia fotografie tapi kemudian dihentikannya. Ia malah merasakan dunianya ada di atas panggung memainkan peran dan mengatur peran. Lalu menuliskan pergolakan batinnya pada puisi-puisi yang terus terlahirkan.

Sejak adanya sarana media internet dan media social, sebagai pekerjaan perintang-rintang hari, aku “senang” menyampaikan ucapan dengan sebentuk gambar yang aku posting melalui akun fb ku, kepada mereka yang aku apresiasi pada aktifitasnya selama ini, ketika mereka berulangtahun atau menerbitkan karyanya ke dalam sebentuk buku.

Inilah empat buah ucapan itu kepada Penyair dan Teaterawan Sumatera Barat, Muhammad Ibrahim Ilyas, yang diucapkan pada waktu yang berbeda.




Tak terhitung lagi malam yang tlah kita tempuh
Demi meraih fajar di esoknya, bak kata kahlil gibran:
Orang yang dapat meraih fajar adalah yang pernah melalui malam
Dan malam tlah menjadi bahagian hidup kita sampai kini
Sedang fajar itu seakan tak pernah kita temukan
Hanya pahit-getir-pedih dan perih bersarang
Dalam hari-hari kita tanpa harus kita sesali
Kita masih dapat tersenyum walau senyum itu
Hilang dalam baris-baris kata yang dituliskan
Pada warna yang dilukiskan dan cerita masing-masing
Di sudut dunia yang tak pernah akan dimengerti
Banyak orang, kita masih dapat mengikat
Tali persaudaraan dalam nada yang sama
Meski tak semua diantara kita dapat
Memainkan dawai gitar untuk bernyanyi
Dalam hati, kita tahu kehidupan itu
Bagian dari banyak hal untuk menanamkan
Rasa cinta, kesungguhan, rasa toeloes…

28 Januari 2013




Tetesan air jatuh ke batu
Melubangi jelmakan lorong
Tapi makna tak akan dapat
Menjumlahkan perjalanan musim
Saat air yang menetes
Dan batu yang diam
Kecuali kita menamakannya
Perjalanan kehidupan
Atas hidup kita

28 Januari 2014




Pernahkah kau ketahui
Bahwa syair itu berada
Dalam sekam ???
Sekam yang selalu berkait
Dengan api dan asap…




Tak terbilang lagi malam yang pernah
Kita telusuri dengan sejuta obsesi
Di kepala dan percakapan kita
Kala berjuta-juta jarum sunyi menusuk
Hari-hari persaudaraan kita itu

Tak kita hitung lagi pada langkah
Diayun dari taman ke wowo
Dari jalan diponegoro ke jalan veteran
Dari parak karambia ke puruih

Melintasi terminal, simpang sayonara
Dua kantor redaksi suratkabar dilewati
Pertokoan dan rumah-rumah jiwa
Pulang ke rumah demi ibu…

28 Januari 2017

1 komentar:

  1. Walau beberapa tulisan Om dikatakan sebagai 'pekerjaan perintang-rintang hari' namun tetap asyik dibaca serta dicermati. Hmmm :)

    BalasHapus