Jumat, 03 Februari 2017

EPISODA SELAT MELAKA DI KUALA NEGERI KEDAH



Makan siang sudah terlambat. Hari sudah bergeser ke waktu sholat Ashar. Melintasi sungai dengan pemandangan kapal-kapal penangkap ikan nelayan, tertambat di dermaga, juga terlihat bangunan tempat penjualan ikan, lalu meneruskan perjalanan jalan aspal masih bersisian kawasan tepian Selat Melaka. Kiri kanan jalan daerah kawasan payau, tanah berawa-rawa dengan rumput yang menyemak.




Kurang lebih sejarak 1 km dari kawasan pelabuhan Kota Kuala Kedah, kami berhenti pada rumah makan. Bangunannya berupa pondok terbuka, dengan tiang penyangga di atas air. Mengingatkanku pondok-pondok makan di sepanjang pantai di daerah kelahiranku, sepanjang pantai Pariaman, pesisir barat Pulau Sumatera.

Perbedaannya di daerah kelahiranku, di depan pondok makan terhampar pasir putih. Pantai yang landai dan pandangan mata terbentang dengan lapang. Perahu-perahu nelayan tidak melaut, memberi aksentuasi keindahan pantai yang tenang. Kerimbunan pohon-pohon memantulkan desir angin laut dan suara ombak yang pecah di pantai.

Tempat ini, tak jauh dari muara Sungai Kuala Kedah, masih “terpencil.” Jauh dari keramaian orang dan bangunan. Kiri kanan tempat makan itu masih lapang dengan suasana terbuka. Pun kawasan ini tidak terdapat pepohonan. Maklumlah kawasan rawa.

Kami datang ke sini bertiga, Aku, Amelia Hashim penulis sastra dari Kedah dan Andhyka Nugraha asal Palembang mahasiswa program di UUM Kedah. Kami baru saja selesai berkunjung ke Museum Kota Kuala Kedah. Suatu destinasi bersejarah dalam perjalanan Negeri Kedah di masa lalu. Kawasan yang terletak di pintu muara sungai dan kawasan pelabuhan kapal-kapal nelayan.

Hujan sejak kedatangan kami di Museum Kota Kuala Kedah sudah berhenti. Genangan air sisa hujan dan udara yang sejuk pada petang hari terasa menguapkan kesegaran. Memasuki rumah makan, kami menuju salah satu meja besar, di salah satu pondok, dengan view Selat Melaka.


SELAT MELAKA DARI MEJA MAKAN



Aku tak dapat mendekati bibir selat. Dari pondok tempat berada, ada satu jembatan di atas bentangan saluran air yang tak mengalir, sebagai penghubung mencapai ke arah selat. Di tengah jembatan kecil berbahan kayu, ada terdapat sebuah pintu besi yang dikunci. Sehingga mengurangi minatku untuk meniti jembatan mendekat menjenguk ke arah selat.

Ada beberapa meter yang memisahkan pondok dengan tepian selat. Dari meja makan, aku dapat melihat kesibukan lalulintas kapal yang mendekati tepian Negeri Kedah. Tampaknya air selat terlihat kusam, seperti menandakan kawasan tepian terdapat lumpur. 

Cahaya matahari tidak dalam sinarnya yang terang. Memandang ke arah selat, kejauhannya berkabut. Langit pun tidak membantu dengan kecerahannya. Praktis tidak menarik untuk melakukan pemotretan seperti biasanya mendatangi suatu tempat.


HAMPARAN TERATAI DALAM KOLAM PEMBATAS


Sambil menunggu, aku tidak membiarkan diri hanya duduk di kursi menghadapi meja yang masih kosong. Aku berjalan mendekati sisi pondok. Antara bangunan utama dan pondok dimana aku berdiri, terdapat tempat terbuka berupa sebuah kolam.

Pada permukaan air kolam terhampar dua kumpulan tanaman air. Tanaman berupa bunga teratai. Saat kedatanganku, helai-helai daunnya yang bulat, tersusun demikian indahnya. Membentuk suatu komposisi berupa susunan lingkaran. Tetapi tak ada bunga mengembang dan bermekaran. Ada tampuk tangkainya dengan kuntum yang belum mekar di bahagian tengah kumpulan itu.

Bunga teratai itu berwarna merah. Ya merah jambu tepatnya. Terlihat dari warna yang disembulkan kuntumnya di ujung tangkai terangkat tinggi dari permukaan air. Seketika aku teringat seseorang yang pernah kami berjumpa sesaat. Sekadar teringat saja. Rindu tidak. Melupakan juga tidak. Suatu hal wajar saja dalam hidup pada apa-apa yang pernah ditemui. Tertinggal dalam ingatan atau sekadar melintas di dalam keseharian. 

Lama juga aku tercenung memandang letupan air, mencari-cari adakah ikan di dalam kolam itu. Namun tak ada ikan hendak memperlihat siripnya, tak hendak memberikan atraksi berenang diantara tetumbuhan teratai atau pun meninggalkan kecipak sebagai suatu pertanda waktu semakin bergerak tajam menuju petang.


JUICE APPLE PANDANG LEPAS KE SELAT MELAKA


Saat kedatangan kami, tidak ada tetamu yang lain yang berdatangan. Meja-meja terhampar sunyi dan kursi-kursi kosong. Aku kembali ke meja, menanti minuman dan makanan dihidangkan. Lama juga, datanglah pesananku. Segelas kesegaran yakni juice apple. Kuteguk seteguk. Memandang ke selat Melaka dihadapan. Ada jarak yang membatas. Ada bentangan saluran air menghadang. Dari kejauhan saja aku dapat saksikan kapal-kapal bergerak entah kemana, kelaut ataukah ke dermaga.


BULUNYA HALUS TANPA ADA NGEONG DISUARAKAN


Kemudian datanglah hidangan. Kami pun makan. Dalam suasana senyap kami pun bersantap. Tetapi di bahagian bawah meja, tepatnya dekat kursiku, ada makhluk datang dengan kebersahajaannya. Ia tak menunjukkan sikap tak bersahabat. Tidak juga dengan perangai buruknya main serbu saja. Ia sungguh menarik hatiku untuk memandangnya.

Bulunya halus. Ada warna cream, putih dan hitam dalam komposisi indah. Sama sekali tak hendak ia mengeluarkan suaranya untuk membenarkan bahwa dia adalah kucing. Sengeong pun tak hendak ia keluarkan suara. Sikapnya itu sungguh tak membuat aku merasa tentram. Pandangan matanya sangat penuh dengan kisah-kisah. Andaikan bahasa itu sama, tentu ia akan berkisah dengan ketenangannya. Mungkin saja.

HIDANGAN ITU

Sebagaimana biasanya, aku tak hendak makan dengan porsinya yang banyak. Meskipun aku sendiri merasa lapar. Aku ingat dengan pepatah lama leluhurku, “makan jan bahabih-habih, lapa jan kanyang-kanyang.” Meskipun lapar tapi berbagai hal perlu pertimbangan. Aku mempertimbangkan semua itu. Aku tidak seorang yang tak mau tahu. Aku tahu akan diriku.

Nasi putih secukupnya, sayur kangkung yang dioseng dan goreng sotong atau cumi-cumi sekadarnya sebagai lauk. Sudah cukup. Alhamdulillah. Dapat saja makan itu jauh lebih baik. Enak itu bagiku relative dan kenyang itu bagiku antara lapar dan terisi. Keduanya berpaut dengan kepribadianku untuk berlaku biasa-biasa saja. Tidak ingin berlebihan dan juga tak berkehendak dilebihkan.

Diantara rehat selepas makan, Amelia sempat berkisah perihal pulau-pulau kecil yang berada di hadapan Negeri Kedah di Selat Melaka. Terutama Pulau Sungsung dan Pulau Bunting. Selintas ia menyampaikan legenda antara pulau-pulau tersebut. 


TINGGALLAH JEJAK KAMI SESUDAH ITU


Cahaya matahari petang tak hadir di tempat ini. Suasana hanya memburam perlahan terangnya semakin berkurang. Lama juga kami berada di rumah makan ini. Hingga akhirnya memutuskan untuk meninggalkan meja dan kursi.

Sepertinya sunyi itu segera menyergap jejak kami. Meja yang telah kosong dari piring dan gelas. Kursi tanpa ada yang menduduki, disembunyikan rapat ke bawah meja. Sambil melangkah keluar, aku seperti mendapat pelajaran. Menemukan sejumlah pemikiran dan pandangan. Namun tentu juga akan bernasib sama, kusimpan pada lipatan-lipatan kenangan. Tidak untuk kubiarkan bertumpuk di dalam pikiran agar ruang berpikirku tetap lapang dan tidak menjadi sempit. (*)

abrar khairul ikhirma
abrarkhairul2014@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar