Rabu, 01 Februari 2017

“4 SUARA” DIANTARA “MELAYU” PENYAIR ANTOLOGI “CAKAR NANAR”

OLEH: ABRAR KHAIRUL IKHIRMA - Indonesia


Rasa senasib dapat menyatukan orang berbeda. Tetapi ini bukan perkara nasib. Perkaranya satu pokok pandangan “pelik” telah mampu menyatukan penyair-penyair tanah air pada satu buku. Dimana karya-karya puisi sebagai “suara” para penyair tersebut berhimpun pada Antologi Puisi berjudul “Cakar Nanar,” yang diterbitkan Numera-Malaysia, 2016.


MALIM GHOZALI PK - YASSIN SALLEH

Cakar Nanar, buku setebal 500 halaman, memuat puisi karya-karya penyair Malaysia, terhimpun pada Persatuan Sasterawan Numera ---Nusantara Melayu Raya--- Malaysia, yang sekaligus bertindak sebagai penerbit buku. Buku tebal ini dicetak dengan kualitas cetak yang baik. Dapat dijadikan salah satu “jejak” penelusuran gambaran “sikap” kepenyairan terhadap situasi “kebangsaan” tanah air mereka. Terutama dalam menghadapi perubahan-perubahan dinamika nasional, yang “imbas” dari situasi globalisasi perpolitikan dan perekonomian dunia.

Ide buku antologi ini diselenggarakan oleh Sasterawan Negara, Dato’ Ahmad Khamal Abdullah, Presiden Numera-Malaysia. Dimana sang sasterawan ini memiliki jejak rekam, konsisten menegakkan nilai-nilai Melayu dan keislaman di dalam aktifitas dan karya-karyanya. Beliau gigih “mendorong” agar memberikan perhatian serius kepada mempertahankan bahasa Melayu. Salah satunya melalui Persatuan Sasterawan Numera-Malaysia, beliau “memantik” api kreatifitas para penyair untuk berkaryacipta sastra, agar kebahasaan tetap “ada” yang menjaga kesinambungannya sebagai identitas bangsa Melayu.

Dalam Pengantar buku ini Dato’ Ahmad Khamal Abdullah yang dikenali nama penanya Kemala mengatakan, “Kalangan pejuang bahasa Melayu sudah nampak dampak yang akan memusnahkan bahasa Melayu dan di depannya ada jurang paling dalam yang menanti. Tentu sekali kita menjerit tidak bersetuju. Para penyair pun bersatu hati kami menentang.  Kami adalah penerus cita-cita Kongres Persuratan 1956, kami akan menjerit dalam sajak-sajak kami dalam Cakar Nanar.” (hal.xiiv)

Dilema kebahasaan ini sangat dirasakan kalangan penyair tanah air. Disatu sisi, pengaruh masa silam dan tuntutan zaman saling berkait. Dua hal itu membuat perjalanan bahasa Melayu menjadi “seakan” tidak menjadi “tuan di negerinya sendiri.” Apalagi dengan adanya upaya “bahasa pengantar” digantikan bahasa asing di sejumlah “konteks” yang sangat merisaukan.


Buku Antologi Puisi Cakar Nanar ini “dihadiahkan” kepada saya oleh Dato Kemala, tidak berapa lama setelah diterbitkan, yang dititipkan melalui Lily Siti Multatuliana ---bersekutu dengan Numera--- yang pulang ke Indonesia. Sejak buku diterima tak memiliki waktu untuk membaca. Apalagi pada decade terakhir ini saya sudah tidak lagi membaca buku bahkan media cetak lainnya. Salahsatunya ada hal “kesukaran” yang tak dapat dijelaskan, selain berhentinya “minat” untuk membaca itu sendiri.

Walau pun tidak membaca secara keseluruhan untuk menelisik secara serius isi buku, beberapa kesempatan saya sempatkan juga untuk “membacanya” secara acak dalam pekan awal tahun ini. Ramai juga puisi para penyair termuat dalam buku Cakar Nanar ini. Ada yang menulis lebih dari satu puisi. Ada memang hanya satu puisi saja, sebagai bentuk keterwakilannya.

Pada kesempatan beberapakali menelusuri Cakar Nanar secara acak, dalam situasi santai dan semata-mata menempatkan diri hanya sebagai seorang pembaca, saya “bertemu” empat buah puisi diantara halaman buku tebal berisi puisi-puisi yang beragam teknik dan style penulisannya. Karenanya tidak menelisik satu persatu secara serius, ibaratkan saya “berhanyut” saja tatkala berada di sebuah sungai. Sesekali saya akan “tersangkut” pada ranting pohon yang berada dalam arus sungai, patah, hanyut dan terhenti sebab terganjal lumpur.

Saya bukan seorang ahli sastra. Seseorang pembaca biasa dan kebetulan membaca. Saya tak dapat “membabtis” bahwa inilah yang terbaik diantara yang lainnya, atau inilah yang terburuk diantara yang banyak. Keahlian dan pengalaman saya tidak berada pada wilayah itu. Karenanya saya hanya bertumpu kepada pengalaman-pengalaman belaka.

Saya bukan seorang hakim yang dapat menjatuhkan vonis seperti kebanyakan “hakim-hakim” karya sastra yang menjadikan dirinya sendiri sebagai hakim tanpa pernah mendapatkan ruang pengadilan sesungguhnya. “Suaranya” kerap hanya “berdengung” pada ruang “hampa,” tiada tahu bahwa sesungguhnya dewasa ini kita “berkehidupan” di sebuah alam “antara terdengar dengan tidak,” bahkan entah ada bersuara atau jangan-jangan tidak lebih hanya bungkam saja. Tanpa suara. Keh keh keh.


AHMAD KHAMAL ABDULLAH - ZURINAH HASSAN

Dalam kesempatan membalik-balik halaman, pada sejumlah kali yang saya lakukan, saya terjumpa puisi berjudul, “Pohon Bahasa.” Penulisnya Zulfazlan Jumrah. Mendapatkan kata “pohon” otomatis saya terhubungkan dengan dilema misi kelahiran dan kehadiran buku antologi Cakar Nanar yaitu persoalan keberadaan bahasa Melayu di masa-masa perubahan nilai-nilai dan bergantinya regenerasi yang dibesarkan arus budaya, teknologi, ekonomi dan perpolitikan, saling berebut pengaruh.

Apa bedanya dengan dilema yang dihadapi Indonesia dengan hutan ??? Pohon-pohon menemukan nasibnya. Penebangan resmi dan penebangan liar. Hutan yang didengungkan sebagai “paru-paru dunia” dibabat ganti berganti dari rezim ke rezim. Meninggalkan daerah gundul. Membangkitkan udara tak sehat, bencana longsor dan banjir. Bahkan hutan demi perkebunan, berganti kepentingan. Timbulnya “pembakaran” dan diperhalus dengan kata “terbakar.” Terbakar dan dibakar, benar atau tidak, yang jelas asapnya memenuhi udara, beterbangan kemana-mana, mengotori udara yang dihirup manusia, memedih pandangan mata, menyesak dada untuk bernafas, menimbulkan penyakit dan mematikan.

Kali ini di tangan seorang Zulfazlan, Bahasa itu ia ibaratkan Pohon. Pohon yang ditanam sejak zaman nenek moyang. Bila pohon itu tumbuh di atas tanahnya, memberi manfaat untuk tempat berteduh kala datang hujan dan berteduh dari terik sinar matahari. Walau pun tak disebutkan, apakah nasib akan diderita andaikan pohon itu tiada diantara kehidupan kita??? Ketika bahasa asing tumbuh di tanah yang asing. Pohon tumbuh di tempat tumbuhnya. Lebih eloknya, saya kutipkan puisinya:

POHON BAHASA
Zulfazlan Jumrah

Telah kutanam pohon bahasa/ Berakar tradisi/ Berdahan nurani/ Dedaunnya adalah/ Helaian-helaian budi/ Di sinilah/ Akan tumbuh kemolekan pekerti/ Di sinilah/ Akan lahir luhur jiwa manusiawi/ Di sinilah/
Akan subur kemegahan warisan tradisi/ Di sinilah/ Kasih dan cinta itu bersemi/ Pohon bahasaku/ Suburlah kau/ Setiap masa dan ketika/ Dan di sini/ Akan kusirami/ Luhur jiwa yang mewangi/ Agar nanti/ Kami bisa berteduh/ Dari hujan dan matahari. (Cakar Nanar, hal.144)

Bagi yang mengetahui akan “kebesaran” dan “pentingnya” akan sesuatu, “memudar” atau “hilangnya” pastilah mendatangkan “kerinduan.” Kerinduan yang tak sekadar merindu seperti pameo “punguk merindukan bulan.” Tetapi kerinduan yang membangkitkan ingatan, bahwa apa yang dibangun dan terbangun saat ini ialah berhubungan erat dengan masa yang sudah dan kecemasan untuk masa yang akan datang.

“Tuan berdiri umpama pagar/ Jangan sanggup meracun akar,” dua larik ini tertemukan pada puisi yang ditulis Zurinah Hasan dalam antologi Cakar Nanar. Yang menjaga agar bahasa tetap menjadi “penghubung” dan “cermin” bagi suatu bangsa adalah bangsa itu sendiri. Merupakan tanggungjawab bersama sebagai suatu perekat keutuhan pada berbagai lini kehidupan.

Keterjagaan rasa tanggungjawab, juga diikuti oleh suatu ketentuan yang disepakati. Kesepakatan yang mendasari “diundangkan,” menjadi pedoman pembendung dan penjaga. Adanya kelembagaan atau institusi, berperan besar dalam hal ini. Karena dialah “pagar” untuk melindungi “pohon” agar tidak ada yang “menebangnya.” Mau tidak mau, masyarakat dengan berbagai latarbelakang, memerlukan arah yang jelas dan “perisai” sistim menghadapi tantangan yang bagaikan “arus deras” setiap saat dapat melanda menumbangkan pohon.

Terkadang “hawa” perpolitikan dari suatu kekuasaan, akibat godaan perekonomian dan tumbuhnya regenerasi yang tak “berbekal” cukup memadai dari tradisinya, “melemahkan” apa yang diharapkan sebagai pagar, sebagai penjaga. Dalam “hukum” pemahaman yang berkembang dari latarbelakang saya, hal semacam ini kerap disebut sebagai pameo, “pagar memakan tanaman.” Yang datang dari luar adalah hal biasa tapi membiasakan kita sendiri yang merusaknya yang semustinya patut kita pelihara??? Suatu yang tragis.

Inilah yang terasa ditekankan dalam puisi Zurinah Hasan agaknya, dengan menuliskan larik, “Jangan sanggup meracun akar.” Menggambarkan, semestinya lembaga dan institusi yang berkewajiban menjaga, tidak pada tempatnya perbuatan “membunuh pohon” itu sendiri. Karena arah dan tujuan, perkembangan dan keterjagaan, bangsa mengamanahkan kepada “kesepakatan” sebagai cita-cita kehidupan bangsa dan Negara.

Jangan biarkan merintih. Simaklah bagaimana bahasa “rintihan” itu dengan sangat rapi dituliskan Zurinah Hassan, dengan aroma sastra Melayu klasik:

PANTUN RINTIHAN BAHASA
Zurinah Hassan

Dulu kami bernyanyi riang/ “Burung kenek-kenek/ Hinggap di hujung desa/ Pesan datuk nenek/ Jaga budi jaga bahasa”/

Kini semua terdiam/ Tiada lagi pantun dan gurindam/ Angkara mengidam emas segenggam/ Lidah benda hinggap ditikam/

Di sana padi di sini padi/ Padi ditanam di tanah moyang/ Di sana berbudi di sini berbudi/ Bahasa sendiri di timpa malang/

Pohon bahasa rimbunan segar/ Mengapa dibiar kering terkapar/ Tuan berdiri umpama pagar/ Jangan sanggup meracun akar/

Dengan pisau di tangan kanan/ Dengan mentimun di tangan kiri/ Gila apakah tuan gerangan/ Maka dihiris lidah sendiri?/

Sekali berjanji sekali mangkir/ Bagai tebu tumbuh di bibir/ Bangsa disisih bahasa dipinggir/ Itulah jalan kuasa berakhir. (Cakar Nanar, hal.354-355)

Kemajuan-kemajuan yang diperoleh, sesuai dengan perkembangan zaman, ilmu teknologi, perekonomian antar bangsa, menyertai dinamika kebijakan dan politik suatu Negara, berkesesuaian pertumbuhan regenerasinya. Terkadang terbawa arus perubahan tanpa memiliki akar, ada juga memiliki akar tapi tiada henti didera “keterjepitan.” Bahkan ada juga dapat dengan santai, memiliki kebebasan tanpa kepedulian. Itulah sisi negative dari ekses “keterhubungan” dan “percampuran” dengan dunia luar, diantara hal-hal positif yang dapat memperbaiki “hidup” berkebangsaan.

Membaca puisi berjudul “Sejak Bermula,” yang ditulis Yassin Salleh dalam Antologi Cakar Nanar ini, kita dibawa ke alam perubahan zaman itu. Zaman kehidupan Melayu dalam memasuki zaman kehidupan modern.  Bagaimana materi dan sistim pendidikan seperti halnya pelajaran “berhitung.” Mulanya dikenal dengan penamaan “ilmu hisab” kemudian ditukar dengan “ilmu kira-kira.” Akhirnya dinamakan sebagai “matematik.”

Metafora ini sangat simple dan sederhana tapi luput dari perhatian. Menekankan betapa regenerasi tak hendak belajar kepada suatu hal yang terjadi. Buruk baik perkembangan. Tetapi mabuk dalam “kemeriahan” yang disebut kemajuan, sebagaimana diibaratkan Yassin sebagai “Tarian Anak-anak Sang Nyamuk si jentik-jentik.”

Semuanya belajar dari budaya dan pembelajaran. Buruk baik memerlukan ukuran dan perhitungan. Sedangkan kini perhitungan itu seringkali tidak menjadi perhatian dan ukuran itu sendiri alangkah aneka ragam. Mempesona. Menipu. Sekaligus juga sangat membingungkan. Seperti untuk disebut sukses, memiliki jabatan, kendaraan dan rumah mewah. Cantik pabila menggunakan pakaian berbahan termahal dan kosmetik brand ternama. Demikian juga dalam memilih pendidikan, berbahasa dan gaya hidup. Ukuran-ukuran yang berkembang dalam masyarakat itu tidak dapat terbantahkan. Bila tidak tergapai akan tumbuh menjadi “impian” dan “mimpi.”

Simaklah puisi Yassin Salleh yang naratif ini, mengingatkan betapa kehidupan pendidikan zaman dahulu yang disebutnya zaman “papan batu” dimana orang kampung saya mengatakannya “zaman garepe,” suatu alat untuk menulis belum menggunakan kertas. Lalu zaman kemudian tergantikan abad computer. Sejauhmana perihal itu dapat dimaknakan sebagai suatu perubahan zaman, semakin membawa kebajikan ataukah penunjuk suatu “ketergilasan” roda zaman yang berpacu ??? Simaklah dimana bermulanya.

SEJAK BERMULA
Yassin Salleh

Sejak bermula persekolahan di zaman papan batu dahulu/ Anak-anak Melayu matanya kuyu/
Pelajaran ilmu hisab mereka tak pernah maju/ Kemudian ditukar nama jadi ilmu kira-kira/
Kian pulalah tambah mereka lara/ Meraba-raba bagai Si Buta dalam rimba/ Ditukar pula lagi namanya jadi matematik/ Kianlah Si Buta matanya terbedik-bedik/ Bagaikan tarian Anak-Anak Sang Nyamuk si jentik-jentik/ Langsung dalam Budaya Tidak Tahu Mengira dan Berkira/ Disumpah Sang Kelembai pula mereka/ “Kerana bodoh belajar dalam Bahasa Melayu. Belajarlah/ Dalam Bahasa Inggeris, Bahasa Tamadun Orang Bijaksana”/ Lalu saudagar besar Computer Hardwares & Sofhwares  pun/ Bernyanyianlah. “Lu manyak pandai kila-kila. Lu sepaluh Cina sepaluh/ Kita sekalang manyak kaya. Itu Ahmad Albab pun taklak syama”/ Alahai Amak Si Randang. (Cakar Nanar, hal.212)

Apa pandangan seorang penyair seperti Malim Ghozali PK, ketika berlangsungnya situasi, perdebatan dan realitas terhadap “ancaman” nasib bahasa Melayu, diantara bahasa-bahasa yang terus “berdatangan” dan berusaha merebut “pengaruh” pada perjalanan perkembangan regenerasi yang beragam latarbelakang dan pertemuan budaya “percampuran” yang tak dapat dielakkan ???

Ular Hitam yang menjadi metaforanya sungguh memikat. Ancaman itu dijelmakannya di dalam puisinya yang tidak bersuara “lantang” tapi membawa “permenungan” untuk menemukan “hakikat” sebuah persoalan. Tapi siapakah yang mau meluangkan waktunya untuk “memenungkannya” yang tidak dalam artian “termenung” di dalam ketidakberdayaan ???

Ular Hitam itu adalah ancaman yang bersembunyi, untuk menemukan peluang “mematuk.” Namun “keyakinan” adalah upaya diantara kecemasan yang sedang berlangsung. Optimisme itu seperti berseru untuk membangkitkan ingatan lewat puisi Malim ini, bahwa  Tinta merah ibundaku membara
Di alam bernama Melayu.” Sebagaimana disebutkannya di akhir baris puisinya, “khabarnya bahasa juga bisa membunuh ular-ular hitam.”

KUTULIS PUISI INI DENGAN MERAH TINTA IBUNDAKU
Malim Ghozali PK

Telah gugur juga daun yang sehelai itu/ Menari ditinting angin/ Menyanyi di bibir tasik/
Terkilau biru air di hijau daun/ Abadikan sejarah tamadun/ Di tanah tumpah darahku/ Ada merah tinta ibundaku/

Di bukit-bukit dan di kebun-kebun/ Khabarnya ada pendatang-pendatang/ Kuning, putih, sawo matang/
Ular-ular berwarna hitam/ Bersembunyi di lubang-lubang/ Mengintai peluang/ Dan merayakan kedukaan orang/ (ular hitam diriwayatkan pernah mematuk sultan Melaka)

Lalu kutulis puisi ini dengan merah tinta ibundaku/ Daun sehelai yang gugur/ Kau namakanlah bahasa atau cemburu/ Ia tetap tinta ibundaku/ Selamanya mengenali Dendam putih, kuning, sawo matang/
Dan ular-ular hitam di lubang/ Belum mampu berbicara/ Kerana belum kenal bahasa/ Akan tumbuh lagi/ Tunas baru di tanah ini/ Kalian tidak pernah tahu/ Tinta merah ibundaku membara/ Di alam bernama Melayu/ (khabarnya bahasa juga bisa membunuh ular-ular hitam) (Cakar Nanar, hal.361-362)

Problema “bahasa” ini menurut hemat saya, tidak hanya dialami oleh Malaysia saja. Agaknya di berbagai Negara di belahan dunia ini, tentu juga mengalami hal yang sama. Akibat berkembangnya “keterhubungan” dan “pengaruh” yang memasuki antar bangsa itu sendiri. Lalu pertumbuhan regenerasi yang lahir, dibesarkan dan dididik yang “mereka” sendiri “terjauhkan” dari “rumpunnya.” Asuhan itulah yang menentukan sebagai dasar bermulanya.

Kemudian baru namanya “jalur pendidikan.” Kebijakan bahasa pengantar dan teks. Salahsatu keterjagaan itu agar bahasa bangsa tetap menjadi hal yang utama, kebijakan, bahasa pengantar dan teks mestilah memerlukan konsistensinya. Sebab jalur pendidikan adalah salah satu “pembentuk” regenerasi. Jika mereka dijauhkan, mereka akan menjadi asing. Keterasingan itu “berimbas” kepada kehidupannya, lingkungannya, berjarak dengan “kebudayaan” leluhurnya, digantikan “kebudayaan baru” sesuai dengan kebiasaan dan pemahamannya yang ditemukannya kemudian.

Cakar Nanar sebuah buku antologi puisi, terlahir dalam menanggapi situasi aktual yang “melanda” kebijakan dan kekinian berbahasa di Malaysia. Saya tidak melihat buku ini sebagai bentuk dari “perlawanan” tetapi saya lebih “mengatakannya” kepada sebuah himpunan berupa usaha “penyadaran” kepada kesadaran betapa bahasa Melayu adalah bahasa bangsa, identitas dan memiliki kesejarahan dan kekayaan keterhubungan kebudayaan “keserumpunan” di dunia.

Puisi-puisi yang terhimpun dalam buku tebal ini, adalah suara-suara penyair yang memiliki keprihatinan atas kondisi “perlakuan” kepada bahasa tanah air dan mereka bersatupadu “menyuarakan” agar “menghentikan” segala bentuk “penghancuran” dan “bersegera” melakukan “tindakan” demi utuhnya “keterhubungan” satu sama lain. Karena bahasalah yang dapat menyatukan semua orang. Bahasa juga memperkuat bangsa dan Negara.

Dalam hal ini, meskipun hanya secara selintas dan acak membaca puisi-puisi yang terdapat di dalam antologi Cakar Nanar, saya menemukan 4 buah puisi dari 4 orang penyair yang berbeda generasi dan style cara ungkapnya. Yaitu Zulfazlan Jumrah, Zurinah Hasan, Yassin Salleh dan Malim Ghozali PK. Setidaknya, saat membalik lembaran halaman Cakar Nanar, membuat saya meluangkan waktu untuk tertegun menelusuri larik-lariknya.

Saya tak mengenal mereka masing-masing secara pribadi. Saya mengenal nama mereka ketika membaca puisi yang mereka sertai di dalam antologi. Membaca bagaimana mereka mampu mengkomunikasikan persoalan di dalam sebuah karya dengan cara kreatif. Membahasakan hal pelik dengan cara pandangan kepenyairan. Tidak terjebak ke dalam bahasa-bahasa slogan seperti yang mudah kita temui sehari-hari.

Setidaknya, saya beranggapan puisi mereka mewakili penyampaian “suara” penyair pada momentum buku ini, buku yang judulnya Cakar Nanar diambil dari judul puisi Ahmad Khamal Abdullah, salah satu puisi dari puisi-puisi penyair Malaysia terkini yang berhimpun.


Kematangan seorang penyair menurut hemat saya, ialah dengan kemampuan kreatif memilih tema dan menyampaikan “amanat” tanpa mengurangi unsure musikalitas dan menghindar diri dari sekadar menyusun kata-kata indah atau kata-kata slogan.

Sebab, nilai kesastraan pada suatu karya adalah daya tarik bagi pembaca untuk merasakan ada makna yang patut diraihnya sebagai langkah melihat persoalan dan pemahaman.

Dengan cukup lugas dan mengalir, langgam penulisan puisi-puisi modern biasa dituliskan. Zulfazlan mengibaratkan “bahasa Melayu” adalah sebagai pohon. Bisa jadi pohon seperti pohon yang ada di dalam alam tapi bisa juga berupa pengertian pohon sebagai suatu kekuatan “penopang” kehidupan kebudayaan manusia.

Dengan langgam kental mempertahankan “kemelayuan” pada pusi Zurinah Hassan, juga melihat bahasa Melayu itu sebagai “pohon.” Mengingatkan kita akan pantun dan gurindam sebagai karya sastra Melayu yang kaya ibarat, sampiran, petuah dan makna. Sebagaimana ia ungkapkan, “Pohon bahasa rimbunan segar.”

Sementara pada puisi Yassin Salleh, kita diingatkan cara bertutur pada puisinya, seperti sebuah hasil dari reportase yang dilakukan seorang jurnalis. Dimana penyair ini menghidangkan ke hadapan kita suatu realitas dari pergantian regenerasi dan pergantian zaman. Suatu kondisi yang tak dapat dielakkan tapi memberi ruang untuk dicermati, orang dapat kaya karena kemajuan di atas kelengahan kita, yang kaya dengan kira-kira. Tentulah menyadarkan bahwa perlu bangkit dengan semangat Melayu.

Suara kebangkitan bahasa dan semangat Melayu ini, semakin diperjelas pada puisi liris Malim Ghozali Pk, berkisah lewat metafora Ular Hitam-nya. Bagaimana kedatangan “asing” selalu “diam-diam” mencari peluang. Tetapi dapat disimak bahwa rasa optimisme itu sungguh sangat “berkobar” pada puisi ini. Bahwa bahasa juga memiliki kekuatan untuk membunuh Ular Hitam.

ABRAR KHAIRUL IKHIRMA

Penyair-penyair Malaysia  lewat karya puisinya yang terhimpun pada buku antologi Cakar Nanar ini, serentak “mengingatkan” terhadap pentingnya “kesadaran” akan bahasa Melayu.

Kesadaran untuk menjaganya, dalam bahasa ucap maupun dalam bahasa tulis. Berhindar diri dari “keterjajahan” dan “menegakkan” harkat dan martabat bangsa.

Memang, perjuangan penyair tentu dengan cara berkarya kreatif dalam memberikan tanggapan atas kondisi zamannya.

Suara Cakar Nanar ini bentuk kreatif penyair “mencakar” daripada “Ular Hitam” yang akan merusak bahasa Melayu!!! (*)

Rabu 1 Februari 2017
Dari Pesisir Pantai Barat

2 komentar:

  1. Balasan
    1. Salam Bahasa Jiwa Bangsa juga Dato' Zurinah Hasan, semoga sasterawan Malaysia semakin ramai menghasilkan karya-karya sastera berkualiti

      Hapus