Rabu, 01 November 2017

MENGINGATKANKU KEPADANYA

Ada banyak soal di dalam hidup ini pada akhirnya harus dilupakan diantara yang terlupakan. Sebahagian orang mungkin akan selalu mengingatnya, meskipun tidak hal indah dan menyenangkan. Tapi banyak pula membiarkannya terkubur jauh tanpa harus diziarahi lagi.




Menjelang waktu subuh, aku sudah terpancang di KLIA2. Airport tempat aku kembali ke tanah airku dari Kuala Lumpur, Malaysia, menuju Bandara Internasional Minangkabau, Indonesia. Walau pun cara ini tidak berkenan bagiku, aku harus terima sebagai suatu kenyataan. Suka tak suka adalah pernak-pernik perjalanan.

Paling tak kusukai dalam apapun hal ialah tergesa-gesa atau terburu-buru. Jika dibiasakan hanya akan menjadi perilaku merugikan. Ketergesaan senantiasa dekat dengan perkara hilang control, ada benda tertinggal, ada pesan tak sampai, bukan tidak mungkin dapat menciderai atau membahayakan keselamatan.

Penerbanganku tidak waktu pagi. Siang yang sudah mendekati waktu sore hari pkl.15.45 waktu Malaysia. Aku tak hendak ambil resiko terlambat berada di airport maka, aku ikut bersama rombongan pertama dihantarkan dari hotel ke airport.  Keluar dari hotel pkl.04.00 dinihari. Bus datang, langsung berangkat.




Padahal kembali di hotel sudah malam, selesai penutupan resmi acara yang kuhadiri. Aku memutuskan memilih trip pertama ke airport, karena trip kedua pkl. 12.00 siang. Akibatnya, aku tidak dapat istirahat tidur dan juga kehilangan breakfeast disediakan hotel. Harus “menggelandang” dulu mulai sebelum subuh sampai petang hari di airport seorang diri.

Kembali di hotel sudah malam, tidak tidur karena takut ditinggalkan, tidak minum pagi, padahal checkout dari hotel setahuku biasanya pada pkl.13.00, hanya tersebab jadual bus yang disediakan pada waktu pkl.04.00 dinihari dan pkl.12.00 siang. Aku menggerutu sendiri. Sesuatu yang sudah dinikmati dengan menyenangkan, rupanya ada hal tak membuat nyaman. Apa boleh buat. Terima sajalah. Hibur diriku.

Aku mungkin seorang orang kampung yang tidak modern. Sebetapapun terlengkap dan mewahnya suatu bandara pernah aku jejaki, tetap saja kurasakan tidak menjadi tempat yang menyenangkan. Tempat santai tidak pernah ditempatkan pada lokasi yang tepat. Kursi selalu jumlahnya terbatas. Toilet letaknya pada titik yang tak mudah ditemui. Alasanya untuk keamanan.




Meskipun aku bukan seorang yang suka shooping, terasa bagiku, airport kini terkesan dikonsep “menggiring” orang untuk berbelanja dan makan minum di kedai dan café sambil menunggu jadual keberangkatan. Kalau hanya menunggu saja dan tidak ingin makan minum di café, ya, pandai-pandailah menikmati kursi yang sudah disediakan walau tidak di lokasi yang nyaman.

Dalam waktu yang panjang, terasa membosankan, aku tidak juga menemukan dimana ada tempat di airport megah ini lokasi merokok. Hari sudah semakin siang. Setelah puas berpindah-pindah ruangan akhirnya aku putuskan untuk turun dari ruang tunggu di lantai 3 ke lantai 2. Kemudian berkeliling bahkan berjalan bolak balik diantara keramaian pengguna jasa penerbangan.

Di salah satu lorong diantara kiri kanan counter-counter cheking ticket, ada atraksi pertunjukan kesenian tari. Orang terlihat berkerumun. Ramai juga. Suara music berupa rekaman tidak dimainkan sebagai music hidup terdengar jelas, diantara hilir mudik orang melintasi lorong pintu keberangkatan antar bangsa.

Jadilah aku salah seorang yang menonton atraksi tari itu. Penari-penari muda. Hanya laki-laki. Tidak terlihat ada yang berjenis wanita. Tari itu, menurutku sudah tari yang bersifat kontemporer tapi berdasarkan tari tradisionil. Sifatnya lebih dirancang ditujukan untuk hiburan. Karenanya, para penari memakai kostum yang lebih menyolok warna. Warna segar dan ceria.

Aku tak terlalu focus mengamati atau menikmati pertunjukan semacam itu. Sebagai tak ada pilihan ya sudah setidaknya pengisi waktu dalam menunggu. Aku lebih memperhatikan songkok yang ada di kepala para penarinya. Warna kuning terang, berbulu-bulu.  

Dalam hatiku, bila mereka sudah selesai menari, aku ingin meminjam songkok atau tanjak Melayunya barang sejenak untuk sekadar berfoto. Aku yakin, mereka pasti membolehkan. Nyatanya, keinginan itu tidak terwujud. Karena aku mengurungkan niatku.

Kegiatan seperti yang kutemukan di airport Klia2 itu, salah satu upaya memperkenalkan suatu daerah dengan potensi kesenian dan budayanya. Tentu tujuan yang utama terhadap perlancongan atau kepariwisataan. Seiring dengan kemudahan lalulintas manusia dari satu daerah ke daerah lain, dari satu Negara ke Negara lain. Yang dimungkinkan dengan hubungan keserumpunan atau pun keterkaitan diplomatic.




Menyaksikan pertunjukan tarinya, aku segera saja merasa akrab, karena tidak jauh berbeda dengan unsure-unsur kesenian leluhurku Ranah Minang. Tari yang bermula dari gerak-gerak silat, distilisasi ke dalam gerak dengan rangkaian komposisi. 

Tidak salah kemudian, sewaktu sudah berada di ruang tunggu untuk masuk pesawat, aku bertemu seorang orang kampungku yang berkunjung dari Melaka, satu pesawat kembali ke Indonesia mengatakan, “Tadi uda lihat kan, pertunjukan tari di lobi keberangkatan itu adalah randai,” katanya padaku.

Antraksi tari tersebut adalah suguhan promosi pelancongan yang digiatkan dari Negeri Kelantan. Salah satu negeri dalam Negara Malaysia.

Walau pun aku belum berkesempatan melancong ke negeri itu, setidaknya dengan peristiwa kecil di airport Klia2 ini, menjelang meninggalkan semenanjung Malaysia, aku seperti diingatkan kembali pada seseorang. Kami pernah berjumpa dan saling mengenal sesaat di Kuala Lumpur. Beberapa tahun silam. Dia berasal dari Negeri Kelantan. Kini entah dimana.

Kueja tulisan yang dituliskan di counter promo itu; “I Love Kelantan # Kelantan di hati.” @ copyright: abrar khairul ikhirma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar