Minggu, 12 November 2017

CERITA TULUS DARI DIDING

Satu eksemplar terakhir, “Hang Tikam Tuah Kenang,” buku kumpulan puisiku yang kubawa ke Kuala Lumpur, kuberikan kepada Diding Tulus.




“Terimakasih, kang,” sambut Diding Tulus menerima pemberianku, dalam bilik yang sama 1305, Summit Signature Hotel, Puchong, Kuala Lumpur, sepulang dari penutupan resmi “Seminar Internasional Sastera Melayu Islam,” yang diselenggarakan di atas kapal motor “Kelah” di Cruise Tasik, Putrajaya.

Buku tipis seadanya itu, dicermatinya seketika yang berada di tangannya. Secara spontan ia berkata, “Insyaallah, aku akan baca puisi-puisi Akang ini, terimakasih…,”

Meluncurlah perkataan yang lainnya kepadaku, perihal “kesederhanaan” buku yang diterimanya yaitu “keberanianku” memilih jalan jilid buku hanya dengan “hacter” atau biasanya di Indonesia dikenali “diklip.”

Sebelum popular tampilan buku-buku sastra sejak beberapa tahun terakhir ini dengan teknis jilid lem panas (menggunakan mesin), jilid sederhana (manual) dengan hacter sudah biasa dikenali pada dunia percetakan. Digunakan untuk buku dengan jumlah halaman tidak banyak. Jika buku tebal, umumnya dilakukan dengan jilid “jahit” dan “lem.”

Ketika aku sampaikan kepada Diding perihal, aku tidak begitu tertarik untuk semacam itu kepada buku-buku “setebal tembok.” Maksudnya buku tebal setebal batu bata. Dengan halaman yang sangat banyak. Alasanku, selain membutuhkan cost produksi lebih, mungkin akan lebih banyak tidak bermanfaat. Ada dua hal kerugian harus ditanggungkan. Pertama cost produksi yang umumnya tidak “pulang modal.” Kedua, diragukan apakah buku itu “sanggup” melawan “kemalasan” seseorang untuk “menyediakan” dirinya membaca “sepenuhnya,” isi buku itu.

Benar ada orang “gila” untuk membaca. Setebal apapun sebuah buku akan ditelannya habis-habis. Sampai yang bersangkutan mampu menahan “kencingnya” meskipun sudah waktunya pergi ke toilet.

Berapa orang gila semacam itu? Kita sadar, ada banyak diantara kita hari ini, melampaui jumlahnya dari orang gila itu, dibesarkan turun temurun tidak dalam budaya membaca. Kita lebih banyak hidup di tataran “membaca” lisan dan mendengar perkataan. Tidak membaca tulisan. Mungkinkah ada banyak orang bisa seketika melihat buku setebal tembok, berubah diri dari tidak biasa membaca menjadi membaca?

Setahuku sejak masa dahulu, yang sering dihembus-hembuskan ---terutama dari kalangan sastra sendiri--- itu, diingat banyak orang, apalagi bila lewat di depan perpustakaan ialah adanya tulisan semboyan, “buku adalah jendela dunia.”

Kita sadar. Di sekeliling kita hari ini, ada banyak rumah ditemui dengan jendela hanya tertutup. Penghuninya pada pergi. Hampir-hampir jendela itu tak pernah dibuka. Jendela secara fisik itu saja sudah fenomenal. Apalagi memiliki, membuka dan membaca sebuah buku? Termasuk di internet melalui media social. Untuk postingan dengan jumlah kata yang “sepanjang tali beruk” tidak semua orang hendak membacanya. Kecuali sekadar basa basi mengklik “like.” Itupun dalam jumlah terbatas.

Kemudian Diding bercerita, ada banyak orang selama ini membuatnya merasa terheran-heran. Pasalnya ia sering dengar perkara, puisi orang itu belum cukup banyak jumlahnya untuk membuat buku. Buku tebal perlu banyak puisi. Karenanya, orang itu sibuk menulis puisi untuk bisa satu buku diterbitkan. “Heran ya kang, apa memang ada ketentuan jumlah puisi dalam satu buku?” gumam Diding.

Senang juga mendengar perkataan Diding. Senang, karena aku menemukan orang yang memiliki pandangan sama “menggelitik” dalam perkara “kemeriahan” penerbitan buku, terutama buku-buku puisi ramai diterbitkan dimana-mana saat beberapa tahun terakhir ini. Tebal. Dijilid lem panas.

Diding Tulus, begitu nama lengkapnya dikatakannya kepadaku. Seorang teman baru kukenal. Karena sama-sama “menyertai” acara sama, Seminar Internasional Sastera Melayu Islam, yang diselenggarakan Persatuan Sasterawan Numera Malaysia, 28-30 September 2017 di Masjid Abdul Rahman bin Auf, Kuala Lumpur. Kami berdua ditempatkan satu bilik di bilik nomor 1305.

Diding menetap di Kota Bandung. Ia merupakan “orang Sunda.” Kesehariannya menggeluti usaha di dunia percetakan. Bergaul dengan kalangan kesenian. Kehadirannya di Kuala Lumpur adalah pengalaman pertamanya keluar negeri. Diakuinya atas dorongan Hudan Hidayat, seorang yang kini mengasuh halaman grup fb, “Sastra Maya,” di media internet. Ia datang bersama Hudan.

“Saya tidak penyair, tidak sastrawan, saya suka saja sama sastra dan bergaul dengan orang sastra,” tutur Diding diantara percakapannya denganku.

“Lebih baik begitu,” jawabku, “Daripada mengaku sebagai sastrawan.” Kujelaskan kepada Diding pandanganku terhadap “kehadirannya” di sastra. Kini banyak “bermunculan” diantara yang memang menekuni kesastraan, para “sastrawan rasa penerbit.” Lebih giat “menguruskan” penerbitan buku-buku, tidak giat berkarya sastra. 

Kesan ini terlihat di banyak penerbitan antologi. Sebagai tanda sebagai sastrawan, ia sertakan satu dua puisinya, kalau tidak “memasangkan” kata pengantar, sedikitnya endorsemen di bagian cover belakang setiap buku. Tentu lebih tersebab dia yang menguruskan buku itu.

Apapun alasannya, tidak ada salahnya hadir atau mengikuti kegiatan berbagai berbau sastra. Setiap acara tentu memiliki suasana berbeda. Meramaikan pertumbuhan dan perkembangan sastra. Maka jauh lebih baik kamu tegaskan kehadiranmu di sastra dengan jelas, sebagai seorang “penggiat buku” ketimbang “menyerupai” sastrawan tapi hanya bergiat demi “usaha” menerbitkan buku. Meskipun dalam usaha kecil-kecilan (*) copyright: abrar khairul ikhirma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar