Senin, 30 Januari 2017

PEMBANGKIT LISTRIK , PABRIK SENJATA, MASJID SAWAHLUNTO



Selama berada di Kota Sawahlunto, terpandang bangunan Masjid Agung Nurul Islam ini, pastilah terasa menyejukkan hati. Terutama para penggemar bangunan-bangunan lama, menyaksikan bangunan lama terpelihara dengan baik dan masih dapat difungsikan, merupakan suatu kebahagiaan tersendiri.




Masjid Agung Nurul Islam ini dibangun ketika Indonesia sudah merdeka. Di dalam tahun 1952. Arsitektur bangunannya spesifik dan terasa nyaman pada zaman ini, ketika dimana-mana berlomba membangun masjid dengan arsitektur kemegahan. Sudah jauh meninggalkan warna budaya local. Mengandalkan selera modern dan timur tengah.

Kota Sawahlunto merupakan kota pertambangan batu bara. Lebih dari seratus tahun, hasil pertambangan batu bara sudah dibawa keluar Indonesia, sejak ditemukan oleh pemerintahan Hindia-Belanda. Kota Sawahlunto berada dalam dasar lembah, dikenal berbentuk “kuali” atau “kancah besar” karena dikepung oleh perbukitan.




Di Kota Sawahlunto sampai saat ini masih terdapat sejumlah bangunan lama, sebagai penanda perjalanan sejarah masa lalu. Bangunan-bangunan lama tersebut, dicetuskan untuk dipelihara oleh mendiang Walikota Sawahlunto, Amran Nur semasa menjabat. Menjadikan peninggalan lama sebagai asset daerah, dengan merenovasi, merawat dan mengembangkannya untuk sejarah dan kepariwisataan Sawahlunto, Provinsi Sumatera Barat.

Salah satunya kekayaan cagar budaya yang dimiliki Kota Sawahlunto ialah Masjid Agung Nurul Islam ini. Dibangun tahun 1952 di atas tapak bangunan pembangkit listrik, disaat kejayaan pertambangan batu bara zaman Belanda tengah berlangsung di Kota Sawahlunto.




Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Mudik Air, merupakan sentral listrik terbesar di Hindia Belanda yang dibangun akhir abad 19 di Sawahlunto. Kebutuhan listrik berbagai peralatan dan mesin pertambangan, penerangan kota,, gedung, kantor dan rumah dipasok dari sini.

Pembangkit listrik ini memiliki ciri khas berupa menara. Cerobong menara beton setinggi 68,90 meter (sebelah selatan) dibangun NV Beton Maatschaapij tahun 1911 menggantikan cerobong menara besi setinggi 40 meter sebelah utara.




Tahun 1924 pembangkit listrik ini dikembangkan dengan dibangunnya sentral pembangkit di Salak untuk menopang kebutuhan listrik yang semakin meningkat.

Masa Agresi Belanda, sentral pembangkit listrik di Mudik Air, dijadikan sebagai pusat perakitan senjata oleh pejuang di Sawahlunto. Di alam kemerdekaan, bangunannya pernah juga dijadikan sebagai hunian pekerja tambang. Tahun 1952 kemudian dijadikan sebagai bangunan Masjid Agung Nurul Islam, untuk sarana ibadah masyarakat Sawahlunto. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar