Senin, 05 Mei 2014

Tiga Malam di Malaya



SETELAH bus semakin jauh membawaku meninggalkan airport LCCT menuju Kuala Lumpur,  ke jantung Malaysia, segera ponselku dipasangkan handsfree. Cuaca terang. Bus berlari di jalan tol. 21 Maret 2014. Di balik kegembiraan bercanda, tersimpan permenungan yang datang berkelabat dalam ingatan dan perasaan.

Sejak berangkat dari Ranah Minang, Sumatera Barat, Indonesia, sudah berniat bila menginjak “tanah seberang,” demikian kami orang Minang menyebutkan Malaysia, aku ingin mendengar dua buah lagu yang berkesan mendalam pada jiwaku. Lagu yang kala malam sering kudengarkan menjelang tidur dalam pengembaraanku.

Dari LCCT menuju jantung Kota Kuala Lumpur

Dalam kesempatan pertamakali aku datang ke Malaysia ini, aku ingin mendengarkan kedua lagu itu di negeri tempat ia terlahir dari penciptanya sendiri. Aku ingin merasakan suasana hati, sepenuh diungkap vokal dan music, dalam harmonisasi mengiringi segala perasaan dan pikiranku pada saat ini, jauh di rantau orang. Diantara desau angin dan suara derum mesin bus menggema melaju.

Hatiku telah kau tawan
hidupku tak karuan
mengapa ku disiksa
mengapa kita bersua
berjumpa dan bercinta
tetapi menderita

wow .. wow
kau tinggalkan diriku
oh tuhanku
mengapakah kau bedakan hidupku
oh tuhanku
mengapakah manusia begitu

engkau laksana bulan
hatiku telah kau tawan
hidupku tak karuan
mengapa ku disiksa
berjumpa dan bercinta
tetapi menderita

kau tinggalkan diriku
mengapakah kau bedakan hidupku
oh tuhanku
mengapakah manusia begitu

engkau laksana bulan
tinggi di atas kayangan
berjumpa dan bercinta
tetapi menderita 

Lagu berjudul “Engkau Laksana Bulan” ini diciptakan dan dinyanyikan, penyanyi legendaries P. Ramlee, kelahiran Pulau Pinang, 22 Maret 1929. Nama sebenarnya Teungku Zakaria bin Teungku Nyak Puteh. Ayahnya berasal dari Lhokseumawe, Aceh, Indonesia, menikahi Che Mah Hussein, di Kubang Buaya, Butterworth, Malaysia.

P Ramlee dan Saiful Bahri, duo legendaris itu

Suara rekaman P. Ramlee langsung mengisi ruang hatiku, menelusuri likak-liku alam batinku yang tersimpan. Pengkhianatan, penghinaan dan rasa pedih yang selalu kualami. Entahlah. Andaikan yang terkasih ada bersamaku. Berdampingan, bercerita tentang hari esok dan merangkai banyak hal tentang hidup

Memandang lewat jendela, saat bus terus merayap menuju penginapan. Lalu lalang kendaraan, kebun sawit, pesawangan, lalu gedung-gedung pencakar langit, jalan bertingkat, tak satupun terlewat dalam pandanganku.

Aku tak mengikuti semua lagu-lagu dari P. Ramlee. Hanya satu lagu inilah yang kurasakan lekat dalam diriku, setidaknya mewakili kehidupanku. Lagu seniman Malaysia yang wafat dalam usia 44 tahun, 29 Mei 1973. Selain penyanyi beliau juga actor yang berjaya di tahun 1950-an. Mengenang jasanya, Yang Dipertuan Agung Malaysia memberikan penghargaan Bintang Kebesaran Darjah Panglima Setia Mahkota pada tahun 1990 dan menambahkan gelar Tan Sri pada nama P. Ramlee.

Jeumpa d Ramo, Bangsar, Kuala Lumpur

Aku dan teman-teman peserta Anugerah Puisi dan Baca Puisi Dunia Numera 2014, menginap di Jeumpa d Ramo di Bangsar. Salah satu daerah pemukiman di Kuala Lumpur. Aku sekamar bersama penyair Syarifuddin Arifin dari Padang dan Ahmad Taufik dari Jember. Saat inilah aku pertamakali bercakap sekejap dan bercanda dengan Teratai Abadi, setelah berjumpa pertama di LCCT saat menjemput kedatangan kami ke Kuala Lumpur. Selain menjemput, beliau salah seorang pengerusi Numera, juga mengatur penempatan di penginapan.

Setelah beristirahat, pada petang harinya… kami berangkat menuju Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia. Menggunakan bus yang disediakan.  Aku duduk di bangku bagian belakang. Sebangku dengan ibu Lily Siti Multatuliana SutanIskandar, perempuan yang kini bergiat dalam hal budaya dan aktif baca puisi di Malaysia. Beliau menetap di Melaka. Kelahiran Bogor, berdarah Minang dan bersuamikan orang sekampung yakni Pariaman.

Dalam perjalanan dari penginapan ke tempat acara yang akan dilaksanakan selepas sholat maghrib di auditorium Dewan Bahasa dan Pustaka, sambil bercakap-cakap dengan ibu Lily Sitti Multatuliana, aku kembali melanjutkan mendengarkan lagu dimana negeri ia terlahir di tangan penciptanya, “Semalam di Malaysia,” yang sudah aku siapkan selain lagu P. Ramlee yakni lagu ciptaan Saiful Bahri, si pencipta lagu kebangsaan Malaysia, "Negaraku."

Saiful Bahri lahir di Payakumbuh, Sumatera pada 19 September 1924, dan mendapat pendidikan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Kayutaman, Sumatera Barat, Indonesia. Disitulah bakat musiknya tersalurkan. Saat ia pindah ke Jakarta, tahun 1940. Saiful Bahri bergabung di Orkes Studio Jakarta sebagai pemain biola. Sepuluh tahun kemudian ia dipercaya memimpin orkes tersebut, dari tahun 1950 hingga 1960.

Ketika kami saling duduk terdiam di belakang bus, aku dan ibu Lily, menjelang sampai ke Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, aku merasa lebih focus mendengarkan lagu yang kudengarkan melalui handsfree dari ponselku: 

Aku pulang, pulang dari rantau
Bertahun-tahun di negri orang oh.. Malaya
Oh dimana kawan dulu
Kawan dulu yang sama berjuang oh.. Malaya

Kekasih hatiku kini telah hilang
Hilang tak berpesan aduhai nasib apakah daya
Cinta hampa hati merana... mana dia...

Inilah kisahku semalam di Malaya
Diri rasa sunyi aduhai nasib apakah daya 
Aku hanya seorang pengembara... yang hina..

Menjelang sampai di Dewan Bahasa dan Pustaka di petang hari itu, aku sempatkan mendengar dua kali suara Said Effendy yang menyanyikan lagu ciptaan Saiful Bahri. Lagu Semalam di Malaya ini, diciptakan Saiful Bahri dari ilham berada di Malaysia tahun 1960. Dia bersama Titiek Puspa, Bing Slamet, Sam Saimun, S. Effendy dan Mochtar Embut, melakukan lawatan ke beberapa negeri di Malaysia (Malaya) melakukan pertunjukan pentas yang mendapat sambutan hangat. Lagu Semalam di Malaya ini pun berlanjut dijadikan film berjudul “Semalam di Malaysia,” dengan bintang utama pencipta lagu dan penyanyi Sam Bimbo dan Norzie Nani.

Dalam bus nun tower Dewan Bahasa Pustaka Malaysia


Ada tiga malam yang kulalui di Kuala Lumpur. 21 -24 Maret 2014. Kedua lagu lama yang tak pernah usang bagiku itu, senantiasa bergema di relung hari-hariku. Tersemai di ruang waktu, tumbuh menuju sebuah pohon di tengah pesawangan kenyataan. Seakan lagu itu menjadi absah kemudian tanpa terencanakan, terjadi begitu saja, itulah sungguh Maha Mulia Allah, saat aku mengenal “seseorang” yang dipertemukanNya. Seseorang yang Laksana Bulan pada Tiga Malam di Malaya.


Diri rasa sunyi aduhai nasib apakah daya

Aku hanya seorang pengembara... yang hina...

Abrar Khairul Ikhirma
Sepulang dari Anugerah Puisi Dunia Numera 2014

Kuala Lumpur Malaysia

27 Maret 2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar