Selasa, 06 Mei 2014

Perjumpaan dengan Kemala



21 MARET 2014 adalah penanggalan istimewa buatku. pertamakali berjumpa dan berjabat erat dengan Sastrawan Negara Ahmad Khamal Abdullah, di depan pintu halaman penginapan Jeumpa d Ramo, Bangsar, Kuala Lumpur, Malaysia. 

Dato' SN Ahmad Khamal Abdullah


Matahari sudah tergelincir ke barat tapi masih bisa terbilang waktu siang. Cahaya matahari masih menajam, udara pun terbilang panas. Namun kehangatan perjumpaan, persaudaraan itu, terasa melenyapkan rasa lelah dan panas terik matahari. Lelaki yang dipanggil Dato’ itu menyambut para tetamu turun dari bus ke halaman penginapan, ke depan pintu pagar yang terbuka. Tentu dengan senyum khasnya, sedikit tertahan lalu menyapa siapa saja tanpa meluapkan kegembiraan berlebihan.


Aku bersama teman-teman sastra dari berbagai daerah dan negara, berada di Malaysia dari 21-24 Maret 2014 dalam hajatan Numera [Nusantara Melayu Raya] yang di Presideni Dato’ SN Ahmad Khamal Abdullah. Aku datang memenuhi jemputan Numera, salah satu puisiku, “Hang: Kekalkan Selat Malaka,” menerima Anugerah Puisi Dunia Numera 2014, bersama sejumlah penerima lainnya. Bersama puisi penerima anugerah itu, 2 puisiku lainnya, terhimpun dalam buku antologi puisi “Risalah Melayu Nun Serumpun,” yang sekaligus dilancarkan bersama pemberian anugerah dan baca puisi.


Semasa di Indonesia memasuki zaman gemilang dunia berkesenian, dimasa awal-awal didirikannya Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, telah membangkitkan semangat berkesenian ke berbagai pelosok daerah di Indonesia. TIM menjadi magnet. Sejak itu pula… aku memulai mengikuti perkembangan kehidupan kesenian dan budaya dari media komunikasi dan informasi media cetak. Suratkabar maupun majalah. 


Pada masa-masa itulah aku mengenal nama seorang penyair dari tanah seberang, dimana namanya sangat enak untuk dilafazkan dan mudah diingat: Kemala. Pun semasa itu antara penggiat seni dari Malaysia dan Indonesia tumbuh suasana yang saling gigih untuk berkembang di alam aktifitas dan kreatifitas yang menggembirakan. 


Di koran local di halaman budayanya, sejumlah artikel seniman semacam dari Aceh, Medan, Sumatera Barat atau Riau, kerap terbaca mengikuti event sastra ke Malaysia. Dan dari sana aku mengenal nama bahwa ada himpunan penulis GAPENA. Aku hanya sekadar mengenal nama-nama, belum sekali pun memiliki kesempatan untuk membacanya karya para sastrawannya.

Dato' SN Ahmad Khamal Abdullah memberikan penghargaan buatku, memintaku untuk duduk di sebalah kanannya, saat makan siang bersama tetamu Anugerah Puisi Dunia Numera - Baca Puisi Dunia Numera - 2014 di Aseana cafe bar, KLCC area Menara Kembar Petronas icon Malaysia. Suatu hal yang berkesan, betapa ia memberikan jalan pada kalangan muda.



Setelah musibah Gempa Bumi 2009 menghantam Sumatera Barat, terutama kawasan utamanya pusat Kota Padang dan daerah kelahiranku Pariaman, banyak rumah rata dengan tanah bahkan ada satu kampung tertimbun oleh tanah gunung. Cumanak nama kampungnya, di kawasan Gunuang Tigo, Pariaman, entah berapa manusia ditenggelamkan. Sampai sekarang kampung itu tak lagi dihuni. 


Dato’ mendorong lahirnya antologi puisi teman-teman sastra di Malaysia berjudul “Musibah Gempa Padang.” Dengan momen terbitnya buku antologi puisi itu, aku ketahui selain dilancarkan di Malaysia juga di Rumah Puisi Penyair Taufik Ismail (Aia Angek, Indonesia), Dato’ berkenaan menjejak ranah Minangkabau, negeri leluhurku. Dimana kelak kemudian ia bercerita bahwa dirinya berdarah Minang, berasal dari daerah Pasaman Barat, Sumatera Barat, Indonesia.


Dalam masa waktu itu kuketahui Dato dengan sejumlah penyair Sumbar –Sumatera Barat—membacakan puisi ke kota kelahiranku, bertempat di pendopo rumah Walikota Pariaman. Kemudian Penyair Soetan Iwan Soekri Munaf yang juga ikut dalam event itu, kuketahui mendampingi Dato’ hingga mengenalkan Sanggar Paris. 

Sanggar Paris, dimana salah satu kelompok seni tertua di Pariaman, di kota kelahiranku. Pendirian sanggar tersebut dilakukan sejumlah anak muda yang sedang bergiat pada dunia penulis sastra dan teater di tahun 1977, salah satunya Penyair Iwan Soekri, dimana beliau berleluhur di Pariaman. Aku salah satu generasi berikutnya di Sanggar Paris.


Aku tidak hadir di event itu meski aku berada di kota yang sama pada malam baca puisi itu. Aku tak ingin lagi muncul di kegiatan-kegiatan seni, termasuk berbaur dengan komunitas seni. Sewaktu itulah aku sekadar mengenal pertamakali nama seorang yang bernama Ahmad Khamal Abdullah, penyair dari Malaysia. Sekaitan dengan itu juga, akhirnya setelah waktu berlalu, saat-saat membuka wall fb-ku aku berteman dengannya. 


Semasa pertemanan itulah aku mengetahui bahwa ternyata Dato’ SN Ahmad Khamal Abdullah adalah Penyair Kemala yang pernah tinggal di ingatanku namanya dalam cukup lama. Pertemanan itu terasa semakin ada artinya, saat aku mengikuti aktifitas yang diupdate melalui fb oleh Dato’. Aku apresiasi kegiatan-kegiatan yang dilakukannya dengan Numeranya. 

Hingga kemudian datanglah permintaan pertemanan lainnya dari ibu Lily Siti Multatuliana SutanIskandar, tentu setelah beliau mengikuti comen-comen ku menyangkut pertumbuhan sastra di Malaysia. Disusul kemudian oleh seorang penyair wanita berbakat Teratai Abadi, yang bergiat di event-event Numera, menjelang kedatanganku ke Kuala Lumpur untuk pertamakalinya.


Bila boleh berkata jujur, sebenarnya tujuan yang utamaku datang ke Kuala Lumpur hanya sekadar dapat bertatap-muka dengan Dato’ Ahmad Khamal Abdullah, ibu Lily Siti Multatuliana SutanIskandar dan penyair Teratai Abadi. Kami sudah lama mengenal di dunia maya tapi belum pernah saling mengenal diluar fb. Mungkin momentumnya saja, karena satu puisiku mendapat anugerah di helat Numera di tahun 2014 ini. 

Syarifuddin Arifin, Dato' SN Ahmad Khamal Abdullah dan Aku. Kami "urang awak"


Dato’ SN Ahmad Khamal Abdullah dilahirkan di Gombak, Selangor, 30 Januari 1941. Dia telah menjalani perjalanan kehidupan sastra dalam rentang waktu yang panjang. Mulai dari dunia akademik, kepegawaian, organisasi atau tampil sebagai diri pribadi, di dalam perjalanan kesastraan Malaysia, dalam menghidupkan nilai-nilai kemelayuan, sebagai budaya nusantara. 


Kegigihannya untuk menanam bibit diantara tetap berkarya cipta patut diakui dengan sejarah yang tertulis di perjalanannya sampai kini. Sudah banyak puisi-puisi yang ditulisnya, membuahkan kumpulan-kumpulan puisi yang sudah diterbitkan. Begitu juga pemikiran kesastraan telah mendorong kehidupan sastra bisa mendunia. Bagaimana budaya Melayu menjadi dasar dari semuanya itu. Termasuk gagasannya dan kebangkitannya mewujudkan organisasi kesastraan NUMERA.


Kiranya…, dengan segala pengabdiannya itu dan semangatnya untuk terus menghidupkan Melayu, sudah pada tempatnya ia tahun 2001 menerima anugerah Dato’ Paduka Mahkota Selangor (DPMS) daripada DYMM Sultan Selangor dengan membawa gelar Dato’. Tahun 2003, menerima gelar Punjangga dari Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI). Tahun 2005 beliau menerima Anugerah Sastrawan Negeri Selangor Darul Ehsan. Tahun 2006 menerima Anugerah Abdul Rahman Auf. 


Sampai akhirnya 2011 Dato’ Ahmad Khamal Abdullah menerima Anugerah Sastra Negara Malaysia ke 11, dan resmi membawa gelar Sastrawan Negara (SN).


[abrar khairul ikhirma, 28 maret 2014]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar