Sabtu, 17 Mei 2014

Mencapai Pulau Penyengat



KETIKA membaca-baca bacaan tentang budaya Melayu, salah satunya mula pertama aku mengenal nama Pulau Penyengat. Terutama bila penulis-penulis di Pekanbaru, Riau, mengirimkan tulisan-tulisan seni dan budaya daerah mereka ke media cetak terbitan Padang, Sumatera Barat (Sumbar), yang menjadi salah satu sumber bacaan sehari-hariku pada masa dahulu. Ketika di Provinsi Riau belum ada penerbitan suratkabar harian, hanya mengandalkan media local terbitan dari provinsi tetangganya yakni Sumbar, selain media terbitan Jakarta.


Media cetak dari Sumbar adalah  tempat mempublikasikan tulisan-tulisan seni budaya atau pun karya sastra seniman Riau sampai awal tahun 1990-an. Semisal nama-nama, Idrus Tintin, BM Syamsudin, Ediruslan P. Amanriza, Dasri Al-Mubary, sampai kepada Fakhrunas MA Jabbar.

Pulau Penyengat begitu lekat dalam ingatanku, sekaitan dengan tokoh Raja Ali Haji, Sang Pujangga Melayu dengan Gurindam Duabelasnya. Selain Pulau Penyengat, ada beberapa pulau-pulau lain di Kepulauan Riau yang begitu besar minatku untuk bisa mengunjunginya. Antara lain Pulau Lingga, Pulau Tarempa tempat kelahiran Penyair Riau Ibrahim Sattah, Pulau Tanjuang Balai Karimun dan Pulau Natuna di Laut Cina Selatan.


Alhamdulillah…, pada perjalananku di bulan Maret 2014, setidaknya aku akhirnya dapat menyempatkan diri mengunjungi sejumlah tempat.

Terutama akhirnya aku dapat mencapai Pulau Penyengat, yang sudah lama namanya tertinggal dalam ingatanku dan sudah lama tumbuh keinginan untuk bisa mengunjunginya, melihat jejak masa silam dari budaya Melayu.

Pulau Penyengat yang juga dikenal sumber-sumber sejarah sebagai Pulau Penyengat Inderasakti, hanyalah sebuah pulau kecil. Terletak sejarak 3 km di depan Kota Tanjungpinang. Dimana Kota Tanjung Pinang sekarang menjadi pusat pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau.

Pulau Penyengat seluas lebih kurang 2.500 meter x 750 meter, dan berjarak lebih kurang 35 km dari Pulau Batam. Terdapat pemukiman penduduk dan fasilitas umum lainnya. Pulau ini dapat dituju dengan menggunakan perahu bot atau lebih dikenal bot pompong. Memerlukan waktu tempuh kurang lebih 15 menit.


Pulau yang kelihatan saja dari dermaga pelabuhan kapal di Kota Tanjungpinang itu, dilayani pompong angkutan umum. Harus menunggu sampai muatan pompong cukup penumpangnya baru berangkat. Tetapi aku tidak menggunakan pompong itu. Aku bersama saudaraku Rafqi Chaniago, meminta pompong carteran saja. Dia atas pompong hanya kami bertiga. Aku, saudaraku dan operator pompong.

Saat berkunjung ke Penyengat, suasananya terasa damai sekali. Suasana hening. Jauh dari kebisingan dan nyaris tanpa suara ombak. Begitu juga di kedua pelabuhan pulang dan pergi, tak ada merasa terganggu oleh penyedia jasa. Biasanya di tempat-tempat seperti ini, selalu saja ada rebutan penumpang yang membuat pengunjung merasa tidak nyaman.


Pulau Penyengat merupakan salah satu objek wisata di Kepulauan Riau. 

Salah satu objek yang bisa kita lihat adalah Masjid Raya Sultan Riau, yang direkat bangunannya terbuat dari putih telur, makam-makam para raja, makam dari Pahlawan Nasional Raja Ali Haji, kompleks Istana Kantor dan benteng pertahanan di Bukit Kursi. Pulau Penyengat telah dicalonkan ke UNESCO untuk dijadikan salah satu Situs Warisan Dunia.

Saat turun dari bot pompong di dermaga pelabuhan, di ujung koridor, kita sudah disambut becak motor yang menyediakan jasa untuk mengelilingi pulau. Kalau tak ingin keliling dengan berjalan kaki, sarana penduduk setempat yang menawarkan jasa itu, bisa digunakan untuk memudahkan menikmati Pulau Penyengat. 


Pada abad ke 18, Raja Haji membangun sebuah benteng di Pulau Penyengat, benteng tersebut tepatnya berada di Bukit Kursi. 

Di sini ditempatkan beberapa meriam sebagai basis pertahanan Bintan. Ia menguasai wilayah istrinya Raja Hamidah tahun 1804. Anaknya kemudian memerintah seluruh kepulauan Riau dan Pulau Penyengat. Sementara itu, saudara laki-lakinya memerintah di Pulau Lingga, di sebelah selatan dan mendirikan Kesultanan Lingga-Riau.

Dalam suasana hati sebagai pecinta budaya, selama berada di Pulau Penyengat, aneka ragam tumbuh pikiran pada diriku. Secara sejarah, pulau ini sudah dikenal di nusantara, merupakan salah satu pusat dari budaya Melayu. Keuntungan nama yang sudah dikenal, sebenarnya tidak terlalu sulit lagi untuk mengembangkannya ke masa depan. 


Tidak semata untuk tujuan wisata tapi bisa menjadi tempat yang menjadi impian bagi para sastrawan nusantara. Tentu hal itu bisa terwujud, sekiranya ada pihak yang bisa mengelola, bagaimana misalnya di sini, setiap tahun diselenggarakan pertemuan sastra, baca puisi atau kegiatan-kegiatan yang berkait dengan sastra. Tidak mesti harus selalu berkadar Melayu, bisa dikembangkan pada sastra nasional, sastra serumpun atau sastra internasional.

Sehubungan sebelumnya, aku pada tengah bulan Maret 2014, pulang dari Kuala Lumpur, menghadiri anugerah puisiku, “Hang: Kekalkan Selat Malaka,” dari event Anugerah Puisi dan Baca Puisi Dunia NUMERA 2014 di Malaysia, kemudian baru beberapa hari menjejak Ranah Minang, sudah kembali berangkat melakukan perjalanan ke Riau daratan dan Riau Kepulauan. Tiba-tiba saja saat berada di Pulau Penyengat ini, pikiran-pikiran seperti hal di atas tumbuh dan berkembang begitu saja, tentang bagaimana Tanjungpinang mestilah serius mengembangkan keberadaan Pulau Penyengat sebagai salah satu pusat kegiatan sastra ke masa depan. 


Terutama, memang selain menunggu timbulnya kesadaran oleh seniman daerah dan pemerintahnya sendiri, para kaum seni budaya di nusantara dimana pun sangat perlu memberikan dorongan ke arah perlunya kita di nusantara ini, kembali membangun semangat kebudayaan yang menjadi identitas bangsa dan tak pernah kering menjadi sumber inspirasi bagi kita semuanya, dalam membangun kehidupan manusia ke masa depan. 

Termasuk juga, aku sempat bermimpi, andaikan Sastrawan Numera dan para sahabat Numera, suatu hari nanti bisa berwisata ke Pulau Penyengat, berkumpul bersilaturahmi, berdiskusi dan membuat pertunjukan baca puisi atau pun musikalisasi di sini. Dimana di pulau ini bermakam Raja Ali Haji, Sang Pujangga Melayu Gurindam Duabelas.

Begitu pula, sebagai kebutuhan pariwisata, sudah saatnya pemerintah daerah dan pemerintah nasional, memikirkan untuk membangun kembali replika Istana Kerajaan Melayu Pulau Penyengat. Tentu saja membangun bangunan sesuai dengan gambaran aslinya. Kemudian menata kembali lingkungan Pulau Penyengat, mengembalikannya dalam suasana tradisi klasiknya. 


Menghentikan pembangunan yang tidak sesuai dengan konsep penataan. Sebagaimana pada umumnya di berbagai objek yang diklaim pemerintah sebagai objek wisata, banyak malah merusak suasana dengan bangunan-bangunan beton yang sama sekali tidak berkait mendukung objek itu sendiri. 

Sepertinya Pulau Penyengat bisa dilakukan dengan konsep demikian. Konsep yang merujuk pada suasana aslinya. Karena sejarah dan letak keberadaannya, adalah mutiara bagi Riau Kepulauan, khususnya untuk Kota Tanjungpinang. Bisa menjadi obor bagi budaya Melayu yang berkembang mengisi dan bersinergi pada kebudayaan-kebudayaan lama dan baru.

[abrar khairul ikhirma, penyengat, tanjungpinang, 040414]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar