Sabtu, 31 Mei 2014

Nyanyikan Lagu Kebangsaan



“INDONESIA tanah airku, tanah tumpah darahku….,” Bulu romaku berdiri. Tubuhku tergetar  hebat seketika. Airmataku memercik. Tak pernah menduga lagu kebangsaan itu akan dinyanyikan kalau bukan di acara formal, tak pula setiap mendengar lagu itu dinyanyikan, mampu menggetar diriku. 

Nyatanya lagu itu dinyanyikan di sini, diantara mereka yang berbaris menuju daratan. Digiring bagaikan pesakitan. Aku terperangah kini. tersandar di pipa besi, pagar pengaman kiri kanan jembatan, salah satu lorong kedatangan, pelabuhan kapal Tanjung Pinang, saat matahari siang menggelincir !!!


 Hari ini adalah hari kedatangan kapal yang membawa warga negara Indonesia, yang terkena deportasi. Mereka konon umumnya adalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.  Mengadu peruntungan ke negeri Malaysia. Tersangkut berbagai pelanggaran aturan pemerintah negeri seberang. Yang akhirnya dikembalikan ke negara asal.

Cerita tentang warga negara dideportasi, terutama soal “pendatang haram” istilah negara seberang, pun tersangkut masalah pelanggaran,  selama ini aku ketahui hanya melalui pemberitaan dan bahasan tulisan-tulisan di media cetak dan elektronik. Secara langsung, aku belum pernah menyaksikannya. Inilah pertamakali aku berada diantara mereka yang dipulangkan, dan merasakan suasana langsung kedatangannya kembali ke tanah air.

Suasana pelabuhan sepi-sepi saja. Tidak ada hal yang mencolok. Terasa lengang. Namun aku anggap suatu hal membuatku merasa nyaman. Pelabuhan laut yang terletak di Kota Tanjung Pinang, yang kini menjadi ibukota Provinsi Kepulauan Riau, bernama Pelabuhan Sri Bintan Pura. Pelabuhan ini tempat sandar kapal-kapal jenis ferry untuk akses domestic ke Pulau Batam dan pulau-pulau lain sepeti Karimun dan Kundur serta kota-kota lain di Riau daratan, termasuk merupakan akses internasional ke negara Malaysia dan Singapura.

Sejumlah penanti kedatangan bergegas ke pintu imigrasi setelah mengetahui kapal yang membawa rombongan deportasi sudah merapat di dermaga. Konon mereka yang dideportasi di Tanjung Pinang hanya transit. Mereka akan dibawa ke asrama khusus Departemen Sosial, jauh dari pelabuhan, kemudian esoknya, seterusnya melalui jalur laut dibawa ke Jakarta. Setelah diproses di Jakarta, mereka dipulangkan ke daerah asal masing-masing.


Keluar dari pintu imigrasi mereka yang dideportasi dibariskan di lorong menuju daratan. Jumlah yang dideportasi kali ini diperkirakan ada 200 orang. Di bagian depan kelompok perempuan yang menggendong bayi dan tengah hamil. Jumlahnya ada beberapa orang. Di belakangnya kelompok perempuan, lalu baru kelompok laki-laki. Kebanyakan usia mereka terbilang muda. 

Pengawalan tidak terlihat begitu ketat. Namun mereka yang dideportasi juga terbilang tertib. Ekspresi mereka pada umumnya kelelahan dan pasrah. Namun sejumlah diantara mereka yang berbaris, terdengar “celetukan” yang satire. Kedengarannya bahasa yang kasar tapi bila didengar dengan pikiran dan perasaan yang jernih, kalimat yang sangat menohok. Hal itu muncul spontan dari mulut mereka, ketika petugas sedikit memaksa untuk mengikuti perintahnya. “Jangan main hardik saja, Pak. Kami juga punya negara ini!”

Sungguh !!! Aku tidak menyangka kalimat-kalimat mereka sangat tajam. Memiliki daya kritis luarbiaa. Merontokkan anggapanku selama ini TKI itu hanya seorang yang biasa dan memiliki pemikiran terbatas, sebagaimana yang seringkali dicitrakan media masa. “Jangan begitu pak. Di negara orang main hardik, masa’ di negeri kami sendiri juga dibentak !!!” atau “Kami cari hidup, bukan cari mati !!!”

Yang merontokkan keangkuhan, ketidak-pedulian, seharusnya mereka melihat dan mendengar semestinya. Bisik hatiku. Rasa kebangsaanku terbangkitkan, tatkala sambil berjalan mereka yang dideportasi menuju mobil, mengantarkan mereka ke asrama “penampungan” tanpa dikomando… terdengar mereka menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan Indonesia Tanah Air Beta. Lalu yel… yel… patriotic.

Sampai mereka hilang dari pandangan, aku masih tertegak di lorong berupa jembatan beton beratap. Yang menghubungan dermaga ke daratan pelabuhan itu. Berkata dalam hati: sejauhmana nilai kebangsaan  seperti yang senantiasa berdengung di tingkat elite kita ??? Setarakah dengan saudara-saudara yang dideportasi ini ??? Datang dari spontanitas tanpa rekayasa hati.

abrar khairul ikhirma
Tanjung Pinang
04 April 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar