Selasa, 11 Juli 2017

JUM'AT DI MASJID AL MASHUN KOTA MEDAN

Setiap datang ke Kota Medan, Sumatera Utara, aku selalu menyempatkan diri mendatangi Masjid Raya Al Mashun yang dikenal sebagai Masjid Raya Kota Medan. Salah satu masjid tertua di Indonesia, memiliki sejarah dan arsitektur yang menarik sebagai identitas Kota Medan.




Masjid Al Mashun, satu diantara jejak sejarah dari peninggalan kerajaan Kesultanan Deli, yang masih terpelihara dengan baik sampai sekarang. Kesultanan Deli merupakan satu diantara kerajaan Melayu di nusantara. Bangunannya berarsitektur khas Timur Tengah, India dan Spanyol. Berbentuk segi delapan, dengan di bagian selatan, timur, utara dan baratnya, memiliki sayap. Dibangun pada awal abad 19 yakni tahun 1906 dan selesai tahun 1909.

Aku pertamakali mengenal dan mendatangi Masjid Al Mashun ini, pada pertengahan tahun 1970-an, saat kedatangan ke Kota Medan dibawa Pamanku. Selama di Kota Medan, kami tinggal di Gang Keluarga di Jalan Sisingamangaraja Kota Medan. Karena jarak masjid dengan rumah kami terbilang dekat, kami sering bersholat ke masjid raya.

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.

Pada masa pertengahan tahun 1970-an itu, aku sudah terpikat dengan arsitektur Masjid Raya Al Mashun. Sangat menarik perhatianku. Tersimpan dalam ingatan. Pun merasakan aura kesakralan yang relegius. Suasana, tiap aksentuasi dan pada semua sudutnya tidak luput dari pengamatanku.




Masjid memiliki gang. Gang-gangnya terdapat deretan jendela-jendela tidak berdaun. Berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Aku selalu merasa tertegun di salah satu jendelanya, bila aku tengah melangkah perlahan melalui gang masjid. Memandang ke halaman. Selalu menyerap pengalaman batin yang membuatku merasa nyaman.

Bila berada di dalam masjid, akan terlihat pilar yang kokoh. Karena di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m. Pilar menjulang tinggi, menyangga kubah utama pada bagian tengah. Tentu saja pandangan akan bertumbuk ke bahagian paling depan yakni ke arah terdapat mihrab. Mihrab Masjid Al Mashun terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing.

Ketika berada di bahagian luar masjid, kita dapat memandang keanggunan masjid tiada puasnya. Karena akan terlihat di antara bangunan di sekelilingnya, sebuah bangunan tua yang spesifik dengan kubahnya. Kubah Masjid Al Mashun menurut seni arsitektur mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan. Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh.

Barulah pada pertengahan tahun 2012 aku kembali menjejak Kota Medan. Tentu saja kembali menikam jejak masa silam, dari rumah Gang Keluarga di Jalan Sisingamangaraja dan berakhir di Masjid Al Mashun. Berjalan kaki di antara deretan pertokoan, yang sungguh jauh lebih ramai dibandingkan dengan tahun-tahun yang silam. Terakhir mendatangi Kota Medan tahun 1985 saat diundang sebagai peninjau pada Pertemuan Penulis Muda Sumatera Utara di Taman Budaya Sumatera Utara.

Kedatangan kembali tahun 2012 ke Masjid Al Mashun, Masjid Raya Kota Medan, di hari Jum’at. Hari yang baik. Entah bagaimana kebahagiaan hati saat memasuki gerbang masjid yang berbentuk bujur sangkar beratap datar. Segera terlihat oleh pandanganku menara masjid yang berhiaskan percampuran antara seni arsitektur Mesir, Iran dan Arab.




Masjid Al Mashun atau Masjid Raya Kota Medan, dibangun oleh Sultan Ma’mun Al Rasyid Perkasa Alam ketika memimpin Kesultanan Deli. Pembangunan dimulai pada 21 Agustus 1906 (1 Rajab 1324 H). Keseluruhan pembangunan rampung pada tanggal 10 September 1909 (25 Sya‘ban 1329 H) sekaligus digunakan, dengan ditandai pelaksanaan sholat Jum’at pertama di masjid ini.

Konon keseluruhan pembangunannya menghabiskan dana sebesar satu juta Gulden. Sultan memang sengaja membangun masjid kerajaan ini dengan megah, karena menurut prinsipnya hal itu lebih utama ketimbang kemegahan istananya sendiri, Istana Maimun. Pendanaan pembangunan masjid ini ditanggung sendiri oleh Sultan, namun konon Tjong A Fie, tokoh kota Medan dari etnis Tionghoa yang sezaman dengan Sultan Ma’mun Al Rasyid turut berkontribusi mendanai pembangunan masjid ini.

Suasana bersholat Jum’at di Masjid Al Mashun bagiku mendatangkan kebahagiaan tersendiri. Sebelum sholat, aku menyempatkan diri berkeliling bangunan masjid. Menikmati keindahan arsitektur dan keterawatan bangunannya. Ada banyak orang kujumpai di berbagai sudutnya. Hampir-hampir tak sepi untuk menikmati suasana ketentramannya. Apalagi di waktu siang, dengan panas matahari menyengat, berada di masjid jauh lebih terasa sejuk.

Secara keseluruhan bangunan masjid ini sangat saling melengkapi. Fungsi atau pun aksentuasi keindahan bangunan. Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat ‘beranda’ serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.

Rupa-rupanya, sejak kembali menjejak Kota Medan tahun 2012 itu, tidak berhenti begitu saja. Tahun 2013 aku kembali ke Kota Medan. Untuk beberapa hari aku dapat bersholat di Masjid Al Mashun. Termasuk juga pada tahun 2015 maupun 2017 ini.




Rasanya tidak ada yang berubah. Suasananya semakin ramai di waktu-waktu sholat. Selalu saja diluar waktu sholat, menjumpai pengunjung silih berganti di halaman masjid, mengabadikan keindahan arsitektur yang sudah menjadi kekayaan budaya. Termasuk salah satu jejak sejarah perkembangan agama Islam di Tanah Melayu.

Masjid Raya Al Mashun menurut catatan, padamulanya dirancang oleh arsitek Belanda Van Erp yang juga merancang Istana Maimun, namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah. Sebagian bahan bangunan diimpor antara lain: marmer untuk dekorasi diimpor dari Italia, Jerman dan kaca patri dari Cina dan lampu gantung langsung dari Perancis.


@abrar khairul ikhirma --- data dikutip dari Wikipedia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar