Senin, 17 Juli 2017

AKU YANG MENOLAK PERAN

Ada jugalah aku menyukai seni peran. Tetapi pada dasarnya, aku tak pernah ingin menjadi pemain dalam bidang yang demikian itu. Tak pernah mengimpikannya. Tampil ke depan penonton, memainkan peran. Yang jelas bukan diriku.




Yang pernah ada dan terpikirkan itu, aku hanya ingin menjadi seorang penata artistic sebagai bahagian kekuatan dari seni peran, atau hanya sebagai juru foto saja untuk mendokumentasikan seni peran yang dipentaskan di pentas pertunjukkan. Bila di film aku ingin bekerja sebagai cameramen atau kemudian bisa menjadi seorang sutradara. Menurutku itulah bidang yang kusukai.

Walau tak berkeinginan, pada usia belia di kota kelahiranku, pada masa dahulu kala itu, aku pernah mengawali seni peran hanya tersebab situasi tapi tidak karena tujuan. Aku pegang peran dengan sejumlah dialog naik panggung pentas teater. Untuk memenuhi tatapan mata di sebuah gedung pertunjukan kota kami, dimana malam itu penuh sesak dan sangat banyak penonton tidak bisa masuk, karena keterbatasan kapasitas gedung. Malam Pertunjukan Seni Sanggar Paris, Pariaman.

Lantas untuk kedua kalinya di seni peran, adalah tampil berdua bersama kakak kandungku sendiri, Gusfen Khairul Agustabeliau kemudian hari lebih serius menjadi seorang jurnalis media-- bermain untuk lomba teater di kota kami dan kiranya menang. Baik pertunjukan kami, begitu juga kemenangan kami, mendapat sambutan dari kalangan isi kota yang mengenal kami pada masa itu.

Setelah hijrah ke Kota Padang dan hidup di Taman Budaya Padang, tak hendak aku masuk lagi ke seni peran sebagai pemain untuk naik panggung pertunjukkan. Kegiatan latihan teater silih berganti. Aku hanya rajin mengikuti proses latihan, proses garapan kerja sutradara dan akhirnya tiba waktunya, aku dipercaya mengerjakan urusan artistic pentas mereka.




Kalangan yang bergiat seni peran ini semuanya saling kenal denganku. Terutama mereka-mereka  berbasis di Taman Budaya Padang. Salahsatunya hubunganku sangat dekat dengan pelukis yang kemudian lebih eksis sebagai sutradara teater, A. Alin De. Setelah di Bumi Teater, Padang, pimpinan teaterawan Wisran Hadi, A. Alin De mendirikan group teater sendiri, Sanggar Dayung-Dayung, Padang. Salahsatu group teater dari Sumatera Barat yang pernah sampai ke tingkat nasional.

Namun ada sejumlah kalangan berpendapat di banyak kesempatan di masa tahun 1980-an, andaikan aku dinaikkan ke atas panggung, disebut mereka aku ini punya karakteristik khas dan menarik. Alasan mereka, bila dalam banyak momen keseharianku, topik pembicaraan dan gaya bicaraku selalu satire, khas dan karikatural. Entah benar entah tidak. Itu kan pendapat dari sejumlah orang yang memperhatikan karakterku.

Walaupun aku serius dalam bicara, selalu saja ada banyak momen membuat orang tertawa terpingkal-pingkal. Termasuk yang biasanya pelit suara dan tertawa bisa seketika tak sadar, tersenyum dan tertawa. Padahal aku tak pernah bermaksud humor dan lawak. Namun semua itu terjadi, sejujurnya semata-mata hanya karena mood dan suasana saja seketika itu.

Aku kira boleh jadi benar, seperti kuketahui di kemudian hari dikatakan dalam sejumlah kesempatan pada kalangan teman-teman oleh Edi Anwar (Asfar) ---ayahanda dari Febri Diansyah, S.H, juru bicara KPK saat ini--- setentang diriku perihal itu, kira-kira begini; “Si Arkhi anak ajaib ---begitu khas Edi Anwar menyebut namaku--- kalau bergarah (bercanda) atau berolok-olok sekenanya tanpa beban, yang disampaikannya adalah hal menarik dan serius. Malah kalau dia serius bicara sulit untuk diduga…,”

Aku orangnya sebenarnya seorang pendiam dan serius. Jika terjadi hal semacam begitu, semata-mata spontan. Tidak ada rancangan yang kupersiapkan. Tidak ada bahan harus kuingat dan kuhafal. Karenanya, seringkali aku merasa bosan pabila seseorang suka mengulang-ulang sesuatu bentuk atau topic, meskipun awalnya lucu, segar, menarik tanpa ada sentuhan baru sekaligus bernilai lebih dari sebelumnya. Baik bersumber cerita orang yang diceritakan atau ceritanya sendiri yang diceritakannya. Apalagi paling memuakkan, jika ide orang-cerita orang dikesan seolah-olah ide-cerita merupakan pengalamannya sendiri.


   

Contoh berulang-ulang ini sangat mudah ditemukan kekinian pada keseharian kita. Pada umumnya pada saat bersama-sama, ada seseorang menjadi pusat perhatian. Karena ada-ada saja tingkah dan cerita yang dikemukakannya, agar menarik perhatian orang tertuju kepadanya. Cerita itu tidak lebih cerita yang hampir semua orang sudah mengetahui. Sedang si tukang cerita merasa itu lawak dan dapat membuat orang tertawa.Yakinlah bagiku tidak menarik. Jika aku berada di situasi itu, aku akan diam atau berusaha pergi untuk mencari kegiatan sendiri.

Pernah berulangkali, seorang kakak angkatku Emil Demitra ---nama pemberian dari Proklamator Bung Hatta--- untuk anak kedua budayawan Roestam Anwar --'-pendiri Penerbit NV Nusantara Bukittinggi-Jakarta dan Minang Int. Hotel--- mencetuskan dia ingin mendapatkan sebuah camera video, akan memasang camera itu ontime, merekam aku "ngoceh" saat dikurung di satu kamar dari pagi sampai tengah malam. Dia ingin mendengar hal apa yang dapat kukatakan sepanjang waktu itu melalui hasil rekaman.

Emil saat itu bergiat jadi salah seorang crosser di Sumatera Barat dan menekuni dunia mekanik. Ide gilanya tak terwujud. Dia tak berhasil melaksanakan niat hatinya itu untuk memperlakukan karakterku yang menurut orang serupa itu, aku ini dicapnya seorang yang tak pernah kehabisan topik cerita. Lebih mau bicara apa saja daripada harus istirahat tidur.

Aku kira sebahagian kecil kebiasaan demikian sudah terotomatis dalam diriku, bukan sesuatu dibuat-buat, yang membuat sutradara film Indonesia MT Risjaf ---nama berkibar dengan film Naga Bonar yang disutradarainya sukses, melambungkan nama aktor Deddy Mizwar dan aktris Nurul Arifin--- pernah “memaksaku” tampil untuk sejumlah peran kecil, menjadi teman kuliah Marissa Haque saat aku bekerja menjadi crew asisten artistik sinetron Masih Ada Kapal ke Padang,1995, ditayangkan kemudian di televisi SCTV-Jakarta. Walau menolak, akhirnya aku ikut main. Padahal aku tidaklah dalam suasana spontanku.

“Jin” dalam diriku tidak tampil. Tak keluar-keluar. Spontanitasku entah kemana. Mungkin Jin itu merasa takut disorot sinaran lampu. Tak ada luarbiasa di permainan yang sekejap-sekejap seperti itu. Sibuk dengan take, ok dan cut. Silih berganti. Namun hal itu tak kupikirkan demikian serius. Sudahlah. Itu tidak obsesi di dunia seni peran.

Beda dengan seorang seni peran. Dengan waktu terbatas, jika dia ingin memperlihatkan kemampuannya bermain, disaat itulah kesempatan berharga baginya. Apalagi, produksi sinema elektronik (sinetron) komersil adalah dunia impian banyak orang, popularitas dan menjanjikan honorarium. Sebuah jalan tidak semua orang bisa memperolehnya. Tetapi aku sayang sekali tidak termasuk demikian.




Walaupun tak hebat, tak diduga lain jadinya. Perkara itu bukan berarti sutradara yang kami akrab panggil Pak Taba' ini berhenti berharap aku bisa bermain kembali di penyutradaraannya. Di waktu lain, ia langsung saja memintaku untuk menjadi pemain peran pembantu pria utama, maksudnya kira-kira pemain urutan kedua setelah pemain utama pria, di sinetron Jenderal Naga Bonar versi 2, produksi Mutiara Film-Jakarta, 1996.

Membuat jurnalis senior-kemudian bergiat teater dan bermain sinetron Sjafrial Arifin (kakak sulung penyair Syarifuddin Arifin) merasa keki padaku, karena PH (Production House)  berkali-kali meminta bantuan dia agar menghubungiku di Padang untuk segera datang ke Jakarta. Mendengar menjadi pemeran, aku sebenarnya aku tak berminat. Aku hanya ingin menjadi crew artistic.

Namun akhirnya kutemui juga Pak Taba’ di lokasi shooting di daerah Citayam, Depok. Pertama berjumpa saja wajahnya cerah sambil tertawa. Aku sampaikan dengan polos bahwa aku tak berkeinginan untuk dapat peran. Pak sutradara itu tak peduli dengan ketidak-inginannya, ia terus saja mencoret-coret scenario, “Nah… kamu main saja untuk beberapa episode. Ini. Ini. Ini shoot untuk kamu…, kamu harus main.”

Beberapakali selesai shooting kala waktu dinihari, aku pulang dari lokasi shooting ke rumah saudara di Ciputat, menumpang dengan mobil Mathias Muchus menuju daerah Pamulang. Mathias Muchus adalah pemeran tokoh utama Naga Bonar. Muchus menyetir sendiri mobilnya, juga butuh teman agar tak sendirian. Kloplah. Aku sudah mengenalnya pada shooting sebelumnya pada sinetron Masih Ada Kapal ke Padang. Pasangan perannya aktris, Marissa Haque. Produksi Rana Artha Mulia Film Production, Jakarta. Di sinetron itu, ia juga Pemeran Utama Pria.  

Dalam perjalanan pulang berdua bersama actor Mathias Muchus, aku masih mengingat ucapannya  padaku, “Kamu bodoh menolak kesempatan. Ditunjuk langsung sama sutradara itu tak sembarangan. Apalagi sutradaranya ternama. Banyak orang ingin dapat kesempatan tapi tidak setiap orang dapat dengan mudah…, aduh kamu…,”  

Diantara waktu break shooting, hanya aku dan Pak Taba duduk bercakap-cakap di dalam gedung tua bekas pabrik roti, dijadikan sebagai setting di Citayam. Topik pembicaraan kami sekitaran kurenah urang Padang (maksudnya Minang). Disela-selanya kami tertawa.

Waktu itu aku sampaikan juga isi hatiku bahwa aku tak hendak main, karena aku merasakan kekurangan pada diriku. Apa jawaban MT Risjaf? “Naahhh…, itu yang dibutuhkan seni peran! Kekurangan itulah kekuatan. Peran kecil banyak orang tak suka. Padahal dari peran kecillah lahir actor.”

Sejujurnya, sedikitpun aku tak memiliki keinginan di dunia peran semacam menjadi pemain di televise sampai hari ini. Meskipun pernah terbuka jalan untukku. Tetapi tidak membuatku “tergiur” akan populeritas dan kemapanan ekonomi tanpa, mengurangi rasa hormatku pada sutradara Kardy Said, pertamakali mengajakku untuk terlibat produksi sinetron, penata artistic Ramidi Rogodjampi, sutradara MT Risjaf, sutradara Ami Priyono, aktris Marissa Haque, actor Mathias Muchus. Sehingga aku dapat mengenal banyak hal dan bekerja bersama banyak teman-teman senior ataupun yunior yang memang hidup di dunia perfilman Indonesia


Seketika akupun teringat akan sahabatku yang entah dimana sesama pekerja artistic dulu, Opung Lubis, Cak Mukhtar, Rukidarto dan si Geblek (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar