Jumat, 18 November 2011

Setasiun Pariaman, Suatu Siang…


CUACA dari pagi sangat cerah. Kehidupan bergerak mengalir begitu saja. Rasa panas menguap dari permukaan tanah, pantulan dari bangunan dan kendaraan. Matahari menuju petang seakan melepaskan panasnya yang terakhir sebelum hilang tenggelam ke kaki langit.

Waktu masih ada. Masih beberapa jam lagi untuk sampai pada petang hari.
Kereta dari Padang sudah menunggu di setasiun.
Menunggu para penumpangnya.
Lokomotif yang akan menarik gerbong-gerbong penumpang sudah mengarah menuju Selatan. Tak ada tanda tergesa-gesa untuk segera berangkat.
Semuanya seperti berjalan sebagaimana adanya. Waktunya belum tiba.


Setasiun ini sudah melintasi sejumlah zaman sejak mulai didirikan di zaman Belanda. Kereta yang datang pun sudah berganti, dari era Mak Itam [loko berbahan bakar batubara] ke zaman Mak Uniang [mesin tenaga diesel]. Namun pasang surut beberapa tahap pernah menghantamnya untuk mati. Untuk tidak disinggahi oleh kereta dari Padang.

Hitung saja, ketika akses jalan-jalan selesai dibangun dan kendaraan angkutan umum kian beragam, kereta api perlahan ditinggalkan. Selain dianggap sudah tidak cepat juga sangat terbatas ruang gerak tujuannya. Namun produksi batubara masih ada di Sawahlunto dan pengolahan minyak sawit dimulai di Pasaman Barat, kereta kembali menemukan kehidupannya.


Masa serupa itu tidak berlangsung lama. Juga hanya sebentar. Setasiun Pariaman menjadi sepi lagi. Seperti ditinggalkan begitu saja. Pemerintah daerah Sumbar akhirnya masih mau mendorong kereta dapat hidup kembali, dengan tujuan pariwisata. Sesaat masih dicoba untuk bangkit. Dari Padang ada dua jurusan yang dihidupkan. Jalur menuju Lembah Anai dan Jalur Pariaman. Upaya itu akhirnya terhenti juga. Konon pihak kereta api mengalami kerugian. Tidak ada keseimbangan antara biaya operasi dengan jumlah penumpang.

Setasiun Pariaman yang berdekatan dengan pantai dan pasar terletak di pusat kota, terancam dalam masa keputus-asaan. Antara kenangan dan harapan. Semuanya bagaikan “cerita seribu satu malam,” dengan perkembangan saudaranya di jalur angkutan darat yang melaju di jalan-jalan ke berbagai jurusan.


Kereta Api belum mati!
Setasiun Pariaman tidak akan sepi.
Masyarakat Pencinta Kereta Api mengelorakan agar dihidupkan lagi jalur kereta api di Sumatera Barat. Konteks yang dihadirkan ialah demi pariwisata.
Ternyata gayung bersambut. Pemerintah daerah memang sedang gatal untuk “menjual-jual” pariwisata.
Entah benar di hatinya entah tidak. Yang jelas Jalur Padang ke Pariaman dihidupkan lagi setiap hari.

Sedangkan di Sawahlunto Museum Kereta Api di Kampuang Teleng dan Muaro Kalaban diperancak. Bahkan berkat dorongan banyak pihak, Mak Itam, lokomotif berbahan bakar batubara yang dulunya berjasa menghubungkan setasiun ke setasiun di Sumbar, akhirnya dikembalikan ke Ranah Minang setelah lama “merantau” ke Pulau Jawa. Bahkan kini menjadi symbol dan asset Rang Minang dalam hal perkereta-apian.


Setasiun Pariaman saat siang menuju petang, banyak sketsa yang dapat ditangkap jika hadir saat-saat seperti ini. Tentu saja diluar moment lebaran dan pelaksanaan Hoyak Tabuik. Ada sunyi dan lengang yang bertandang. Saat kereta baru datang dari Padang, penumpangnya berhamburan turun. Hanya dalam sekejap lalu kosong.


Diantara itu ada yang mengais rezeki dengan berjualan. Ya ibu-ibu dan anak-anak menjajakan makanan dan minuman. Terseok di sekitar setasiun. Lalu akan mudah ditemui di berbagai pojok para ABG berpasangan berjalan atau sedang berteduh saling bercanda atau pun sebaliknya dengan wajah-wajah yang tegang, mengekspresikan sebuah pertengkaran.


Ketika petang segera hendak menuju malam, selepas sholat Ashar, dari berbagai sisi sejumlah penumpang segera memasuki gerbong demi gerbong.

Peluit panjang dan auman loko mengiringi roda-roda besi bergerak menuju Selatan, menyinggahi Setasiun Kuraitaji, Pauh Kamba dan Lubuak Aluang, Tabiang dan berhenti di Setasiun Pulau Aia, Simpang Haru Padang. Untuk esoknya kembali lagi ke Pariaman. [abrar-khairul-ikhirma-23-10-2011]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar