Senin, 07 November 2011

Makan Lamak ke Sungai Rotan


SEBUAH bangunan induk beratapkan daun rumbio (daun pohon sagu), tidak lebih seukuran 6 x 6, disangga balok-balok sekenanya saja, sebagaimana biasanya lapau (kedai) minuman di kampung-kampung pada umumnya di Sumatera Barat. Pondok ini dijadikan pondok utama. Ada dua meja makan panjang dengan posisi letter L. Sebuah rak pajang (steleng setengah mtr x 1,5 mtr) berkaca agak memburam, tempat meletakkan samba (lauk) dan disampingnya ketiding nasi dan tumpukan piring makan.


Di bagian belakang pondok utama ini membelintang sebuah bangunan pondok memanjang 3 x 6 meter dengan satu meja panjang, dengan tempat duduk berhadapan. Bisa ditempati oleh sepuluh atau limabelas orang.

Sementara di sebelah arah lawuik (laut) di bawah sebatang pohon ambacang (sejenis mangga) terdapat pondok kecil lesehan yang normalnya bisa diisi empat orang. Satu lagi antara sudut pondok utama, pondok yang membelintang dan pondok di bawah pohon dengan jarak berdekatan berdiri pula 2 pondok kecil lainnya.


Pondok makan ini, satu di antara banyak pondok-pondok makan yang kini banyak bermunculan di daerah Pariaman (baik kabupaten maupun kota). Sajiannya sebagaimana kehadiran mayoritas pondok makan, tidak terlalu istimewa.

Tampaknya belum ada yang berani untuk membuat dan mempertahankan sajian yang spesifik. Masih cenderung bermaksud untuk meraih konsumen secara umum meskipun mereka menyadari bahwa hal yang spesifik pasti dicari. Apalagi dalam situasi “persaingan usaha” bermunculannya banyak rumah atau pondok makan saat ini.

Kelebihan tempat ini yakni pada bentuk dan bahan bangunan kayu beratapkan rumbio yang “seadanya.” Menjawab kejenuhan akan tumbuh suburnya bangunan-bangunan beton dimana-mana. Kemudian lokasi yang benar-benar strategis untuk mereka pemuja suasana. Jauh dari hiruk pikuk, berjarak dari pemukiman masyarakat dan view persawahan sebagai andalan utama.


Posisi pondok makan ini sangat menguntungkan karena berada di tepi lereng, dimana di bagian bawahnya terbentang view dari arah mudiak (timur) sampai ke hilia (barat/lawuik) areal persawahan semata. Luas dan memanjang.

Karena luas dan panjangnya areal sawah ini, orang Pasa Piaman (masyarakat yang bermukim di pusat kota) menyebutkan dalam pameonya sehari-hari “sawah jati nan kadiatok.” (Sawah Jati yang akan dipasang atap?).

Arti pameo itu: suatu pekerjaan yang tidak mungkin dan sia-sia dilakukan semacam membuatkan atap untuk “sawah jati.” Karena begitu luas dan panjangnya areal persawahan di sini.


Tidak kurang 3 km mulai dari daerah Alai-Galombang sampai ke Aia Santok, begitu panjangnya sawah dengan kualitas subur dan merupakan salah satu areal lumbung beras Pariaman sejak bertahun-tahun silam.

Dengan tidak “konsistennya” pemerintah dalam menetapkan pembangunan kota, dimungkinkan ke depan areal subur ini akan berubah menjadi ladang beton. Apalagi semenjak jalan by-pass membelintang areal persawahan, pembangunan Terminal Bus Jati, kini sudah mulai terjadi alih fungsi lahan besar-besaran.

Nasib areal sawah di sini sekarang mulai “terancam.” Dan hal itu jelas juga bakal mengancam ketersediaan beras kita ke depan, sekarang saja seringkali terjadi kondisi kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan pangan di daerah.


Dari pondok makan ini, yang sekarang masih tersuruk letaknya, lebih kurang 3 km dari pusat kota, masih terbentang petak-petak sawah, dengan padi menghijau dan menguning dan petak-petak kolam ikan tawar.

Nun di kejauhan, arah utara pondok makan, terlihat jelas pemukiman masyarakat yakni Jati, Sungai Sirah, Sungai Pasak dan Aia Santok yang dipisahkan oleh areal persawahan.

Otomatis view dengan areal persawahan ini, adalah "jualan utama" pondok makan ini. Membuat pandangan kita tidak tertumbuk pandang dan udara daerah terbuka dirasakan segar diantara pohon-pohon kelapa di sekitarnya. Suatu alam yang tenang dan damai. Sesuatu yang sudah semakin mahal dan tidak mudah kita mendapatkannya kini di setiap daerah kita tapi masih bisa didapatkan di lereng Sungai Rotan ini.

Kala makan siang, pondok makan ini menjadi tempat makan para petani sekitar, selain pengunjung yang datang dengan kendaraan dari luar. Bagi yang menyukai suasana alam, suasana yang terbaik jika berada di sini adalah saat waktu siang sampai sore hari, kala cuaca sedang baik. [abrar khairul ikhirma # 31-10-2011]

7 komentar:

  1. mantaap, saya berasal dari desa kaluat sungai rotan.bedomisili di pekanbaru. ulasan yang bagus jo.

    BalasHapus
  2. taragak pulang ka kampuang awak jadinyo maliek foto - foto ko

    BalasHapus
  3. Tarimokasih uda khairul atas foto2 nya yg bagus.semoga lebih banyak lagi.ditunggu da...palapeh taragak.

    BalasHapus
  4. lai buliah batambuuah ndk tu jo khairul

    BalasHapus