Minggu, 03 Desember 2017

HUJAN - AIRMATA SEMPORNA

Gagasan atau ide tidak hanya tersimpan dalam angan-angan. Kini menetas, sayapnya telah keluar dari kepompong. Sanggupkah ia terbang?




Nazeka Kanasidena, mencetuskan satu ide dari sebuah status media social fesbook di wall pribadinya. Status itu membuka ruang kepada masyarakat pertemanan akunnya, untuk dapat berpartisipasi, sukarela, tidak sayembara, tidak berharap “imbalan” kecuali berupa kesan apresiasi, melalui “kotak” comentar di bawah status yang dipostingnya, medio akhir tahun 2017.

Nazeka, memberikan sebuah tajuk, “Antara Hujan dan Airmata.” Status bernada “jemputan” itu kiranya mendapatkan tanggapan baik. Tajuk demikian “ditanggapi” di kotak comentar. Silih berganti comentar berdatangan berupa puisi terupdate dari berbagai pemilik akun fb, terutama dari Malaysia.

Sepintas, demikian mudah “memancing” seseorang (pemilik akun fb) untuk dapat menuliskan hal puitis sesuai tajuk yang dikemukakan di media sosial. Tidak. Dibutuhkan luasnya pertemanan dan persamaan pandangan mewujudkan sebuah ide yang dikemukakan. Masyarakat media social terdiri dari berbagai lapisan dan latarbelakang tidak sama.

Padahal yang semacam itu, jauh lebih sulit daripada sekadar ber “say” dan “helo,” ataupun mengklik “like.” Seperti kebiasaan paling mudah dilakukan dalam pertemanan dunia fb, sebagai satu “bentuk” penanda kehadiran “keterhubungan” atau pun “penunjuk” bahwa apa yang ditulis dan diposting seseorang tidak dianggap “angin lalu.”

Kesulitan yang dimaksudkan ialah, bagaimana “menggiring” kesadaran kreatif, intuisi dan ide, dari banyak orang, agar menuju titik yang sama yakni, “berhalatuju” kepada perihal “hujan dan airmata.”

Itupun bila dicermati tidak pula langsung mengarah pada “hujan” dan “airmata” karena ada satu kata memulakannya yaitu, “antara.” Dapat diartikan, ada wilayah atau ada ruang yang “terdapat, menghubungkan, menjadi jarak, membatasi” keduanya. Tepatnya bersifat “makna,” dia ada tapi tak terlihat, tak terlihat tapi disadari suatu kenyataan.

Pada wilayah seni kreatif sastra, itulah sisi-sisi yang seringkali “disentuh” oleh sastrawan untuk dipresentasikan kepada kepenulisannya. Terlihat sederhana tapi adalah hal luarbiasa. Luarbiasa tapi dapat disederhanakannya.

Sastrawan yang (dimaksudkan) memahami kedudukan sastra dan mengikuti pergulatan kreatif dalam “membahasakan” suatu karya. Wilayah yang tidak semua orang dapat “meraihnya,” tidak semua orang yang tahu dapat “menjangkaunya.” Keluasan pandangan, kepiawaian berbahasa, ketekunan menjinakkan inspirasi, sungguh suatu hal menentukan pada sebuah karya serupa itu.

Meminta memasuki “wilayah” antara keduanya, tidak semua orang mungkin dapat “mencapainya” ataupun “menjelajahi” hingga kemudian “menuliskannya” dengan baik. Tidak verbal. Tidak sekadar sebuah potret. Tidak hanya berupa barisan kata datar dan hambar.

Sama seperti gambaran umum ketika dikatakan antara “hitam” dan “putih.” Diantaranya “dipahami” sebagai suatu bahagian filosofi merupakan wilayah “abu-abu.” Wilayah sulit diterka tapi mengandung dinamika kreatif setiap orang untuk mempelajarinya, membuat kesimpulan dan memahaminya.

Dalam bahasa politik praktis, “abu-abu” ialah wilayah yang tak dapat “dikuasai” namun ada kemungkinan “dipengaruhi.” Ditanggapi hanya akan menghabiskan enersi. Diabaikan “berbahaya” jika tidak diwaspadai. Sebab “sesuatu” dapat terjadi. Diluar perhitungan, sulit diprediksi.

Dalam kehidupan social manusia dikenal istilah “ya” dan “tidak.” Ketika seseorang menggunakan comitmen dirinya antara ya dan tidak, disimpulkan orang tersebut adalah manusia ragu, manusia penuh kebimbangan. Tidak memiliki pendirian diri. Mudah menjadi ya. Tidak sukar untuk tidak. Hakikatnya, tidak dapat mengambil suatu keputusan. Setuju atau menolak.

Sedangkan pada tataran kepenulisan sastra, daerah abu-abu, merupakan tantangan kreatif “menterjemahkan” hingga “menuliskannya,” dalam mencapai karya-karya sastra “membukakan mata” dan “mencerdaskan” pembacanya, untuk mendorong menjadikannya sebagai salahsatu sumber “inspiratif” bagi banyak orang.




Zubir Osman, adalah nama Nazeka Kanasidena. Putra kelahiran dari Pulau Omadai, Semporna, Sabah, Malaysia, 21 April 1970. Diketahui beliau adalah seorang cikgu/guru sekolah formal. Selain bekerja sebagai tenaga pendidik, ia “berkesinambungan” memposting karya-karya fotonya di wall media sosialnya.

Objek fotonya sebahagian besar menggambarkan “kehidupan” kepulauan dan kawasan pesisir pantai. Baik alam maupun manusianya. Karya-karya berunsurkan fotografienya “melintasi” beranda fb saya. Memulakan saya “mengenal” seorang Zubir Osman yang kemudian merubah nama akun fbnya dengan Nazeka Kanasidena.

Secara periodic, selain karya foto, Nazeka selalu menyertai dengan teks tulisan. Terutama berkaitan perihal sejarah dan budaya “orang laut.” Saya akui tidak semua tulisan yang pernah dipostingnya saya baca. Selain saya mengalami “masalah” membaca, juga tidak memiliki waktu sepenuhnya untuk “membaca.” Karenanya saya lebih “memperhatikan” karya-karya fotonya dari sudut artistic dan pemilihan objek.

Setelah menerima permintaan pertemanan dari Nazeka, akun fbnya masuk ke dalam list-pertemanan fb-saya, sejak itu setidaknya, saya “mengenal” pergulatannya dalam merespon perjalanan sejarah, budaya dan “kedukaannya” menyaksikan, sekaligus merasakan “peristiwa” demi peristiwa, leluhur, manusia dan tanah air “digerus zaman.”

Kemudian kami bertemu pertamakali sama-sama menghadiri “Temu Penyair Asean 2016” di Kuala Lumpur. Ia menghadiahkan buku kumpulan puisi pertamanya, “Iltizam,” (namanya dicantumkan pada buku, Zubir Osman) terbitan ITBM-Pena, 2015. Terbaca di belakang cover depan, tertulis; “…aku harus jadi sang pemula, demi margaku, pengembara benua.”

Ketika Nazeka Kanasidena atau Zubir Osman membentangkan idenya “menjemput” masyarakat (teman-teman) media social untuk menuliskan puisi “Antara Hujan dan Airmata,” saya “memakluminya” sebagai suatu “tindakan” menghidupkan dunia kreatif sastra.

Termakluminya mengingat perhatian Nazeka kepada hal sejarah dan budaya, termasuk merekam dinamika di sekelilingnya selama ini, wajar dia tergerak hati mencetuskan ide, untuk bersama menulis perihal Hujan dan Airmata. Tidak mungkin seseorang “berani” memiliki perhatian kepada hal-hal esensial tanpa didasari oleh “basic” yang kuat.

Ramai beberapa tahun ini “menggunakan” media social untuk “berhimpun” tapi “keramaian” itu “megah” dan “gagah” hanya lebih banyak bersifat “kehebohan” dan sekelas “pesta.” Saya kira, Nazeka tidak berada di sana. Mensiasati perkembangan teknologi internet, menjadi “wadah” atau “taman” untuk “membahasakan” persoalan universal manusia terhadap dua hal yakni Hujan dan Airmata.

Secara harfiah, hujan penunjuk kepada alam. Membawa symbol kesuburan. Airmata bahagian “khas” dari perasaan, keterharuan, kesedihan dan rasa sakit. Sewaktu-waktu dialami oleh semua manusia, termasuk makhluk lainnya.

Hujan dan airmata dapat dilihat secara berbeda. Sendiri-sendiri. Tetapi pabila dua kata itu dirangkaikan, membawa pada alam tafsir yang lebih luas lagi. Karenanya sanggupkah terungkap di dalam larik-larik puisi yang “dihantarkan” di kotak comen status Nazeka?

Ramainya tanggapan, ditandai dengan kehadiran puisi-puisi yang ditulis dan dimasukkan ke dalam kotak comen, bagi saya, itu sebuah perhatian luarbiasa. Membuktikan antara keduanya, baik hujan dan airmata adalah bahagian dari “kodrat” hidup tak terpisahkan. Hal tidak asing lagi dan erat pada kehidupan masing-masing personal si pengirim puisi.

Setelah dipublish di ruang media public media social, akan dikemanakan puisi-puisi itu?

Setiap puisi tidak terbuang dan tersia-sia. Sebagai sebuah karya, puisi itu setidaknya sudah ada yang membacanya lebih dari satu orang. Termasuk Nazeka sendiri pun, selain mengcopy, ia pun juga memberikan pandangan singkat terhadap puisi. Bahkan juga perbualan singkat, saling berkomunikasi dua arah.

Nazeka Kanasidena tidak “berjanji” tetapi ia pun tak ingin sampai hanya dipublish di media social saja. Puisi-puisi itu akan diupayakannya lahir ke dalam sebentuk buku antologi. Di awal mula status pengantar idenya, Nazeka pun telah “membayangkan” pabila ada “keberkatan” ia akan membawa serta puisi-puisi yang dikirimkan keluar dari fesbook dan menjelmakan sebuah buku antologi.

Menjelang tidur disuatu malam, di bulan November, sebagai perintang-rintang hari, saya merancang sebuah cover, “sumbangan” pabila buku “impian” itu akan berwujud. Desainnya belumlah finish. Langsung diposting. Tujuan utama hanya sebagai “penyemangat” dalam meramaikan kiriman puisi. Karena tidak request daripada Nazeka, hanya partisipasi dari saya, desain tersebut tidaklah mengikat. Tidak “meminta” agar sayalah “tukang” buat cover. Tidak pula “berharap” desain saya digunakan sebagai cover.

Dari satu rancang cover, akhirnya menjadi tiga desain. Tidak hanya Nazeka “terkesima” tapi sejumlah pengirim puisi di status Nazeka menyambut baik rancang cover yang saya rancang. Syukurlah. Tetapi pabila ada yang lebih baik, datang dari pihak lain, saya bersetuju. Itu jauh lebih elok. Saya menyukai memberikan “laluan” kepada orang.

Adapun terhadap “rancangan” menghimpunkan puisi-puisi ke sebentuk buku antologi puisi, sesungguhnya lagi “trend” pada dunia sastra. Baik di Indonesia maupun di Malaysia. Terutama sejak adanya “kemudahan” menghubungkan satu sama lain melalui media social. 

Judul dan tajuknya diakui tidak ada yang tidak “gagah” dan tidak “cantik.” Semuanya gagah dan cantik. Tetapi apakah gagah dan cantik suatu “jaminan” bahwa isi yang terkandung pada setiap buku, merupakan karya-karya berkualitas dan “bernilai” sastra” (?) Entahlah.




Dengan ramainya puisi berdatangan ke kotak comentar status Nazeka, apakah otomatis puisi-puisi itu termuat ke dalam buku antologi?

Pertanyaan ini bagi saya tidak bermaksud “menyalakan” yang satu dan “memadamkan” yang lain. Dunia buku sekarang ini berkembang pesat diterbitkan. Sementara seiringkah kepesatan kemajuan penerbitan dengan kualitas isi buku dan buku itu sendiri memang jatuh ke tangan orang “membutuhkan.” Membutuhkan bahan bacaan (?). Biasanya yang butuh, sudah pasti “membeli” dan bersedia “menyimpan” dengan baik. Menjadi referensi kelak kemudian hari.

Jika jawaban tidak ada “keharusan” setiap puisi disertakan ke dalam buku, berarti isi buku merupakan kandungan puisi-puisi yang telah melewati “tahap” seleksi. Tahap seleksi pun perlu dipertanyakan. Menurut kualitas puisi? Menurut nama seseorang yang menulis puisi? Ataukah menurut dari mana asalnya atau keterhubungannya?

Kemudian juga ketebalan buku yang ditentukan jumlah halaman. Biasanya apabila berupa antologi, seringkali terlihat adalah buku tebal. Ada 1000 penulis. 1000 puisinya “dipaksa” masuk ke dalam satu buku. Ada banyak buku-buku semacam ini terbit, lebih bersifat tidak sebagai himpunan puisi terpilih tapi “terjebak” menjadi buku dokumentasi puisi dari “beramai-ramai” orang dan “beramai-ramai” daerah atau Negara. Kualitasnya? Entahlah.

Oleh sebab itulah, begitu pentingnya criteria dan aturan-aturan, demi mencapai suatu maksud. Sepanjang hanya “mengikuti” apa yang sudah berlangsung selama ini, serupa dengan apa yang telah dikerjakan atau dibuat orang, tanpa ada suatu “sikap” yang jelas, cenderung yang “dihasilkan” menjadi “biasa-biasa” saja. Akan tinggal dengan gagah dan cantiknya saja. Seketika terlihat, sesudah itu mungkin terlupa. Sebab akan ada yang lebih gagah dan cantik lagi menggantikannya silih berganti.

Saya sengaja tidak menulis “Sabah” di judul tulisan ini tetapi “Semporna.” Semporna merupakan bahagian dari Negeri Sabah, Malaysia. Semporna daerah asal Nazeka Kanasidena yang memulakan ide untuk menulis puisi bertajuk “Antara Hujan dan Airmata.”

Dari Semporna itulah Nazeka, sedang menghulurkan tangannya berisi “wadah sastra,” antaranya untuk “menampung” turunnya Hujan dari langit, berderainya Airmata dari dua kelopak mata “kreatif.” Semporna “menulis” sejarah sastra (*)

Abrar Khairul Ikhirma – rangkayoputubasa@gmail.com - From Indonesia with Love

Tidak ada komentar:

Posting Komentar