Selasa, 11 Februari 2014

Kabar Kepada Sang Guruku



60 KM jarak telah kutempuh. Di bawah terik matahari musim kering. Ketika angin yang pelit untuk bertiup. Sepulang dari wawancara dan berfoto, mengurus tahap kedua untuk mendapatkan selembar paspor. Aku berhenti sejenak menjelang sampai ke tujuan. Di tepi jalan beraspal menghubungkan 2 kota yang selama ini tak bisa dilepaskan dalam perjalanan hidupku.

Hanya sejenak tertegun. Tiba-tiba aku teringat. Merasa bersalah. Tapi semuanya belum terlambat. Hari ini  aku harus mengabarkannya. 



Aku kembali melanjutkan perjalanan beberapa ratus meter . Tiba-tiba membelok ke kanan setelah meliwati lintasan rel kereta. Memasuki jalan tanah di sisi rel. Jalan tanah, berpasir dan berbatu. Hanya beberapa puluh meter saja, hingga mencapai sebuah rumah yang menghadap rel kereta.

Di teras rumah, seorang perempuan setengah baya bergegas akan masuk ke dalam rumah, terhenti langkahnya seketika. Membalikkan tubuhnya ke arah kedatanganku di halaman. Pandangannya heran. Karena aku masih berada di atas motor, dengan kepala bersungkup helm. Ia tak mengenalku. Namun aku mengenalnya sebagai isteri Sang Guruku.

Aku langsung saja menanyakan suaminya, apakah ada di rumah. Tanpa harus berbasa-basi, suatu kebiasaan buruk yang begitu saja muncul. Di tengah hari yang tegak tali itu, aku sendiri sudah mengetahui tak mungkin Guruku ada di rumah. Selain bukan hari libur, masih terhitung hari kerja. Di halamannya sama sekali aku juga tak melihat satu kendaraan yang terparkir.

Setelah mendapat jawaban bahwa yang akan kutemui tidak berada di rumah, aku langsung berkata kepadanya: “Bu… tolong sampaikan pada bapak, saya insyaallah bulan maret nanti akan pergi ke Malaysia...,”

“Mau merantau ???” tanyanya.

“Tidak. Tolong sampaikan pada Pak Asri Kasim, sebuah puisi karya saya, mendapatkan penghargaan di Malaysia…,”

“Namamu Arkhi, khan ???” ia memastikan keberadaan diriku.

“Ya, bu. Saya murid beliau…,”

“Merinding ibu mendengarnya…,” spontan saja ucapan itu keluar dari mulut isteri guruku. Sembari mengusap satu sama lain kedua tangannya, berikut gerak tubuh dan ekspresinya. Matanya terlihat sepintas alamiah terharu.

Kudengar suara ibu itu meskipun hanya gumaman, “Alhamdulillah…., syukurlah…,”

Aku tercenung. Sedemikian besarkah arti semua ini bagi sejumlah orang-orang tercintaku ???
Isteri Guruku itu tinggi semampai. Berkulit kuning langsat yang orang kampungku lebih menyebutnya putih bersih. Kecantikannya masih terlihat. Guruku seringkali menyebut-nyebut namaku pada isterinya. 

Menceritakan hal-hal potensi yang kumiliki dan kegembiraannya memiliki seorang murid sepertiku. Namaku amat dikenalnya. Hanya saja ia jarang bertemu dengan makhluk sepertiku di dunia nyatanya. Dunia keseharian mereka. Nama dikenal tapi nyaris tak pernah bertemu atau saling kontak sampai bertahun-tahun.

Asri Kasim adalah guru Bahasa Indonesia, semasa masih di Sekolah Menengah Pertama (SMP Negeri Pariaman) bertahun silam. Seorang laki-laki tinggi semampai. Kulit bersih. Berpakaian rapi. Tampan, ramah dan mudah akrab. Tak salah… banyak guru-guru wanita, terutama yang belum menikah berusaha untuk mendapatkan lebih dekat dengannya. Sampai akhirnya… kemudian kami para muridnya, mengetahui Guru kami itu menetapkan pilihan hatinya. Ya, ibu tadi  yang kutemui untuk menitipkan pesan kepada Guruku.

Semasa di bangku sekolah SMP itulah, pertama dan terakhir kalinya aku ikut lomba baca puisi. Lomba diadakan pak Asri Kasim antar kami. Baik anak-anak kelas satu, kelas dua atau pun kelas tiga. Pada lomba itu, aku membacakan puisi “Antara Kerawang dan Bekasi,” karya penyair Chairil Anwar. Aku menjadi pemenang dan mendapatkan hadiah sebuah pena.

Mungkinkah pena itu bermakna dari Guruku itu, selalulah untuk menulis. Karena beliau tahu, semasa itu aku sudah mulai rajin mempublikasikan tulisanku ke media cetak, ke suratkabar terbitan di daerah kami. Dimana beliau sering membacanya.

Aku tak mengetahui, bagaimanakah Guruku, saat menerima kabar dariku yang kupesankan pada isterinya itu, perihal puisiku berjudul “Hang; kekalkan di Selat Malaka” menjadi salah satu yang menerima Anugerah Puisi Dunia Numera 2014. Semoga kabar itu menjadi kebahagiaan baginya, karena dialah salah satu yang pantas menerima penghargaan itu. [abrar khairul ikhirma]

9 komentar: