Minggu, 16 Februari 2014

Catatan Malam 22 Januari 2014



SEBUAH puisiku mendapat apresiasi dari organisasi kesastraan NUMERA (Nusantara Melayu Raya) di Malaysia, berupa  Anugerah Puisi Dunia Numera 2014. Puisiku berjudul "HANG; kekalkan di selat malaka." Satu dari tiga puisi yang disertakan dalam kegiatan tahunan itu, melibatkan penyair dari 7 negara.

Tanpa mengecilkan arti penghargaan itu, sebenarnya yang pantas menerima penghargaan itu adalah ibu Lily Siti Multatuliana SutanIskandar, seorang  yang kukenal selama ini melalui jejaring sosial fb. Kami belum pernah bertemu sama sekali. Hanya di dunia maya belaka. Kami dalam sejumlah kali sering berdebat, bercakap-cakap dan yang jelas nyaris tak ada titik temu dalam setiap pembicaraan di kotak inbox fb.



Ibu Lily, seorang perempuan berdarah Minang, bermukim di Malaysia. Ia mengikuti suaminya yang bekerja di dunia pendidikan. Ibu Lily sendiri kuketahui menekuni jejak rekam budaya, terutama budaya nusantara. Lalu karena suka bepergian, ia suka menulis hal-hal kepariwisataan dan budaya, khususnya tengah menyiapkan buku mengenai Melaka. Yang pernah diungkapkannya, meminta aku mau menjadi editor dan menyiapkan desain cover buku tersebut. Mungkin karena perhatiannya kepada kebudayaan itu, ia pun bersentuhan dengan kegiatan-kegiatan kesenian. Salah satunya menulis dan membaca puisi.
Ibu Lily lah acap “menteror” ku untuk bisa menuliskan yang menurutnya pantas diketahui oleh orang banyak. Menyuruhku untuk bersemangat kembali menekuni, yang menurut beliau aku memiliki potensi untuk itu. Tetap saja aku katakan bahwa aku tidak tertarik. Aku ingin kebebasan menikmati duniaku. Termasuk betapa gigihnya beliau memintaku untuk mau mengirimkan karyaku, untuk disertakan pada penghargaan Numera. Berkali-kali kutolak dengan berbagai alasan. Bukan tersebab Numera yang mengadakannya. Memang  aku sendiri selama ini tak pernah tertarik untuk ikut dalam berbagai penilaian.  Dengan sejumlah pertimbangan, akhirnya besok terakhir penyerahan karya, kukirimkan puisiku ke emailnya.  Ibu Lily yang meneruskan dan melengkapi persyaratannya.

Sepanjang karierku dalam memilih hidup di kesenian dan menjadi manusia merdeka, belum pernah menyertakan karyaku pada suatu lomba, dalam tingkat apa pun. Aku memang sama sekali tak tertarik. Bukan berarti aku tak menyetujui setiap perlombaan atau penilaian yg diadakan. Aku hanya menjelaskan bukan bagian dari diriku hal semacam itu.

Pertimbangan lainnya, sudah 16 tahun ini, aku sudah boleh dikatakan menghilang dari dunia komunitas berkesenian di Sumatera Barat dan nyaris tak mempublikasikan karya-karyaku lagi. Aku memilih jalanku sendiri. Bepergian ke berbagai pelosok atau mendekam di suatu tempat. Aku bagaikan seorang Mushashi-nya Eiji Yoshikawa: mengembara dalam kesendirian.

Menjelang penutupan penyerahan karya, ibu Lily masih mendesakku melalui inbox fb ku. Akhirnya luluh juga ketidak-mauanku dan mengirimkan 3 buah puisi. Padahal disaat yang sama, aku tengah diliputi suasana tegang, dimana orangtua laki-lakiku dalam perawatan intensif, karena usia tua beliau. Termasuk  sedang sibuk mempersiapkan keberangkatan untuk menuju pulau Batam. Memenuhi permintaan perantau Piaman untuk pembuatan 2 buah Tabuik, untuk event “Bahoyak Tabuik” di Kota Batam. 

Aku baru mengetahui bahwa salah satu puisiku dinyatakan mendapat penghargaan Anugerah Puisi Dunia Numera 2014, saat membuka fesbukku, setelah beberapa hari hal tersebut diumumkan melalui dunia maya. Banyak teman-teman fesbuk mengabarkannya. Tidak hanya melalui update status ke kronologi fb tapi secara khusus menyampaikannya melalui inbox.
 
Dari awal… aku tak pernah antusias untuk mendapat tempat. Bahkan aku juga tak pernah ada kepikiran bahwa aku pergi ke berbagai tempat karena puisiku. Tak pernah berharap, apalagi mengusahakannya. Begitulah. Kedengarannya seperti sesuatu yang remeh. Itulah diriku…

Atas penghargaan itu, aku mengucapkan terimakasih  juga, kepada teman fb Dato' Ahmad Khamal Abdullah dengan NUMERA –nya. Karena kami  selama ini hanya mengenal melalui fb dan belum pernah bertemu sama sekali, sebagaimana juga dengan ibu Lily.

Selama ini... aku respek terhadap perjuangan hal-hal seni dan kebudayaan. Termasuk kepada Numera, yang aku ketahui melalui publikasinya, sangat gencar melaksanakan kegiatan kesastraan, dalam beberapa tahun terakhir. Aku menaruh hormat kepada setiap perjuangan, perjuangan membuka ladang harapan, dimana tumbuh regenerasi orang-orang kreatif dan karya-karya kreatif, dengan harapan dapat mencerahkan kehidupan dunia yang kini alangkah semrawutnya ini.

Tanpa mengecilkan arti penghargaan kepada puisiku, terus terang..., aku lebih teramat berbahagia  jika mereka-mereka yang lain dan lebih gigih dalam memperjuangkan kesenian-mencipta mendapat kesempatan, mendapat penghargaan, ketimbang pada diriku dan karyaku. Karena kita ketahui, sekarang alangkah banyak generasi baru,  tumbuh dan berkembang dengan karya-karya mereka, yang lebih patut kita hargai.

Semalam…, aku menemui kedua orangtuaku. Hanya beberapa kilometer dari pusat kota. Selama ini apapun mengenaiku, tak pernah aku berkabar pada mereka. Kali ini, tergerak saja hati untuk menyampaikannya. Aku menceritakan perihal penghargaan itu kepadanya. Papaku yang kini hanya berbaring di tempat tidur, demikian bahagianya. Begitu juga ibuku. Kata ibuku semalam;  “Jangan lihat urutan dan jumlah hadiah, lihatlah nilai dari suatu penghargaan orang pada kita,”

Aku tercenung…., mempertimbangkan sendiri ucapan orangtuaku dan sejumlah apresiasi teman-temanku yang spontan, menghargai ibu Lily, menghormati Dato' Ahmad dan Numera, Insyaallah aku berusaha hadir di auditorium Bahasa dan Pustaka Malaysia di Kualalumpur, 21 maret 2014.

Walau di dalam lubuk hatiku, sesungguhnya aku merasa sedih. Semestinya bagian itu bukan untukku. Tetapi untuk mereka-mereka yang jauh lebih baik dariku. Membutuhkan suatu kesempatan menuju kegemilangan.... [tengah malam, abrar khairul ikhirma]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar