Sabtu, 08 Februari 2014

Ikhirma, Kisah Sepenggal Nama



NAMA adalah do’a, begitu berulangkali sebahagian besar orang sebutkan. Benar. Tidak salah sama sekali. Di balik pemberian nama oleh orangtua kita, tersimpan banyak hal yang tak terungkap. Kalau pun dijelaskan, hanya sebuah gambaran. Tentulah tidak utuh mewakili situasi, perasaan dan pikiran saat nama itu dicetuskan, ketika si anak baru lahir dan diberikan nama.



Orangtuaku memberikanku nama untukku, “Abrar Chairul.” Yang kemudian nama itu dicantumkan pada ijazah saat menyelesaikan pendidikan sekolah formal. Disaat sudah menjejak bangku sekolah menengah pertama (SMP), barulah sepenuhnya aku mengetahui namaku diambil dari bahasa Arab. Tapi aku tak pernah tahu artinya apa dan memang aku sendiri juga tak menaruh perhatian besar untuk itu.



Barulah di saat masa-masa menempuh pendidikan formal ku di bangku sekolah menengah atas (SMA) yang “kacau balau,” mengetahui bahwa “Abrar” itu artinya bakti.

Bakti menurut situs Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI):
“bak·ti n 1 tunduk dan hormat; perbuatan yg menyatakan setia (kasih, hormat, tunduk): -- kpd Tuhan Yang Maha Esa; -- seorang anak kpd orang tuanya; 2 memperhambakan diri; setia: sbg tanda -- kpd nusa dan bangsa, ia berusaha berprestasi sebaik-baiknya;

ber·bak·ti v berbuat bakti (kpd); setia (kpd): - kpd Tuhan Yang Maha Esa dng jalan melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya;

mem·bak·ti·kan v 1 menggunakan segenap tenaga untuk berbakti (kpd); menghambakan: beri kesempatan kpd mereka agar dapat - ilmunya kpd masyarakat; 2 memberikan sesuatu sbg tanda bakti: demi perjuangan bangsanya, orang tidak segan-segan - harta bendanya;
pem·bak·ti·an n proses, cara, perbuatan membaktikan: - tenaga dan pikirannya kpd perjuangan bangsa tidak dapat dinilai dng uang;



Kata Abrar pada namaku diikuti dengan pencantuman, “Chairul.” Chairul adalah nama awal dari orangtua laki-lakiku. Juga berasal dari bahasa Arab. Chairul, masih menurut KBBI dijelaskan:

baik /ba·ik / 1 a elok; patut; teratur (apik, rapi, tidak ada celanya, dsb): karangan bunga itu -- sekali; 2 a mujur; beruntung (tt nasib); menguntungkan (tt kedudukan dsb): nasibnya -- sekali; mendapat kedudukan yg --;  4 a tidak jahat (tt kelakuan, budi pekerti, keturunan, dsb); jujur: anak itu -- budi pekertinya; 6 a selamat (tidak kurang suatu apa): selama ini keadaan kami -- saja; 7 a selayaknya; sepatutnya: kami diterima dng --; 10 n kebaikan; kebajikan: kita wajib berbuat -- kpd semua orang;-- hati berbudi baik;”

Awalnya, kata Abrar dan Chairul itu yang merupakan dua kata dari namaku tak pernah menjadi perhatianku. Yang kuingat, perhatianku hanya pada penambahan kata “Ikhirma” olehku setelah dua kata itu. Kata Ikhirma, aku temukan semasa menjelang menamatkan sekolah dasar (SD). Dimasa itu aku tengah menjadi seorang pembaca kelas berat. 

Keluarga kami adalah keluarga pembaca. Ada banyak suratkabar yang dilanggani oleh orangtuaku dan banyak buku yang dibelikan untuk kami, bahkan masing-masing kami sampai membeli sendiri buku, majalah, suratkabar yang kami minati.

Diantara bacaan yang pernah aku baca itulah, aku menemukan nama Ikhirma. Nama itu terdapat dalam salah satu cerita dari negeri “Seribu Satu Malam.” Dimana mulanya cerita “Aladin dengan Lampu Wasiatnya.” Atau “Sinbad Sang Pelaut.” Dan “Kisah 40 Penyamun.” Dan banyak lagi, kisah-kisah yang menakjubkan, di zaman Sultan Haroen Al Rasjid itu, membentuk imajinatif dan mempengaruhi karakter di masa anak-anak dan remaja. Seperti aku yang haus akan bacaan dan ilmu pengetahuan.



Dikisahkan…., ketika pemerintahan Sultan Haroen Al Rasjid di Kota Bagdad, ada seorang yang hidup di jalanan dengan derita kemiskinan. Terlunta-lunta. Tidak memiliki tempat tinggal, tidak punya sanak saudara, susah untuk mendapatkan pengganjal perut di kala lapar. 

Nama orang itu Ikhirma. Seorang yang sering merenungkan nasibnya. Tidak mau sembarangan meminta-minta dan menerima kala diberi orang. Tidak pula ingin mencuri walau hanya sekadar mempertahankan hidup.  Tidak mengeluh dan tidak mengharapkan belas kasihan orang.

Dalam kemelaratannya, ia memiliki sebuah cita-cita yakni ingin sekali menjadi orang kaya. Dan memang akhirnya, cita-citanya itu menjadi kenyataan. Ia menjadi orang kaya, bahkan menjadi salah seorang bangsawan di zaman Haroen Al Rasjid. Tragisnya, setelah menjadi bangsawan itu, ia pun kemudian bercita-cita menjadi orang miskin.

Maka diputuskannyalah, menyerahkan semua harta bendanya kepada Sultan Haroen Al Rasjid, untuk digunakan kepentingan masyarakat dan orang-orang fakir miskin. Kecuali, ia menyisakan sebuah rumah kecil yang ingin ditempatinya sampai akhir hayatnya, yang kelak telah tiada, silahkan diambil juga.

Beliau hanya meminta Sultan, bersedia menyuruh orang untuk mengantarkan susu dan roti setiap pagi ke rumah kecilnya. Sultan mengabulkan. 

Di rumah kecil itulah ia mendekam menghabiskan hidupnya. Menyendiri. Rumah dengan pintu tertutup, nyaris kelihatan tanpa penghuni. Hanya ada sebuah jendela kecil di salah satu sudut, terbuka bila diketuk, tempat si tukang susu dan si tukang roti, menyerahkan makanan. Kemudian pintu itu akan ditutup kembali. Baik tukang susu, tukang roti, tak pernah tahu siapa di dalamnya. Begitu juga sebaliknya.

Penggalan nama itulah yang menjadi namaku sampai kini. Aku merasa tak bisa dilepaskan lagi, ia telah menjadi bagian dari hidupku. [abrar khairul ikhirma, februari 2014]

2 komentar: