Selasa, 27 September 2011

Lauk Disikat Kucing di Pantai Ulakan

SELEPAS SIANG, dari arah Kota Padang, aku meluncur keluar kota menuju Utara. Jalanan sangat sepi dibandingkan dengan hari biasa. Ini hari adalah Hari Iedul Fitri 30 Agustus 2011. Cuaca sedikit mendung tapi tidak terjadi hujan. Seperti juga turut berduka. Soalnya tahun ini, masalah penetapan Hari Lebaran tetap saja tidak menemukan titik temu antara keputusan pemerintah dengan sebahagian umat Islam di tanah air. Tiap tahun di Indonesia Hari Lebaran selalu ada dua. Menurut pemerintah dan masyarakat. Biasanya Hari Lebaran menurut pemerintah selalu mendahului dari sebahagian masyarakat yang berbeda itu. Tapi tahun ini justru luarbiasa. Sebahagian Umat Islam menganggap Lebaran jatuh di hari Selasa 30 Agustus 2011. Sedangkan pemerintah menetapkan Rabu 31 Agustus 2011.


Aku memilih lebaran di Hari Selasa saja. Mendahului dari keputusan pemerintah yang disiarkan melalui televisi. Walau selama ini suasana lebaran tiap tahun terpecah tapi yang di tahun ini menurutku benar-benar “pecah.” Di hari ini saja sudah terlihat di sepanjang jalan seperti “tak ada kehidupan.” Tidak seperti biasanya lebaran sebelum ini. Aku tidak memiliki rencana apapun untuk berkunjung ke suatu tempat. Yang jelas aku berangkat menelusuri jalanan menuju Utara.

Bisa jadi aku akan ke Kayutanam saja. Bermalam di INS Kayutanam. Atau meneruskan ke Padangpanjang. Kalau di Padangpanjang bisa jadi aku berpaling mengarah pulang menuju Batusangkar atau malahan bermalam ke Bukittinggi. Di Batusangkar suasana pedesaannya sangat terasa. Yaaah… sangat mendamaikan hati. Kalau di Bukittinggi ramainya bukan main. Kadang juga menghibur diantara banyak rasa kesal. Karena dari berbagai arah banyak orang menjadikan Bukittinggi Kota Utama untuk berlibur. Hari libur biasa saja bukan main ramainya, apalagi saat berlebaran!


Ternyata…. belum sampai ke Kayutanam dan Padangpanjang, aku sudah berobah arah. Seusai menikmati bengkuang yang dijual berjejer di pinggir jalan di kawasan jembatan perempatan Duku, aku malah membelokkan kendaraan ke kiri, menuju jalan ke Bandara International Minangkabau (BIM) di Ketaping. Juga tidak ramai kendaraan keluar masuk. Jalan dua jalur yang lebar itu sepi, dibandingkan dengan ramainya jejeran spanduk dan baliho-baliho iklan produk kiri kanan jalan. Tak hendak aku memperhatikan satu-satu dari iklan itu. Malahan kadang aku benci, karena terlalu banyaknya dipasang, malahan kuanggap sudah merusak pemandangan dan dapat mengundang kecelakaan.

Mendekati pintu gerbang Bandara BIM aku berbelok ke kanan. Memasuki ruas jalan menyisi Bandara yang nantinya akan terus menyisir kawasan pantai. Jalannya mulus walau nantinya semakin ke ujung semakin mengecil dan memasuki wilayah pemukiman dan ibadah. Aku tidak ingin memacu kendaraan sebagaimana untuk mencapai tujuan, karena memang kali ini aku tidak bertujuan. Yang ada hanya bagaimana menanti malam dan menghabiskan Hari Lebaran pertama sendirian.


Matahari sore sudah mulai merunduk. Tadi aku sempat singgah di Pantai Katapiang dan di Muaro Tiram. Sejak pagi yang masuk ke dalam perutku hanya sepiring lontong, sementara makan siang terlewati begitu saja. Saat berada di Muaro Tiram tadi, tak jua ingin makan di sana. Padahal Muaro Tiram adalah kawasan kuliner sejak beberapa tahun ini. Sajiannya gulai dan goreng ikan laut. Tempat makannya di pondok-pondok yang dibangun di bibir pantai. Ternyata Muaro Tiram sepi. Tak seramai di hari libur terutama di hari minggu setiap pekan. Nyaris tak ada pengunjung. Padahal aku sudah memasuki kedua sisi pintu muaro sungai Batang Tapakih itu, dimana berjejer sejumlah pondok-pondok makan.

Ketika mencapai Ulakan yakni di kawasan makam Syech Burhanuddin, aku membelokkan kendaraan menuju pinggir pantai, melewati jalan gang yang dicor semen. Setiap bulan Syafar, Ulakan akan ramai dikunjungi penganut tarekat Syatariah, termasuk pengunjung yang ikut meramaikan suasana meluber sampai ke bibir pantai. Baik siang maupun malam. Rencanaku akan memotret di belokan sungai menjelang muara. Nyatanya kendaraan tidak bisa mencapai ke sana. Soalnya jalan cor semen persis di ujung menuju muara Ulakan terdapat satu rumah nelayan dan menjadikannya sebagai teras rumah pondoknya. Di sana terparkir beberapa sepeda motor dan peti serta kaleng-kaleng kelengkapan melaut. Atap rumahnya disambung dengan terpal menutupi jalan semen. Aneh juga memang. Kok bisa begitu ???


Karena jalanku terhalang, aku balik-kanan. Memutuskan untuk menyusuri jalan semen yang menyisir tubir pantai. Hampir sama dengan di Pantai Tiram, Pantai Ulakan juga sepi. Hari biasa pun memang tidak seramai di Pantai Tiram. Orang Ulakan yang penganut Syatariah hari kedatanganku ini belum berlebaran. Lebarannya adalah esok hari. Namun kedai-kedai tetap buka. Mulai dari depan makam Syech Burhanuddin sampai ke arah pantai ada saja penjual “rakik udang” dan “sala lauk.” Makanan gorengan berbahan tepung, ikan dan udang laut. Begitu juga ada kedai nasi kecil di sana sini. Karena sejak pagi belum makan, di sore hari ini, aku ingin makan di sini saja. Hitung-hitung… sudah beberapakali ke Pantai Ulakan, belum pernah mencoba makan masakan kedai nasi pinggir pantainya. Mana tahu lebih enak dibandingkan dengan yang ada di Muaro Tiram.

Aku berhenti dan duduk di salah satu pondok. Lalu nasi yang kupesan datang. Nasi putih dengan sayur pucuk ubi kayu, lalu dua potong ikan gulai di sebuah piring kecil. Ikan yang terpotong tampaknya bukan jenis ikan sisiak atau kerapu atau hasil pancingan nelayan seperti biasanya. Tampaknya asal ada gulai ikan saja. Melihat kuahnya yang tidak kental dan warnanya hambar, sudah kupastikan tidak bakal enak. Karena sudah terlalu lapar aku ambil sepotong dari dua potong ikan gulai itu setengah hati. Meskipun selera sudah patah kupaksakan juga memakannya.


Oh ya…. Baru saja duduk di pondok makan itu, kucing-kucing sudah mulai datang berkerumun. Di banyak rumah makan, biasanya kehadiran kucing pastilah disingkirkan oleh pemilik kedai. Sebab akan mengganggu pengunjung. Tetapi di kedai nasi Pantai Ulakan tidak. Kucing-kucing itu seperti tidak akan mengganggu orang makan. Dianya ada yang hanya berada di sekitar pondok, ada pula ikut naik ke atas pondok makan. Melihat kucing yang banyak itu, tidak ada tanda-tanda mereka adalah kucing-kucing liar tapi pastilah kucing piaraan penduduk setempat, termasuk si pemilik kedai. Karena kucingnya berbulu bersih dan tidak takut dengan manusia. Si pemilik kedai nasipun tak hendak untuk mengusirnya. Seakan hal itu biasa saja. Saat aku makan memandang ke laut, salah satu kucing berhasil mencuri ikan yang tinggal sepotong dalam piring kecil di hadapanku. Hup! Kucing itu tidak membawanya lari tapi dengan tenang memakan di hadapanku! Aku tetap diharuskan membayar sesuai dengan yang dihidangkan.

Selain kehadiran kucing di kawasan itu, Pantai Ulakan juga tidak memadai untuk dikunjungi jika ingin mendapatkan suasana yang penuh sensasi wisata. Baik kuliner maupun suasananya. Tidak ada view yang menarik. Juga keadaan sajian dan layanan yang jauh dari bagus. Bukannya mendukung kekurangan lokasi itu dengan makanan spesifik dan harga wajar tapi malah seakan tidak peduli…., Selain bibir pantai nyaris tidak ada jarak dengan ombak, lebih identik dengan kumuh. (abrar khairul ikhirma /30/09/2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar