Jumat, 23 September 2011

Berlayar ke Pulau Anso


PULAU ANSO salah satu pulau yang berada di depan Pantai Pariaman. Tepatnya terletak di depan objek wisata Pantai Gandoriah. Sisi barat Pulau Sumatera dari Samudera Hindia. Pada saat lebaran minat pengunjung cukup banyak ingin berwisata ke sana. Tahun ini penyedia jasa memakai “biduak payang” (mesin temple) milik nelayan Pasir Baru, Naras, Pariaman, yang sehari-hari digunakan menangkap ikan. Mengantisipasi kemungkinan terjadi musibah, Team SAR juga menyiapkan sejumlah perahu karet dan boat pemantau.

Banyak orang takut naik biduak (perahu).
Jangankan di laut, di telaga dan sungai saja, lantaran tak memiliki keberanian karena tidak bisa berenang, banyak yang merasa enggan. Namun saat lebaran setiap tahun di Pantai Pariaman, para pengunjung ada saja yang berminat untuk naik perahu dengan tujuan ke Pulau Anso. Lebaran tahun ini, 1 s.d. 5 September 2011, setiap hari tiket yang disediakan penyedia jasa ke pulau senantiasa habis terjual. Tidak kurang dalam sehari pengunjung ke pulau dikabarkan lebih dari 300 orang.


Meskipun Pulau Anso bukan pulau tertutup untuk umum, panitia selama lebaran yang ditunjuk pemerintah khusus menyediakan jasa untuk mencapai pulau tersebut. Tradisi ke pulau ini dimulai atas kebijakan almarhum Bupati Anas Malik di awal tahun 1980 setiap lebaran. Peminatnya tidak pernah berkurang. Padahal sebahagian besar pengunjung ke pulau sama sekali tidak bisa berenang, bahkan belum pernah naik perahu. Selain ingin mencoba naik perahu, pengunjung kebanyakan ingin menyaksikan bagaimanakah kalau mereka saat berada di pulau??? Saat lebaran pengunjung pulau kebanyakan dari kalangan muda, terutama pasangan yang pergi berombongan.

Pulau Anso atau ada juga yang melafazkannya Angso dan banyak juga menyebutnya Pulau Anso Duo berjarak cukup dekat dengan bibir pantai. Jika memakai biduak nelayan bermesin robbin saat cuaca bagus dan alun laut normal, pulau dapat dicapai 30 menit dari pantai. Tetapi saat lebaran disediakan biduak payang bermesin tempel 40 pk dan body biduak cukup besar dan aman untuk memuat penumpang sehingga pulau dapat dicapai kurang dari 20 menit.

Selain moment lebaran, beberapa waktu lalu saat hari libur (sabtu dan minggu) sempat tersedia angkutan ke Pulau Anso, dengan memakai sarana boat dan kapal milik Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Pariaman . Alasan yang dilansir adalah untuk mendukung kegiatan wisata daerah tapi tidak diketahui bentuk pengelolaannya. Baik penggunaan sarana maupun pertanggungjawaban keuangannya. Termasuk dalam keamanan penumpang menyangkut jiwa manusia. Entah bagaimana menjelang waktu lebaran kegiatan semacam itu terhenti begitu saja.


Pulau Anso digunakan nelayan setempat untuk beristirahat, ada juga pengunjung dadakan pada hari biasa yang berkunjung ke sana. Biasanya mereka datang berombongan dan menghubungi nelayan sepanjang Pantai Gandoriah. Memang tidak bisa dipastikan jumlahnya tetapi ada saja kunjungan ke Pulau Anso dalam sebulan. Mereka mencarter biduak robbin dan rata-rata membayar 50 ribu per orang. Nelayan mengantarnya pada pagi hari dan sorenya mereka dijemput kembali. Atau sesuai perjanjian mereka dengan para nelayan yang bersedia mengantarkan dengan biduknya.

Sebenarnya Pulau Anso hanya sebuah pulau biasa-biasa saja. Bagi banyak kunjungan tidak lain terpikat oleh keinginan sensasi lain berlayar di laut dan menjejak pulau selepas dari daratan. Di pulau kecil ini terdapat “kuburan panjang” yang dipercaya keramat. Kuburan terletak di bahagian tengah pulau. Pada saat tertentu akan ada saja kunjungan rombongan untuk berziarah. Pemerintah daerah waktu lalu membangun tiga buah rumah “inap singgah” buat nelayan yang menjadi proyek Dinas Perikanan dan Kelautan. Kondisinya sejak dibangun tidak terawat sampai kini. Begitu juga tempat ibadah berupa surau kecil dan dermaga kayu, nyaris mengalami nasib yang sama. Sekadar dibangun. Kemudian dibiarkan begitu saja. Suatu hal yang sudah klasik diketahui dan disaksikan umum.


Yang paling merisaukan adalah dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh kunjungan secara “resmi” ke Pulau Anso itu, semacam yang dapat disaksikan setelah lebaran usai. Sampah-sampah berserakan mengotori pulau dan bertebaran ke laut. Termasuk perilaku moral pengunjung yang menikmati kebebasan di pulau bersama pasangannya tanpa ada pengawasan dan keterikatan apabila berada yang dikatakan sebagai “objek wisata” itu. Sebab bukan mustahil berasyik-mashuk bagi kalangan sekarang merupakan keberanian lain di tempat umum meskipun sudah menyuruk-nyuruk ke balik semak belukar. Pariwisata, siapakah yang diuntungkan sebenarnya??? Pemerintah, panitia, oknum ??? Keuntungan konkrit tak pernah diketahui, selain hanya wacana. Adakah uang masuk ke kas daerah, paling tidak pengganti uang yang telah dikeluarkan??? Jawabannya hanya satu kata klasik saja: Rugi !!! (abrarkhairulikhirma/06/09/2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar