Senin, 22 Agustus 2011

Mendaki Kelok 44 Diambang Sore

SEMULA ingin menghabiskan separo hari, dari siang ke senja, diantara kelok-kelok pendakian di Kelok 44. Namun niat itu tak kesampaian rupanya. Biarlah… yang penting kami semuanya selamat dan dapat menikmati sepanjang perjalanan. Walaupun tidak keriangan yang berlebihan, namun cahaya kegembiraan itu menampak di wajah dan sikap kami semuanya. Dan kata-kata hampir tak dapat dirangkai untuk menjelaskan apa-apa yang kami rasakan saat itu.

Tak ada diantara kami yang baru pertamakali melintasi Kelok 44. Hampir semuanya sudah pernah. Mungkin jumlah kalinya yang berbeda dan waktunya yang tak sama. Nyatanya, kami semuanya masih tetap merindukan suasana perjalanan, apalagi dengan bersama-sama melintasi dengan rute yang panjang seperti kali ini. Tak ada yang mengeluh dan tak ada yang ingin buru-buru untuk pulang.

Sebelum mencapai Kelok 44, kami masuk dari daerah Kampung Dalam, Padangpariaman dari jalan lintas Padang – Pasaman Barat. Kami tidak menyukai lewat jalan raya yang penuh dengan kendaraan dan tidak memiliki kesempatan menikmati pemandangan, karena otomatis harus konsentrasi ekstra berkendaraan untuk tidak terjadi kecelakaan.

Menikmati pemandangan, perkampungan, semak belukar, sungai dan sawah-sawah, tebing, pendakian dan penurunan, juga kelokan-kelokan, alangkah hal yang mengasyikan saat bersepeda motor. Udara pun terasa segar. Suasana kadangkala menjadi sunyi. Kami seperti tak ada apa-apanya dengan sesuatu yang kami rindukan yakni bagaimana hidup berjalan secara alami.

Kampung Dalam – Sungai Garinggiang – Aua Malintang, kami masuk Kabupaten Agam: Lubuk Basuang, nah akhirnya kami menyusuri Batang Antokan, melewati Lubuak Sao (ada lagu yang dinyanyikan alm Tiar Ramon, “Lubuak lah Sawo di Maninjau, tampak nan dari Ambun Pagi….”) menuju salah satu sudut Danau Maninjau. Danau ini kaya dengan cerita, foto, lukisan dan juga nyanyian. Banyak yang terinspirasi untuk menciptakan karya dan usaha. Cerita tentang ikan karamba, peternakan ikan dengan memanfaatkan lokasi danau dengan ikan-ikannya sering mati tiap tahun dan perusakan alam lainnya yang kini terus terjadi, hanya sebahagian kecil dari dimulainya penggerogotan perusakan Danau Maninjau, yang suatu saat nanti mencapai titik lepas kendali. Sayang memang…

Dari Maninjau kami berbelok ke kiri, kalau kami lurus akan terus ke Sungai Batang dimana kampung halamannya ulama besar BUYA HAMKA. Penulis roman legendaries “Tenggelamnya Kapal van der Wicjk” lalu juga “Di Bawah Lindungan Ka’bah.” Berbelok ke kiri sudah langsung menghadapi pendakian. Kami lebih memilih untuk mendaki daripada menurun. Karena banyak pertimbangan. Tentu saja pertimbangan itu salahsatunya kesepakatan bersama. Bisa jadi… isyarat lain bahwa kami sangat menyukai suatu tantangan yang dapat untuk dinikmati. Daripada bersiluncur turun keenakkan tapi dapat menciderai.

Teman-teman seperti bergegas mendaki. Seperti mereka tak sabar lagi menikmati kelok demi kelok. Bagaikan anak-anak yang rebutan kala melihat ibunya pulang membawa makanan dari pasar. Tapi aku tidak mau secepat itu. Prinsipku selalu perjalanan harus dinikmati dan tidak memerlukan bergegas. Karena aku telah menyediakan waktu memang semata-mata untuk perjalanan hari itu. Mengapa diburu waktu ???

Setelah berhenti sejenak, aku pun menyusul teman-teman yang sudah menghilang dari pandangan. Sendirian aku mulai menekan gas motor. Biasanya memang aku senang bepergian sendirian saja ke berbagai pelosok selama ini. Tidak seperti kali ini. Perjalanan dengan teman-temanku ini sudah terjadi beberapakali, semacam perjalanan berkala. Bagiku penting juga. Dengan bersama-sama kita akan merasakan kekeluargaan, persahabatan dan mengasah kepekaan sosial. Saling menyadari bahwa kita memang hidup bukan ditakdirkan sendiri di atas dunia ini tetapi, bersama bukan berarti tidak ada aturannya. Ada tenggang dan rasa. Ada pikir dan perbuatan. Ucapan dan kenyataan. Kita akan dapat berlajar dan melakukannya. Semuanya akan terlihat sendirinya…

Disepanjang perjalanan di kelok-kelok yang empat puluh empat itu, kita akan dapat menikmati keindahan Danau Maninjau dan sekitarnya. Alam Danau Maninjau sangat menakjubkan jika dilihat dari ketinggian. Setiap kelok 44 selalu memberikan nuansa yang lain bila menukik-kan pandangan ke danau. Begitupun waktunya, pada pagi hari, siang atau senjahari. Beragam rekam mata dan kata hati akan dituliskan oleh sanubari. Apalagi bagi mereka yang sedang masa jatuh cinta atau patah hati, atau barangkali menghabiskan umur di masa tua, sambil merenungkan perjalanan yang sudah terjalani ???

Danau Maninjau merupakan danau vulkanik, yaitu danau yang cekungnya terbentuk karena letusan gunung berapi. Terletak di kecamatan Tanjung Raya, kabupaten Agam, pada ketinggian 461,50 meter dari permukaan laut. Luas permukaan Danau Maninjau lebih kurang 99,5 km persegi, dengan kedalaman maksimum 495 meter

Sepanjang berkelok-kelok pendakian, aku tak ingin mengkhayal dan berandai-andai. Kunikmati saja. Biarlah alam rasa yang berbicara. Cuaca memang tidak cerah, lebih banyak mendungnya. Lagian juga hari sudah sore. Keindahan yang diinginkan ternyata tidak sepenuhnya ada, yang ada suasana alam misteri. Alam dimana mendorong diriku untuk merenungkan ke dalam batin. Terasa mendesau seperti nyanyian dedaunan bambu tertiup angin. Tajam dan bermiang.

24 Juli 2011 menjelang senja, akupun sampai di kelok 37 dimana teman-teman sudah menikmati istirahat. Akupun turut bergabung. Tentu saja secangkir kopi yang hangat segera menemani. Melepas pandang ke arah danau nun di sana. Sebuah karpet abu-abu. Udara berangsur mencekam, entah karena lapar. Di kelok ini… salah satu objek foto paling banyak yang dipublikasikan terutama di internet kulihat selama ini. “Andaikan kamu ada di sisi ku

Dan aku bersama teman-teman menghabiskan waktu sampai senja menjelang di sini, memandang Danau Maninjau dari ketinggian, sampai gelap memastikan diri menjadi malam. Sebelum akhirnya kami mendaki sisa kelok sampai ke hitungan 44 menuju Jam Gadang di Bukittinggi. …,” * (abrarkhairulikhirma/27/07/11)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar