Jumat, 19 Agustus 2011

Fenomena Berkesusasteraan di Koran Terbitan Padang

Oleh: Muhammad Subhan
Penulis www.kabariindonesia.com

"Belum pernah ada sejarah koran dibredel gara-gara cerpen". (Cerpenis Harris Effendi Thahar).

SEBARIS kalimat itu saya kutip dari berita yang dipublikasi media online tempointeraktif dot com ketika seorang wartawannya mewawancarai Harret (panggilan akrab Harris Effendi Thahar-pen), usai sidang Terbuka Senat Universitas Negeri Jakarta, akhir September 2006 silam, ketika ia merampungkan disertasinya dengan predikat memuaskan. Namun saya tidak hendak memperbincangkan cerpen-cerpen Harret yang memang sudah menasional itu.

Harret dalam pandangan saya adalah seorang pegiat sastra dengan genre cerpen yang harus menjadi cermin bagi generasi-generasi sesudahnya. Tak salah, kalau kita, saya rasa juga, cukup meneladani kegigihannya yang memang sangat gigih menelurkan banyak cerpen-cerpen bermutu. Yang sedang saya "tafakuri" saat ini-tepatnya beberapa tahun terakhir-adalah fenomena keringnya kualitas cerpen-cerpen yang dilahirkan penulis Sumatra Barat untuk koran di daerah sendiri. Bahkan yang lebih kering lagi, adalah minimnya kritik sastra untuk cerpen-cerpen yang muncul di sejumlah koran terbitan Padang.

Saat ini, setidaknya ada tiga koran harian di Padang yang menyediakan rubrik Seni dan Budaya dengan kolom cerpen "serius"nya. Saya katakan serius karena ketiga koran itu memang serius menampilkan cerpen-cerpen bernilai sastra. Koran-koran tersebut adalah harian Singalang, Padang Ekspres dan Haluan. Singgalang sepengetahuan saya sudah cukup lama memberi kesempatan kepada penulis-penulis Sumbar, khususnya kalangan muda untuk menulis cerpen-cerpen serius. Padang Ekspres sebagai koran yang masih berusia muda di daerah ini juga memberi kesempatan yang sama. Haluan sendiri, yang sebulan belakangan merubah formatnya menjadi 16 halaman, baru memulai membuka kolom cerpen serius untuk pembacanya, khususnya pada edisi Haluan Minggu. Sebelumnya, Haluan masih fokus pada cerpen-cerpen bertema anak dan remaja.

Dari ketiga koran harian yang terbit di Padang sebagai pusat Provinsi Sumatra Barat itu, sejumlah nama cerpenis muncul dengan gaya penulisan masing-masing. Sekedar menyebut nama, ada Yetty AK, Sondri BS, Anwar Thahar, Agus Hernawan, Ade F Dira (Ragdi F Daye-pen), Yonda Sisko, Yung Ster Twin, dari generasi terakhir. Nama lain-tanpa mempedulikan generasi-Gus tf Sakai, Yusrizal KW, Iyut Fitra, Upita Agustin, Nita Arifin, Syarifuddin Arifin, Abrar Khairul Ikhirma, Inriani, Asril Koto, Eddy Pranata, Edy Sumanto, Dasril Achmad, Irmansyah Ucok, Alwi Karmena, Pinto Janir, Andri Sandra, Yusril Katil, Yulizar Nassa, Prel T, Free Hearty, Sastri Yunizarni Bakri, Luzi D, Maifirizal, Eddie MNS Soemanto, Zurianti, M. Isa Geutama, Rudi Rusli, Yusril Ardanis, Iggoy el Fitra serta sejumlah nama lainnya.

Belum tersebut siapa kritikus sastra Sumbar hari ini yang dapat diandalkan. Beberapa tahun belakangan, masih terlihat produktivitas Prof. Hasanuddin WS dan Ivan Adilla di media, sebagai dua nama di antara sedikit nama-nama krirtikus yang ada di Sumbar. Sebelumnya, ada almarhum Prof. Mursal Esten dan AA Navis yang sudah mendahului kita semua. Selain nama-nama itu, tak ada lagi generasi baru yang muncul.Mereka, menurut cerpenis Khairul Jasmi, adalah orang-orang yang memberi warna pada konfigurasi dunia sastra di Padang saat ini. Namun, menurut saya, sebagian di antara nama-nama yang tersebut itu masih sangat diharapkan produktivitasnya untuk secara rutinitas mempublikasikan karya-karya mereka di koran terbitan Padang yang hari ini "merindukan" karya-karya mereka. Tentunya, dengan harapan ada munculnya kritikus-kritikus baru untuk mengkritik karya-karya mereka pula.

Kurang produktifnya cerpenis-cerpenis Sumbar di "kampoeng" sendiri, menurut hemat saya, karena masih rendahnya penghargaan koran terhadap karya-karya mereka. Penghargaan yang saya maksud, mungkin secara finansial sebagai input "kerja keras" mereka. Melalui esai ini, saya merasa risih menyebut berapa jumlah honor yang akan diterima penulis untuk setiap cerpen yang dipublikasikan di koran bersangkutan. Artinya, honor untuk cerpenis Sumatra Barat di daerah sendiri masih sangat rendah.

Maka tak heran, kalau saya melihat bahwa koran-koran di Padang hanya sekedar "batu loncatan" saja, khususnya bagi para penulis pemula. Target mereka adalah koran-koran Jakarta yang tampaknya telah menjadi kiblat, meski sejujurnya sering kali tak terpanjat. Beberapa orang yang saya cermati berhasil menembus "dinding" yang tinggi itu, adalah Wisran Hadi, Harris Effendi Thahar, Darman Moenir, Gus tf Sakai, Yusrizal KW, Ode Barta Ananda (alm.), Asril Koto, Iyut Fitra, Heren Yahya, Khairul Jasmi, Agus Hernawan, Yusril Ardanis, Yetty AK, Ragdi F Daye, dan sedikit nama lainnya. Mereka berhasil menerbitkan sejumlah cerpen terbaik mereka di koran-koran Jakarta, seperti Kompas, Republika, Media Indonesia, Koran Tempo dan sejumlah media cetak lainnya.

Jelas saja, sudah menjadi tradisi bagi cerpenis Sumbar untuk berlomba-lomba mengirimkan karya mereka ke koran-koran Jakarta. Selain untuk sebuah prestise, prestasi, dan tentu juga "pitih". Tak tanggung-tanggung, koran Jakarta memang sangat mengharagai karya-karya penulis daerah yang mampu memenangkan kompetisi. Honor yang akan diterima cerpenis yang karya mereka lolos sensor meja redaktur budaya, ratusan ribu rupiah jumlahnya. Cukup menggiurkan, lebih dari sekedar untuk mengganti ongkos cetak dan ongkos kirim, bung! Maka, semakin menghilangkan satu demi satu penulis-penulis Sumatra Barat yang selama ini memang memanfaatkan koran-koran Padang sebagai batu loncatan saja. Karena kehilangan penulis-penulis produktif itu pula, redaktur budaya sering kewalahan akan menerbitkan cerpen siapa. Maka bercampurbaurlah antara cerpen-cerpen yang berkualitas rendah dengan cerpen-cerpen yang sedang berupaya mencari jati diri kepenulisannya. Sebab kelangkaan karya bermutu itu pula, tak ada lagi yang berminat mengkritik cerpen-cerpen yang muncul hampir setiap pekannya itu.

Sampai saat ini, belum ada nama kritikus baru yang terlihat di koran-koran terbitan Padang. Bahkan yang ironisnya, mahasiswa jurusan sastra, baik di Universitas Negeri Padang maupun Universitas Andalas masih belum tampak secara konsisten menulis. Satu dua muncul, satu dua pula yang menghilang. Tapi mau apa lagi. Itulah fenomena berkesusateraan yang terjadi di Sumatra Barat hari ini. Media semakin banyak, namun cerpen-cerpen bermutu semakin langka. Tak ada lagi karya yang bisa menandingi--atau setidaknya sama-dengan cerpen "Robohnya Surau Kami" karya AA Navis yang cukup fenomenal itu.Memang, kata orang-orang tua kita dahulu, setiap zaman selalu meninggalkan sejarahnya. Dalam sejarah tiap-tiap zaman itu pula, muncul tokoh-tokoh penulis yang mengukir sejarah baru.

Tak kecuali para cerpenis dan para kritikusnya. Sudarmoko, kritikus muda Indonesia hari ini, dalam esainya di harian Kompas berjudul "Menimbang Kembali Kondisi Kritik Sastra Kita" menulis, "kondisi kritik sastra yang berorientasi pada keilmuan dan kebutuhan sastra saat ini masih terus diliputi tanda tanya. Kritik sastra belum mengarah pada usaha yang maksimal. Setidaknya, melihat kondisi yang ada, seharusnya kondisi kritik sastra dapat lebih baik dari hari ini...." (Kompas, 24 Juli 2005).Ada benarnya harapan Sudarmoko itu. Namun, tidak maksimalnya usaha kritikus-kritikus sastra hari ini, faktor penyebabnya tidak lain "kemalasan" mengkritik karya sastra yang belum menunjukkan mutu sebenarnya. Dan, saya rasa, kualitas sebuah cerpen akan menentukan kualitas kritik yang dihasilkan para kritikusnya. ***

* Tulisan ini dikutip dari: www.kabariindonesia.com edisi 19 Agustus 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar