Kamis, 29 September 2016

TABUIK DI PADANG KARBALA Puisi Abrar Khairul Ikhirma



Arakan Tabuik Pasa "Maambiak Tanah"

Di satu Muharam lelaki menyelam sungai.
Menggenggam pasir dari dasar waktu, yang hadir bersamamu.
Pertanda dikenang engkau kembali, di abad yang sudah lalu

Sebatang tebu yang ringkih sebatang pisang putih,
dalam lingkar orang-orang tercengang berdebar:

Pedang panjang terhunus tajam berkilat,
sekali tebas mengayun kematian terdahulu.
Penggal kepala penggal hidup, tinggalkan dunia.
Cinta hadir mengalir anyir darah tak sudah kepadamu.

Serentak bangkitkan takbir perlawanan 
kezaliman manusia atas manusia:
Hasan! Hosen!
kami berseru!
kami menyerbu!

Batang-batang bambu kini ditegakkan di halaman sejarah pilu.
Tangan yang lincah menganyam bilah-bilah rotan mengukir rambu-rambu.
Bungo salapan terkulai tak patah, burak hitam tegak gagah, rumah itu tak sunyi hari.
Sepanjang siang sepanjang malam engkau hadir bersama kami.
Di sini wahai para cucu Nabi.

Kezaliman zaman tak akan abadi
kami datang!
kami serang!

Lihatlah, orang-orang telah habis meratap di kubur halaman rumah.
Airmata itu menyayat sembilu di bilah-bilah waktu.
Tempat merangkai tekad tak sudah tegakkan jalan Allah.
Sayat menyayat, hilang timbul, kasih bergelombang bersama ombak,
hilang datang lawan berlawan, kami berseru:

Fissabilillah....!

Kematian itu, wahai..., melebur atas embun yang gugur.
Lihatlah, panja telah di arak berkeliling.
Jari jemari, tulang belulang di atas dulang.
Tabuik lenong berlenong-lenong!
Perang segera terjadi bagimu!
Kezaliman. Angkara murka.
Nafsu manusia.

Sebelum fajar bersambut pagi, keranda naik pangkat, naik ke puncak haribaan-Nya.
Burak bersangga tiang, sayap terkepak dua sisi, bungo salapan dan puncak menjulang langit. Kematian bukan rasa haru tapi darah menderu sederap untuk maju.

Padang Karbala, arak yang berduyun.
Lengang itu menjadi ramai.
Bertemu Tabuik Pasa kambang bulu, Tabuik Subarang patah pinggang! Hoyak!
Tengah hari tegak, matahari membakar amarah. Hoyak!
Gandang tasa berdentam-dentam, jiwa perkasa masa silam. Hoyak!

Hoyak!
Hoyak!
Hoyak!

Sesudahnya, persengketaan itu dibuang ke laut bersama senja:
“Kematian itu wahai saudaraku, tak seabadi duka yang panjang bersamamu.”

* Pariaman, 1 Muharram 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar