Sebelum aku mencapai Sungai Batang
dan Sigiran, selama itu yang ada dalam anggapan hanyalah Masjid Bayua saja,
masjid tua yang ada di tepian Danau Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatera Barat
ini. Ternyata tidak.
Walau pun dalam banyak kesempatan aku mendatangi kawasan
Danau Maninjau, aku belum pernah mencapai Nagari Sungai Batang dan Sigiran.
Padahal dua nama daerah itu sangat kukenali karena berkait dengan nama tokoh
yang tercatat dalam perjalanan sejarah pengembangan Islam dan kesastraan.
Di Nagari Sungai Batang, adalah kampung kelahiran dan
bermakamnya Haji Rasul, ayahanda dari Buya Hamka. Di Sungai Batang juga adalah
kampung kelahiran Buya Hamka dan kini rumah kelahirannya dijadikan sebagai
Museum Buya Hamka. Ramai dikunjungi wisatawan silih berganti sepanjang tahun.
Sedangkan Sigiran adalah kampung halaman kelahiran Leon
Agusta, penyair Indonesia yang dikenali dengan sajak podium dan sajak kamarnya.
Leon Agusta, yang biasa kami panggil abang ini, sampai akhir
hayatnya cukup dekat dengan berbagai kalangan, terutama seniman-seniman
generasi beberapa tahun terakhir ini. Meskipun beliau menetap di Jakarta, abang
Leon secara berkala selalu menyempatkan dirinya untuk pulang kampung. Setiap
pulang, beliau selalu menyediakan waktunya berkumpul dengan seniman yang berada
di Kota Padang dan sekitarnya.
Ketika pertamakali sendirian hendak mengunjungi Museum Buya
Hamka, setelah menempuh jalan dengan pemandangan yang indah dan berkesan
bagiku, aku terhenti melihat sebuah bangunan masjid tua, berikut arsitekturnya
yang menarik.
Tahulah aku saat itu bahwa selain Masjid Bayua, masih ada
masjid tua lagi yang berada di tepian Danau Maninjau ini.
Masjid ini bernama Masjid Ummil Qura, sesuai yang tertulis
di atas papan nama yang digantung di salah satu sisi masjid. Terletak sebelum
mencapai Museum Hamka. Tepatnya di Desa Bancah, Maninjau. Kebetulan bertemu
dengan seorang tua di depan masjid, yang kupastikan beliau adalah penduduk
setempat, aku menanyakan apa artinya Ummil Qura. Kata bapak itu, Ummil Qura
adalah bahasa Arap. Artinya Ibu Negeri atau Pusat Nagari.
Bangunan masjid sungguh unik. Apalagi dibandingkan dengan
masa kini, bangunan baru masjid dimana-mana arsitekturnya berbau Timur Tengah. Atap
Masjid Ummil Qura tersusun empat tingkat, tampak seperti pagoda. Di atasnya
masih ada 2 tingkat lainnya yang berbentuk payung. Di ujung atap yang berbentuk
seperti payung tersebut terdapat bulatan–bulatan seperti tusuk sate dengan
hiasan berbentuk bulan sabit.
Ciri khas masjid atau pun surau dari masa lalu di berbagai
tempat di Ranah Minangkabau, masjid dan surau selalu memiliki kolam, berisi
ikan peliharaan. Membuktikan fungsi masjid tidak hanya sekadar tempat beribadah
tapi merupakan aktivitas masyarakat, mandi, mencuci dan mengambil kebutuhan air
bersih.
Masjid Ummil Qura dibangun pada tahun 1907. Sampai kini
masih tetap digunakan untuk kegiatan keagamaan bagi masyarakat. Bangunan masjid
masih sama seperti saat dibangun. Masih
terawat dengan baik (*) copyright: abrar khairul ikhirma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar