Sjafrial Arifin
dimasa mudanya menggemari dunia music. Ia menyukai memainkan alat music drum
tapi kemudian lebih sering bermain gitar dalam kesehariannya kala waktu
senggang. Banyak orang mengenalnya sebagai seorang wartawan, padahal di era
tahun 1970-an dia bergiat pada dunia sastra dan pernah menerbitkan buku
kumpulan puisi berjudul, “Ombak Purus.”
Untuk satu masa, ketika periodeku menjadi salah seorang seniman
lusuh di Kota Padang, aku pernah hidup bersamanya berbulan-bulan di satu kamar Inna Muara Hotel, Padang, mengerjakan
proyek sebuah buku berskala nasional, yang menjadi proyek Departemen Dalam
Negeri dan Departemen Penerangan. Kamar itu sudah menjadi rumah kami.
Kedekatan yang cukup lama itu, mengherankan adik-adiknya,
aku bisa cocok dengan seorang yang "tegas" dan
"temperamental." Sebenarnya berurusan dengannya, bagiku tak masalah.
Ia tidak suka buku-bukunya dan barang lainnya diganggu, apalagi diambil.
Jangankan dipegang, bergeser saja bisa bermasalah tanpa setahu dia. Bisa
berdendam seumur hidup.
Konon ada sejumlah orang takut padanya, karena urusan buku.
Dicoretnya untuk mendekati "hartanya." Aku orang yang beruntung. Pernah
dipercayanya. Aku cukup lama dekat dengannya tanpa ada masalah. Di balik kesan
angkuhnya, uda Sjafrial, begitu kami memanggilnya, sebenarnya sangat respek
pada orang-orang yang bergiat dan kreatif.
KRITIKUS SASTRA INDONESIA, HB JASSIN BERSAMA PENYAIR MUDA DARI SUMATERA BARAT DARMAN MOENIR, HAMID JABBAR DAN SJAFRIAL ARIFIN DI TAMAN ISMAIL MARZUKI JAKARTA |
Dia tak pernah melarang orang membaca buku-buku yang
dimilikinya. Tetapi ia sangat tak suka pada orang ketika selesai membaca
bukunya, meletakkan sembarangan atau tidak mengembalikan kala meminjamnya. Atau
mengembalikan tapi sudah dalam keadaan dicoret-coret, lusuh dan rusak.
Perkaranya adalah soal menghargai dan bertanggungjawab. Inilah yang kerap sulit
ditemuinya. Sehingga dia diantara teman-temannya dianggap keras. Orang yang
sulit untuk dijadikan teman.
Dia memang berharta banyak. Harta itu ialah buku-buku dan
bacaan lain tak sekadar buku. Buku intelektual, sastra, jurnalis, budaya,
politik, film, bukan main banyak dimilikinya. Sjafrial sejak mudanya salah
seorang yang “gila” membaca dan ia mau berhabis uang untuk mendapatkan buku dan
bahan bacaan lainnya.
Bukunya sampai berkarung-karung jumlahnya, kala dibawa pulang
dari Jakarta ke Padang. Itupun masih banyak yang belum sempat dibawa. Sewaktu kawasan
Paseban terbakar dan api dikabarkan lama dapat dipadamkan, aku pernah berkata
padanya, jangan-jangan itu gara-gara bukunya tak sempat dibawa pulang. Dia
terakhir di Jakarta mengontrak rumah di Paseban.
Aku sudah lama mengenal namanya. Sjafrial Arifin secara
rutin mengirimkan berita dari Jakarta untuk suratkabar Harian Singgalang,
Padang. Terutama berita seputar artis music dan film. Masa itu ia memang
dikenal bergaul dalam kehidupan banyak kalangan music dan film di ibukota.
Mengenal langsung barulah ketika Kemah Seniman yang diadakan BKKNI Sumbar di Ngarai Sianok
Bukittinggi tahun 1985. Sjafrial Arifin datang disuatu malam bersama Hasril Chaniago dan teman-teman dari
Balai Wartawan Bukittinggi. Sjafrial
terakhir itu adalah wartawan Majalah Zaman, kelompok Majalah Berita Mingguan
Tempo Jakarta.
Tahun 1985 itu Sjafrial pulang kampung. Kemudian bekerja di
suratkabar Harian Singgalang Padang. Dengan sendirinya, terjadi era pembaharuan
tata bentuk wajah serta format isi. Termasuk terjadi gelombang semangat
generasi muda di kalangan regenerasi suratkabar daerah tersebut.
Tetapi kemudian akhirnya dia meninggalkan dunia jurnalistik.
Panggilan jiwa seninya tetap suatu dunia yang dirasakannya membuatnya lebih
nyaman. Disaat masih bekerja di Harian Singgalang ia memulai membangun
komunitas Teater Jenjang. Memulai menggarap “La Cum Parsita Night” acara akhir
tahun di Hotel Muara Padang. Lalu, Opera si Padang.”
Semasa dunia perteateran lagi tumbuh subur di Taman Ismail
Marzuki dan Gelanggang Remaja di Jakarta, Sjafrial Arifin pernah tercatat
mendirikan group teater bersama wartawan, penulis dan penyair, A.Chaniago Hr.
Ketika TVRI Pusat datang dari Jakarta menggarap shooting
sinema elektronik (sinetron) Siti
Noerbaya dan Sengsara Membawa Nikmat, Sjafrial pun diajak serta dalam
produksi ini. Pada masa ini sebahagian besar perhatian masyarakat Indonesia
“tertuju” tontonannya ke TVRI. Apalagi TVRI mulai memperkenalkan program
sinetron. Apalagi Siti Noerbaya dan Sengsara Membawa Nikmat diangkat kisahnya
dari karya sastra, yang sudah sangat popular.
Pada film mini seri 20 episode Sengsara Membawa Nikmat,
tahun 1991, yang dibintangi oleh Sandy Nayoan dan Desi Ratnasari, Sjafrial
kebahagian peran membawa tokoh “Midun” yang ditangkap untuk dijebloskan masuk
penjara. Di atas kereta, Sjafrial melepaskan borgol tangan Midun dan mengatakan
agar dia tidak lari, “Bisa tangga sarawa
den,” katanya. Merupakan pameo sehari-hari orang Minang, jika terjadi
sesuatu, akibatnya ibarat celana yang terpasang di tubuh bisa “copot” sebagai
suatu resiko yang harus ditanggungkan.
WAWANCARA DRS DASRIL AHMAD DENGAN SJAFRIAL ARIFIN SEKITAR PEMBERIAN NAMA TAMAN BUDAYA SUMATERA BARAT |
Lama kemudian berada di kampung, Sjafrial Arifin akhirnya
memutuskan untuk kembali merantau ke Jakarta. Maka hilang pulalah salah satu
kantung berkesenian di sudut keramaian Pasar Raya Padang, tepatnya di kawasan
Los Baro dekat Blok A. Dimana sejumlah seniman-seniman pernah bergabung di sini
antara lain, Sofia Trisni, Hermawan An,
Asril Koto, Syarifuddin Arifin dan Padrizas Polong. Sjafrial Arifin pun
memutuskan menikah dengan Sofia Trisni, penyair wanita yang muncul di zaman
pertengahan tahun 1970-an.
Dia mungkin agak kecil hati padaku, aku tidak mau bergabung
dengan sanggar yang didirikannya Teater Jenjang Padang. Mendadak saja tak
pernah bertemu dengannya lagi. Setelah aku kembali dengan kesibukanku sendiri. Saat
itu ia beraktifkan diri dengan kelompok seninya dan aku dengan kesibukanku pula.
Sampai satu kali, ia kesal padaku, aku tak menyebut nama
sanggarnya, di dalam suatu tulisanku sekitar dunia pertunjukan seni di daerah yang
dimuat suratkabar terbitan Padang. Aku tak mau berdebat dengannya. Karena
tulisan itu sendiri tidak memfokus pada nama-nama group.
Itulah terakhir aku berjumpa dengan Sjafrial Arifin. Sampai
ia kembali merantau ke Jakarta.
Kamis 14 Januari 2016, pada pkl 18.00 wib, aku mendapat
kabar uda Sjafrial Arifin, wartawan, penyair dan pendiri Teater Jenjang
Padang, wafat di Jakarta. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Beliau kakak dari
penyair Syarifuddin Arifin, wartawan Bachrum Rony Arifin dan Zulkarnaini
Arifin. Dan Bahar Arifin.
Selamat
Jalan Da Cap.
Ombak Purus
yang terus terdengar (*) copyright: abrar khairul ikhirma
Beliau adalah kakak ku ,anak paman ku yang disebut orng minang anak pisang ..
BalasHapus