Sungai Bengkulu, alirannya jauh ke
hulu. Alirannya melintasi pusat kota dan pemukiman. Dengan adanya sebuah
jembatan yang dibangun, lintasan dari sarana jalan pesisir pantai, kawasan
muara sungai mudah dicapai setiap orang, bila hendak menatap alam yang lapang.
Memandang dari salahsatu sisi Samudera Hindia.
BUNGA LIAR, bunga semak-belukar
di tepi sungai, sedang bermekaran. Warnanya yang merah sungguh indah diantara
kehijauan. Warna merah jambu. Mengingatkan perlambang cinta memabukkan, api
asmara yang bergelora.
Saat ini lagi musin angin
tenggara. Bagi nelayan dan mereka yang mengandalkan hidup di laut, ini adalah
musim dengan cuaca yang buruk. Penangkap-penangkap ikan yang bermukim di
pesisir pantai Bengkulu, enggan turun melaut. Kalaupun ada dengan keberanian,
sering pulang ke pelabuhan dengan tangan hampa.
Aku menikmati bunga rumput dan
bunga semak belukar di kawasan muara. Tumbuh di salah satu sisi sungai yang ke
darat. Tidakkah ini suatu pemandangan yang indah tanpa harus dipungut bayaran?
Kekayaan alam kita, yang bagi banyak orang seringkali dimusnahkan karena tak
ada aturan dan kesadaran.
INI PAGI berikutnya. Aku kembali
berada di ujung aliran Sungai Bengkulu. Alirannya tenang. Seakan tak ada arus
mendorong dari hulu, untuk menyesak dengan cepat, melepas diri ke laut, melalui
pintu muara sungai.
Dengan ketenangan itu, justru
menimbulkan suatu bayangan misteri bagi mereka yang bukan penduduk setempat.
Tapi kawasan ini sendiri masih dalam keadaan baik. Belum ada bangunan-bangunan
menyesak, manusia-manusia yang bermukim berebut tanah tanpa ada lahan tersisa.
Sebuah kapal tonda terlihat
bagiku. Kapal yang tampaknya baru saja selesai dibuat dan diturunkan ke dalam
air. Selain itu, tak ada kapal atau perahu berada sejauh mata memandang dalam
muara sungai. Agak ke hulu, mendekat arah ke jembatan beton, beberapa tahun
lalu, saat aku mendatangi tempat ini, ramai masyarakat melakukan penambangan
batu bara dari dalam sungai.
Di beberapa titik saat menyusuri
tepian sungai ujung muara ini, aku masih melihat ada karung-karung di dalam
semak belukar, berisi batu bara. Lalu berserakan batu bara yang tidak berupa
bongkahan, menyatu dengan tanah. Mengubah lokasinya menjadi hitam.
Deru mesin dan biduk-biduk
penambang batubara tak terdengar. Yang ada hanya sunyi. Pekerja-pekerja tambang
pun tak terlihat pada pagi ini. Kawasan ini menjadi sepi manusia. Kecuali
kendaraan yang melintas dan sepeda motor dengan deru knalpotnya yang
menyakitkan.
Aku tak memiliki keberanian,
karena hanya sendirian untuk mendekati tepi sungai lebih dekat lagi. Aku hanya
mengitari pandangan dari badan jalan yang beraspal di sisi tepi sungai.
DIPERKIRAKAN ada lebih kurang 200
meter, sisi sungai arah laut, tidaklah merupakan bantaran sungai di ujung muara
ini. Hanya terbentuk dari sendimentasi, membuat aliran sungai terlebih dahulu
menyisir laut, sebelum akhirnya keluar dari pintu muara.
Lebar pasir yang sudah membentuk
berupa tanggul itu, hanya kira-kira 10-15 meter saja dari sungai dan laut.
Bentukan di ujung muara yang masih alami dan tidak dirusak dengan betonisasi,
dimana banyak muara sungai dalam beberapa tahun ini, dijadikan tempat
menggelontorkan uang Negara dengan alas an normalisasi sungai. Menghabiskan
dana Negara dan merusak bentukan alam yang berubah-rubah.
Kita tak mengetahui, sampai
berapa lama Muara Sungai Bengkulu ini dapat bertahan dengan muara sungai yang
natural. Tanpa harus disentuh proyek dan betonisasi yang menjemukan.
ALAM yang lapang. Pandangan mata
tak bertumbuk. Cahaya matahari bebas menyinarinya dengan kehangatan. Apa yang
lebih dari anugerah alam kedamaian, diperuntukkan untuk manusia dan
kehidupannya dari Yang Maha Kuasa?
Ini adalah pagi berikutnya,
setelah pagi-pagi sebelumnya. Aku berada di sini, di kawasan ujung Sungai
Bengkulu, kawasan muara sungai. Sendiri.
Setelah puas melemparkan pandang
ke arah laut seakan menjauh itu, memandang arah daratan dari tepian sungai.
Alam yang lapang. Bersih tak ada bangunan yang kerap muncul menjadi dinding.
Pada umumnya dapat dilihat di berbagai tempat, view-view yang seharusnya dapat
dinikmati oleh banyak orang, sudah dirampok manusia dan bangunan.
Memperlihatkan penataan kota yang tak memiliki konsep yang jelas dan kebijakan
kepemimpinan tak berpihak pada lingkungan hidup. Sehingga tiap hal menjadi raja
dan pembenaran.
Di sini, antara laut dan sungai
memiliki sekat, sebuah jalan penghubung membatasi dengan daratan. Menurut
keterangan, kawasan muara sungai ini, disebut juga daerah yang termasuk Pasar
Bengkulu. Tidak jauh dari pusat kota (*)
Bengkulu 2017 - Copyright:
abrar khairul ikhirma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar