Masuk penginapan di Madinah awal
kedatangan sudah waktu dinihari. Sebelum subuh, aku sudah berada dalam Masjid
Nabawi untuk dapat bersholat Subuh. Paginya bersama rombongan kami “berziarah”
di Masjid Nabawi.
Apa yang kurasakan setelah bangun
tidur sebelum waktu subuh ? Aku mengalahkan rasa kantuk dan dingin yang selalu
menghantui hari-hariku selama ini! Mengantuk karena waktu tidur singkat. Dingin
karena kamar dan ruangan hotel berpendingin. Udara diluar pun dingin.
Kemenangan dan kekalahan itu
catatan awal dalam hikmahku sambil menuju ruang makan hotel. Memenangkan
pertarungan rasa kantuk, ditambah rasa dingin, aku kira hampir semua manusia
mengalaminya. Aku tidaklah manusia istimewa. Walau pun selama ini, aku
terbilang suka untuk terbangun di kala pagi hari.
Bangun pagi tidak tersebab oleh
pepatah umum, “kesiangan rezeki dipatok ayam.” Yang menunjuk kepada orang tak
berusaha untuk mendapat waktu awal, hingga rezeki yang semustinya dapat
diraihnya tidak diperoleh akibat hilangnya kesempatan.
Sedari kecil, kami semua sudah
diajar untuk bangun pagi oleh orangtua kami. Bersholat Subuh dan mengerjakan
tugas masing-masing sebelum berangkat sekolah. Bersholat wajib. Sedangkan
mengerjakan pekerjaan boleh tidak bekerja. Tetapi konsekuensinya, bila sepulang
sekolah sampai petanghari ada yang hendak dibeli, tidak akan dapat uang belanja
dari orangtua, diluar uang belanja waktu sekolah.
Apa alasannya? “Kamu tidak ikut
berusaha (bekerja), bagaimana kamu diberi uang. Kamu tak punya hak meminta,”
kata orangtua kami. Menangis meraung-raung dan berguling-guling di lantai
sampai ke tanah pun, orangtua kami tetap tidak akan beri uang satu sen pun.
Bagaimana waktu pagi diberi belanja sekolah? “Itu kewajiban kami sebagai
orangtua. Menyekolahkan anak dan memberinya belanja.”
Dapatkah dikatakan orangtua kami
adalah orang yang pelit? Sebab menurut kata orang kampung kami padaku dan
saudara-saudaraku, semustinya kami adalah anak-anak yang senang. Tidak perlu
ikut bekerja memupuk padi di sawah atau menggembala ternak sepanjang hari. Kami
orang kaya, “basawah laweh.” Artinya, kami memiliki lahan persawahan yang luas
dengan hasil padi yang berlimpah. Untuk menumbuk padi menjadi beras di musim
panen saja, kami memiliki mesin sendiri.
Orangtua laki-laki adalah Wali
Nagari. Memimpin wilayah yang luas, seluas wilayah kecamatan. Disegani dan
dihormati. Orangtua perempuan seorang guru yang menolak untuk berjabatan Kepala
Sekolah. Satu-satunya pemegang hak waris warisan keturunan kami. Semustinya, kami
anak-anaknya hanya bersekolah dan bermain tanpa dibebani oleh pekerjaan seperti
teman-teman sebaya kami semasa itu.
Kedua orangtua kami tak pernah
bosan berulang-ulang dalam berbagai kesempatan menyampaikan, bahwa semua garis
aturan yang ditetapkannya tidaklah untuk mengajar kami tapi bertujuan untuk
mendidik kami. Agar tahu untuk susah dan tahu untuk menghargai kesusahan.
Semasa kecillah dapat diberikan, kalau sudah besar (dewasa) tinggal menentukan
pilihan.
SAMIR ARABIAN, MUNTAWIF KAMI MENJELASKAN SEKILAS TENTANG MASJID NABAWI |
“Kalau mau dibentuk ketika masih
jadi rabuang ---rebung, kalau lah
jadi batuang ---bambu--- lah kareh.”
Artinya. Mendidik itu waktu kecil sampai masa remaja. Sudah dewasa tak masanya
lagi dididik, hanya akan hidup menjalani saja.
Bangun pagi sudah dibiasakan
sedari kecil. Karenanya, semalas-malasnya kebiasaan itu pastilah sangat
berpengaruh. Ada pekerjaan atau tidak, hal demikian terbawa ke dalam kehidupan
selepas kami semua menjadi dewasa. Bangun dari tidur. Mengalahkan rasa kantuk.
Kasur yang empuk adalah syaitan, bantal dan selimut tidur saudaranya syaitan,
menggoda untuk lelap sehingga terbangun ketika matahari sudah naik melampaui
pohon kelapa. Seperti istilah orang kampung kami waktu tidak pagi lagi.
Mengingatkanku, suatu kali di
masa laluku pernah bertamu ke satu rumah. Di atas meja ruang tamunya itu
tergeletak sebuah buku tebal bersampul hijau. Di kulit buku itu ditulis dengan
tinta emas. Tafsir Alquran. Aku pernah
menemui Surat Al Muzzammil yang
berarti Orang yang Berselimut dan
membaca tafsirnya saat itu.
Ketika aku hendak menuliskan
tulisan ini, yang bercerita perihal bangun pagi hari selama di Tanah Suci,
segera saja aku ingat surat Orang yang Berselimut yang pernah
kubaca itu. Surah ke 73 dalam Alquran. Al-Muzzammil.
Terdiri 20 ayat. Segera kucari buku tafsir. Membaca dan mengutipkannya dari ayat 1 sampai 8:
“Hai orang yang berselimut
(Muhammad), bangunlah untuk (untuk bersembahyang) di malam hari, kecuali
sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu
sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Alquran itu dengan
perlahan-lahan. Sesungguhnya kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang
berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu’)
dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu pada siang hari
mempunyai urusan yang panjang (banyak). “
Meskipun aku sudah mendatangi
Masjid Nabawi di waktu subuh, aku juga turut bersama rombongan menuju Masjid
Nabawi sesudah menikmati sarapan pagi di penginapan. Agenda biro perjalanan,
pagi itu kami dibawa berziarah ke masjid. Muntawif akan membantu kami,
menceritakan hal-hal penting tentang masjid dan keterkaitannya dengan
perjalanan sejarah Islam, yang cepat kami pahami dan cerna dalam ingatan.
Perasaan senang saja saat itu.
Udara dingin yang dihembuskan dari gurun pasir, bersambut dengan cahaya
matahari yang terang. Langit sedikitpun tak bermuram hati. Wajah-wajah yang
terpandang olehku penuh cahaya. Seakan berlepas diri dari kehidupan duniawi. Di
sini wajah itu menjadi runduk, bersujud, menyerah kepada keinginan untuk
melaksanakan ibadah. Sepanjang hari memohon ampunan dan mengharapkan rahmat
hidayah dari Allah.
Waktu pagi dan cahaya matahari
adalah diperuntukkan untuk manusia memulai kehidupan dikala siang hari sampai
petang bersambut Maghrib. Semuanya saling bergegas bangun dari tidur di waktu
subuh, berjalan menuju satu titik dari tiap penginapan ke Masjid Nabawi. Ingin
mendapatkan saf terdepan. Ingin segera bersujud memohon ampunan. Berharap
diberikan petunjuk dan hidayah.
Pagi yang tentram dan sinar
matahari di atas langit Madinah adalah rahmat, seakan beramai-ramai manusia
dari berbagai Negara ingin merebutnya dari tangan Tuhan. Mereka para jamaah
silih berganti berdatangan ke Masjid Nabawi. Berusaha. Berusaha. Berusaha
mendekatkan diri sebab tanpa mengenal diri tak akan mengenal Allah. Hanya hamba
Allah yang semakin mengenal dirinya, semakin dekatlah amal ibadahnya kepada
Allah. Subhanallah…
Sampai dalam masjid, aku bersholat
sunat. Pada salahsatu bentangan sajadah yang panjang, diantara tiang-tiang
kokoh, berjajar dengan rapi. Bersama dengan jamaah-jamaah lainnya. Tak pernah
terpikirkan berapakah jumlah tiang penyangga atap bangunan. Berapa lorong yang
ada. Lorong mana saja yang kulalui.
Lorong yang manakah kulalui saat datang dan
lorong manakah kutempuh untuk keluar. Berapa jumlah lampu penerang di
langit-langit masjid, menyala tak pernah dibiarkan bergelap. Sungguh tak
terpikirkan hal itu bagiku sampai meninggalkan Madinah. Apalagi tak berbilang
kebesaran Allah yang diberikan pada semua makhluk, apa-apa yang dibutuhkan
manusia untuk hidup dan kehidupannya.
Selesai bersholat sunat Muntawif
memimpin kami untuk mengucapkan salam kepada Rasulullah dan berdo’a. Terasa
sejuk. Ia kemudian menyampaikan sejumlah perihal Masjid Nabawi secara ringkas.
Lalu kami bergabung dengan jamah-jamaah lainnya, yang ingin masuk Raudlah.
Raudlah atau disebut juga dengan al-Rawdah, adalah “Taman Sorga.” Terletak
diantara mimbar dan makam Rasulullah. Dimana do’a-do’a dikabulkan Allah.
Mimbar Masjid Nabawi yang asli yang digunakan Rasulullah, sudah
diganti. Menurut keterangan, mimbar asli Nabi Muhammad tersebut hanyalah
terbuat dari "balok kayu kurma". Mimbar ini berdimensi 50 sentimeter
(0.50 m) x 125 meter (410 ft).
Disebutkan bahwa pada tahun 629,
tiga anak tangga ditambahkan pada mimbar. Kalifah pertama, Abu Bakar dan Umar,
tidak menggunakan anak tangga ketiga "karena mengikuti Sunnah".
Sedangkan Khalifah ketiga, Ustman menempatkan sebuah kubah kain di atasnya dan
kursi yang terbuat dari eboni.
Kemudian mimbar itu dipindahkan oleh Baybars I pada tahun 1395. Kemudian oleh
Sheikh al-Mahmudi pada tahun 1417. Juga dipindahkan lagi oleh Qaitbay pada
akhir abad ke lima belas. Pada Agustus 2013 tidak lagi digunakan dalam masjid.
Terdapat dua mihrab dalam Masjid
Nabawi, satu dibangun Nabi Muhammad dan yang lainnya dibangun oleh Khulafaur
Rasyidin ketiga Utsman. Disamping mihrab, masjid juga memiliki tempat
suci lain, yang mengindikasikan sebagai tempat salat. Termasuk mihrab
al-tahajjud yang dibangun oleh Muhammad untuk tahajjud, mihrab
Fatimah.
Lama juga aku bersama rombongan
berada dalam Masjid Nabawi. Disela-sela semua itu, aku usahakan aku tetap
menyebut nama Allah dalam hatiku. Aku dan juga yang lainnya memilih pintu
keluar, mengikuti lajur yang terdapat di depan peristirahatan terakhir Nabi
Muhammad, Khalifah Rasyidin Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Ketiga makam
terletak di dalam masjid, berdampingan dengan Mimbar.
Sekeluar dari dalam Masjid
Nabawi, kami menggunakan waktu mengelilingi masjid, dengan pelataran yang luas
dan bersih. Cahaya matahari dirasakan tidak panas, karena udara dingin
meredupkannya untuk membakar kulit. Antara panas dan sejuk hampir tak pernah
kupikirkan sebagai suatu masalah yang pelik saat ini.
Berjalan sambil menyebut nama
Allah, aku memperhatikan lalu lalang jamaah, kedamaian kelompok-kelompok jamaah
bersantai, khusu’ membaca Alquran yang tergenggam di tangan. Lalu di sana-sini
terlihat tak puas-puasnya mengabadikan diri di Masjid Nabawi dengan camera
ponsel. Pemandangan yang tak membosankanku ialah, bagaimana pekerja-pekerja
kebersihan Masjid Nabawi tak henti-hentinya disibukkan oleh pekerjaannya.
KAKAK SULUNGKU IRVAN KHAIRUL ANANDA BERSAMA KETUA ROMBONGAN DARI SIAR TOUR MEDAN BERSAMA M. AZMI NASUTION DI MASJID NABAWI |
Yang bekerja dan beribadah.
Tidakkah ini menyentakkan pikiran kita? Hikmah bagiku! Bagaimana kita hanya
tenggelam dalam ibadah tanpa melakukan pekerjaan dalam hidup ini? Atau
sebaliknya, hanya diperbudak pekerjaan tapi hampir tak memiliki nilai ibadah.
Suatu hal yang tak muskil dilakukan manusia mukmin yakni, melakukan pekerjaan
tetapi pekerjaan itu sendiri merupakan ibadah. Tentulah akan menjadi
pertimbangan kelak nantinya perihal amal perbuatan.
Maka aku pun teringat akan
tragedi Garin yang dicimeeh Ajo Sidi dalam cerita pendek sastrawan Engku A.A. Navis, “Robohnya Surau Kami.” Ketika Garin tergoncang pada
hidupnya, karena dikatakan hanya menghabiskan umurnya semata-mata di surau.
Mengasahkan pisau, parang dan sabit orang kampong. Diberi wang alakadarnya dan
belas kasihan diantar makanan oleh satu dua ibu-ibu yang bersedekah
sewaktu-waktu.
Kerja. Kerja. Kerja.
Salahkah seruan itu disampaikan?
Hanya seruan untuk menuju kebajikan pada semua orang. Tidak berbatas kepada
keyakinan dan kepercayaan. Tidak karena berpihak. Tapi itulah seruan akhirnya
bagi segelintir diantaranya menjadi bahan untuk diperolok-olokkan. Seakan bekerja
hanya berarti verbal. Padahal pada setiap kerja terdapat hikmah berusaha.
Bagiku, manusia memang tidaklah ada yang sempurna tapi menuju kesempurnaan
adalah suatu kewajiban.
Karenanya aku datang ke Tanah
Suci ini ya Allah, agar aku dapat memperbaiki hidupku dan berusaha untuk
menyempurnakan ibadahku. Kurebut hikmah pagi dari tangan kemahabesaranMu ya
Allah! Izinkanlah aku kerja dalam mengusahakan hidup, untuk memperbaiki menuju
jalan Yang Diridhoi. Amin (*) copyright: abrar khairul ikhirma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar