Gunung Jerai. Nama indah dan melekat
dalam ingatan. Aku tak mengetahui apakah artinya Jerai dalam bahasa setempat.
Tidak tahu arti nama tidaklah mengurangi hasrat untuk menulisnya perihal
kunjunganku pada gunung yang terdapat di Negeri Kedah Darul Aman, di utara Malaysia
ini.
Berangkat dari Sintok-Kedah dengan dua
tujuan. Mula berangkat cuaca sungguh mendebarkan hati, seakan tak sempurna
menikmati sepanjang jalan dan sampai tujuan dalam situasi hujan. Aku pun merasa
sia-sia tak dapat memotret, mendokumentasikan apa yang kutemui.
Kiranya separoh jalan hari hujan menjadi
terang. Bahkan cahayanya terasa panas terik. Membuat rasa panas melekat ke
tubuh. Benar juga kata pepatah, jangan disangka hujan sampai petang, di tengah
hari, hari jadi panas garang.
Gunung Jerai dikunjungi setelah
berkunjung ke Lembah Bujang. Jaraknya berjauhan. Tapi sarana jalan yang
menghubungkan dalam keadaan baik. Sehingga jarak tempuh yang jauh dapat
dipersingkat. Lembah Bujang terletak di pegunungan, di dalam perkebunan sawit,
dimana ditetapkan sebagai kawasan Museum Arkeologi.
Gunung Jerai dikenal juga oleh
masyarakat Kedah sebagai Puncak Kedah. Gunung setinggi 2.107 meter ini terletak
diantara daerah Kuala Muda dengan Yan, Kedah Darul Aman. Daerah-daerah
sepanjang pesisiran Selat Melaka.
Gunung Jerai sendiri menjulur sampai
ke daerah yang dinamakan sebagai Tanjung Jaga yang berada di pinggir laut Selat
Melaka. Bagi pelaut yang melalui selat, sejak berabad-abad silam, menjadikan
Gunung Jerai sebagai penanda sebagai persinggahan. Pintu masuk bagi para
pedagang yang datang dari luar Kedah melalui laut.
Menurut pengarang wanita Malaysia dari
Kedah, Puan Amelia Hashim, yang berbaik hati mengantarkanku, mengatakan,
perkampungan penduduk yang berada di kaki Gunung Jerai dikaitkan dengan mitos
Raja Bersiong. Namun aku tak minta diceritakan bagaimana mitos itu. Mungkin
lain waktu akan kucari sendiri pada literature yang ada.
Mungkin karena situasi tidak
menguntungkan dalam perjalanan, aku merasa kesulitan untuk mendapatkan posisi
dari mana dapat menemukan hasil foto Gunung Jerai yang menarik bagiku. Yang
menyenangkan diantara persawahan, pohon-pohon dan petak-petak rumah sepanjang
jalan, ketika melewati daerah Yan, Gunung Jerai selalu dapat terlihat jelas,
panjang membujur.
Daerah Yan disebutkan, penduduknya
mayoritas keturunan berasal dari Aceh, Pulau Sumatera, Indonesia. Sepanjang
jalan tidak banyak aku melihat bangunan rumah-rumah tua. Hanya areal persawahan
dan petak-petak pertokoan.
Menurut catatan sejarah, orang Aceh
mula-mula hijrah ke Kampung Yan ini terjadi dalam kurun waktu 1888 hingga 1925.
Kala itu, di Aceh sedang berkecamuk perang dengan penjajah Belanda.
Kala itu, di Aceh sedang berkecamuk perang dengan penjajah Belanda.
Sejak itu
komunitas masyarakat Aceh terus berkembang, sehingga terbentuk sebuah komunitas
sendiri yang sekarang kita kenal sebagai ‘kampung Aceh’
Masyarakat Aceh yang telah lama
bermukim di Kampung Yan itu antara lain berasal dari Aceh Besar, Pidie, Aceh
Utara, Aceh Barat, dan Aceh Timur. Mereka datang ke kampung di Semenanjung
Malaka itu pada waktu perang Aceh dengan Belanda. Karena itu pula, kalau kita
ke ‘kampung Aceh’ ini, berasa seperti berada di kampung halaman sendiri.
Gunung Jerai ramai diminati kaum muda
untuk dikunjungi berolahraga cinta alam. Mereka yang menyenangi tracking biasanya
akan naik dari arah utara. Melalui Guar Chempedak, Yan Kecil dan Yan Besar.
Tetapi disebutkan alternative yang paling elok itu melalui track atau jalan
lama melakukan pendakian yakni melalui daerah Yan Besar.
Dari puncak gunung akan kelihatan permandangan
indah negeri Kedah terutama, persawahan yang luas terbentang bak saujana mata
memandang.
BERSAMA ANDHYKA NUGRAHA |
Dipuncak Gunung Jerai terdapat sebuah
batu besar menyerupai sebuah kapal. Penduduk sekitar Gunung Jerai menyebutnya, Batu Kapal.
Karena menurut legenda turun temurun yang mereka terima, kapal itu
menjadi batu karena mendapat “sumpah” atau penyebutan di Indonesia “dikutuk.”
Adalah terjadi karena kapal milik
Maharaja Merong Mahawangsa mencoba untuk dapat berlabuh di Pulau Serai, nama
Gunung Jerai padamulanya yang konon hanya berbentuk pulau. Karena Sang Kelembai
melihat kapal itu, disumpahnya. Hingga kapal menjadi batu.
Sekadar ingin mengetahui saja, ada apa
di atas Gunung Jerai? Aku juga menemukan kemudian dalam sejumlah bacaan yang
menyebutkan, pada tahun 1884 ada pekerja-pekerja yang melakukan kegiatan
memecah batu. Entah ada atau tidak kaitannya dengan adanya sebuah bangunan di
puncak gunung ini. Karena bangunan itu disebut-sebut sebagai bangunan penuh
misteri. Sekarang bangunan tersebut sudah dimusnahkan, karena di lokasi
didirikan “stesen radio.”
Ketika mencapai kaki Gunung Jerai,
cuaca agak menggelap. Tampaknya akan turun hujan. Sesekali ada gerimis. Memasuki
pelataran seperti sebuah terminal kecil. Yang ada hanya ada dua kendaraan mini
bus terparkir.
Di bahagian pintu masuk terdapat bangunan mushala. Di sisi lain
terdapat bangunan pertokoan beberapa petak. Nun di atas bukit bangunan hotel.
Di bahagian ceruknya, aku datangi bangunan kecil yang bersih dan dalam keadaan
baik. Rupanya pos informasi “pelancongan.” Sayang dalam keadaan tutup. Tidak
satu orang pun berada di sekitarnya.
Tak apalah. Tidak mengecewakan. Karena
memang tidak bermaksud memerlukan informasi.
Melihat kedatangan, seseorang
menawarkan jasa untuk menjadi penumpang mini busnya, untuk mengantarkan kami ke
puncak Gunung Jerai.
Ternyata beliau adalah penyedia jasa bagi pengunjung. Dia
tahu kami datang dengan kendaraan sendiri tapi memang ada banyak orang, lebih
memilih memarkir mobil di tempat itu, lalu menggunakan jasa khusus mini bus
wisata.
Saat kedatangan tepat di kaki Gunung
Jerai itu, tidak ramai. Benar-benar sepi. Boleh dikata hanya kami bertiga saja.
Karena cuaca aku sudah mendua, antara tertarik atau tidak untuk dapat sampai ke
puncak gunung. Sampai pun di puncak, aku malah hanya sekadar sampai, tidak
dapat memotret sebagai suatu kesenanganku. Hasil-hasil potret dengan camera
pocket akan mengecewakan, dengan hanya 16.1 mp apalah dayanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar