Dingin udara Madinah bagiku adalah “dingin bakicuik” kata orang kampungku.
Dingin yang berlebihan. Mula menginjak lantai pelataran tanpa alas kaki
sekeluar Masjid Nabawi, di depan pintu sesudah sholat Subuh, tubuhku tergetar. Merapatkan
sweather yang melekat di badan.
Beberapa detik setelah terinjak
tanpa alas kaki lantai luar masjid, rasa dingin itupun hilang. Entah kenapa.
Hal itu sangat kurasakan tersebab tubuhku agak sulit berhadapan dengan udara
dingin sejak usiaku masih kecil.
Tanpa alas kaki itu selalu
terjadi selama berada di Madinah, kala masuk atau keluar Masjid Nabawi untuk
beberapa meter, antara pintu dan tempat meletakkan alas kaki. Apakah hal itu
suatu hal yang menyulitkan dan membuatku mengeluh?
Tidak. Itu adalah tantangan.
Kondisi badanku harus sehat. Harus kujaga untuk tetap dalam stamina yang baik
selama menjalani perjalanan ibadah ini. Karenanya, aku selalu menjaga makan dan
minum. Menggerakkan tubuh melalui sholat wajib dan sholat sunat. Melangkah
sambil berzikir di dalam masjid atau pun diluar masjid untuk beberapa meter.
Ada yang terperhatikan sejak
sholat Subuh pertama di Nabawi sampai meninggalkan Madinah yakni lalu lintas
jamaah keluar masuk masjid. Itulah istimewanya Masjid Nabawi ini. Biasanya
sesudah sholat berakhir, orang-orang bersegera untuk meninggalkan masjid.
Keluar dari setiap pintu dengan terburu-buru.
Tetapi di sini, sebanyak yang
hendak keluar, masih ramai juga yang bergegas datang untuk masuk ke dalam
masjid. Sebanyak yang ingin pulang ke penginapan, sebanyak itu pula yang
bertahan dalam masjid, menenggelamkan jiwa dalam bacaan Alquran atau berzikir
dengan kekhusukan. Sungguh beruntung orang-orang yang sudah datang dari jauh,
dari negaranya ke Tanah Suci, menggunakan waktu semata-mata hanya untuk
beribadah.
Sekeluar dari Masjid Nabawi,
langit Madinah belum begitu terang. Lampu-lampu penerang masjid masih menyala.
Walaupun satu dua sudah ada yang dipadamkan. Payung-payung yang indah ada yang
tetap dalam keadaan kuncup. Ada juga terlihat sudah terkembang. Bahkan ada pula
satu dua mulai bergerak di sana sini yang kembang menguncup dan yang kuncup
terkembang.
Apakah itu tidak hikmah juga? Aku
kira secara tidak sadar, kita seperti diingatkan akan kehidupan manusia. Ada
yang berangkat untuk dewasa dan menjadi tua. Ada yang tua perlahan berakhir
kesempatan hidupnya di atas dunia.
Kala siang dengan cahaya
matahari, berjalan di bawah payung-payung itu, teringatkah hidup kita
bahwasanya kita dalam lindunganNya, di bawah payung rahmat dan hidayahNya? Kala
malam dihadiahkannya kita kegelapan. Embun yang turun jatuh ke ubun-ubun dan
seluruh tubuh. Dengan kegelapan itu, kita akan tahu betapa perlunya setitik
cahaya sebagai penerang. Dengan embun itu kita rasakan dingin agar kerinduan
kehangatan selalu ada.
“Alhamdulillah, Engkau masih
memberiku akal dan pikiran. Memberiku daya upaya. Memberi kesehatan dan
kesempatan ya Rabbi,” gumamku seketika.
Aku datang dan pulang dari Masjid
Nabawi berdua dengan kakak sulungku, Irvan
Khairul Ananda. Dia bersama isteri dan anaknya sudah pernah datang ke sini.
Karenanya, ia sudah berlaku sangat akrab dengan suasana dan lingkungan Madinah.
Lain denganku yang baru pertama datang. Datang dengan segala pikiran dan
perasaan untuk semata-mata menyempurnakan ibadahku, yang kurasakan sangat jauh
dibandingkan pada saudara-saudaraku, apalagi kedua orangtua kami.
Kami berjalan perlahan. Tidak
tergesa-gesa. Ada banyak orang lain, para jamaah berada di pelataran Masjid
Nabawi menanti pagi menerang dengan cahaya matahari. Ada yang berjalan, ada
yang duduk, ada yang bercakap, ada yang hening dalam kesendirian. Berbagai
usia, berbagai latar belakang, etnik dan Negara. Namun semuanya menjadi satu.
Satu tujuan kepada Allah.
Berjalan berdua dengan kakakku,
kami lebih banyak berdiam diri sepanjang jalan. Hanya sekali-kali saja kami
bercakap-cakap. Percakapan perihal apa-apa yang kami lihat berkaitan dengan
agama dan peribadatan. Tidak ada pergunjingan dan cela. Atau membicarakan hal
lain kehidupan sehari-hari. Tidak pernah membahas perkara-perkara gerutuan dan
rasa sesalan. Sekali juga kami membandingkan suasana di Madinah dengan di
Mekah. Hal-hal yang tentu saja harus menjadi perhatian. Karena dapat merugikan
diri sendiri.
Dalam diamku sambil melangkah,
aku merasa bersalah kepada kakakku ini. Kurasa telah membuatnya merasa sedih
padaku. Bertahun-tahun lalu, ketika usiaku terpancang dewasa, disaat aku
“ditimpakan cobaan” paling berat dalam hidupku. Hingga berimbas sampai hari
ini. Dimana aku harus bertarung
mendapatkan rasa sabar, mempertebal ketawaqalan dan berserah diri
kepadaNya, memohon ampunan. Atas kegagalan dan kehancuran jalan hidupku.
Antara kepahitan hidup “menyendiri” dari
keluarga dan konflik batin tubi-bertubi kurasakan. Kuhadapi dalam hening. Betapa
pedih dan menyakitkan. Betapa jadi sembilu dalam daging dan menggumpal derita. Tiada
seorang pun dapat mengerti. Hingga aku terpancing seketika pada saat itu.
Bertahun silam. Sesuatu yang tak pernah kulakukan dan semoga tak akan pernah
terulang lagi dalam hidupku pada siapapun. Bagaikan gunung merapi meletus,
memuntahkan lahar panas.
“Bukan aku tak ingin pula
bersekolah dan kuliah. Bukan aku tak hendak pula berusaha dan bekerja. Bukan
tak ada pula keinginanku menjadi orang berkecukupan. Menjadi orang baik seperti
kalian semua. Aku tak pernah mengganggu dan meminta-minta walaupun hidupku
susah. Aku tak pernah berkecil hati karena yang lain dapat dan punya. Tidak.
Tidak pernah. Aku sadar diriku. Aku tahu hidupku miskin! Aku sadar dengan
kemiskinanku!”
Hanya tersebab, kakakku memintaku
untuk mau pulang ke rumah orangtua yang telah bertahun-tahun kutinggalkan.
Karena aku tak hendak saja pulang. Hidup sendiri menurut kemauan kemana aku
inginkan membawa kata hati. Hidup di “jalanan” dengan kesengsaraan kesendirian.
Dengan kelaparan dan kedinginan. Berhabis usia.
Astaughfirullah! Mengapa itu kini
yang teringat? Disaat usia yang sudah kian berkurang. Ketika berjalan di
pelataran Masjid Nabawi bersama kakakku. Aku menangis sambil berjalan diantara
para jamaah. Tangis yang mengeluarkan airmata. Dengan suara tangis kutekan ke
dalam. Seperti bertahun-tahun yang kulakukan selama ini.
“Allahuakbar. Ampunilah hamba.
Hanya Engkaulah Yang Maha Mengetahui…., berikanlah kepada hamba jalan terbaik
yang Engkau Ridhoi…,”
Aku hanya mengiringi langkah
kakakku yang berjalan agak di depanku.
Dia membawaku menelusuri pedestrian kawasan yang berdampingan dengan Masjid
Nabawi. Bangunan hotel dan pertokoan. Walau pun jamaah berdatangan dari
berbagai Negara di dunia, yang kurasakan keramaian luarbiasa tak sedikitpun merasa
diri dan pandangan mata menjadi sesak. Sangat lapang. Sangat nyaman dan tenang
dimanapun dan kemanapun. Benar-benar Tanah Suci. Sungguh Kota Madinah pilihan
tepat hijrahnya Rasulullah dari Mekah, alangkah Maha Besar Allah yang
menciptakan semesta alam.
Hari semakin terang sebagai
penyempurnaan waktu pagi. Dari bangunan beton yang tinggi ke bangunan beton
lainnya, terbentuk lorong artistic. Seringkali selama perjalanan yang dilalui
berpapasan atau pun beriringan dengan rombongan dan kelompok-kelompok jamaah
Umroh sesama dari Indonesia. Terkadang ada komunikasi sesaat dengan hanya
tatapan ataupun senyuman saja. Tapi lebih sering hanya sekadar terperhatikan
saja.
Akhirnya sampailah kami di salah
satu rest area diantara bangunan beton yang jangkung. Di kedai minuman membeli
secangkir susu hangat dan sepotong roti sebagai sarapan. Aku duduk menikmatinya
di pelataran taman yang tak terlalu luas tapi nyaman dan menarik. Ada dua
gazebo yang saling berdekatan. Selebihnya taman rumput dan tanaman hias.
Ada banyak orang selain kami,
malah menikmati sarapan bersantai duduk di rerumputan atau hanya memanfaatkan
pembatas pedestrian dengan taman. Mereka hampir semuanya tak ada satu Negara
denganku. Berbeda-beda negaranya. Ditandai dengan postur tubuh, warna kulit dan
berpakaian. Yang pasti juga bahasa.
Namun aku yang memilih berjauhan
dengan kakakku, duduk di bangku gazebo bersama jamaah yang negaranya masih
berada di benua Arab dan sekitarnya. Menikmati sarapan yang kami beli. Diantara
jamaah itu menawarkan makanannya padaku. Serasa kami tidak berbeda Negara,
tidak berbeda etnik dan bahasa. Sesama Mukmin adalah bersaudara.
Setelah sarapan tak jauh dari
Masjid Nabawi, sepagi itu kami bersegera pulang ke penginapan (*) copyright: abrar khairul ikhirma – Umroh Februari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar