MENYONGSONG SISMI 2017 DI KUALA LUMPUR
Oleh: ABRAR KHAIRUL IKHIRMA- INDONESIA
Bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat
penghantar dalam berkomunikasi. Akan tetapi bahasa juga sebagai penunjuk
kepribadian seorang manusia. Karenanya bahasa diidentik sebagai suatu
kebudayaan. Menjadi cerminan suatu bangsa yang membangun peradaban,
berkehidupan bernegara.
Bahasa Melayu berkembang sesuai dengan perjalanan bangsa Melayu
bertebaran di muka bumi. Mereka berkembang oleh sebab sesuai zamannya. Kini di
abad modern, dimana terpaaan dan hantaman gelombang kebudayaan, berdatangan
dari berbagai macam lini. Akibatnya terjadi pilihan-pilihan. Terkadang pilihan
itu benar. Namun umumnya malahan “menyesatkan” menghancurkan identitas dan
keberadaan sendiri.
Karenanya intitusi pemegang kebijakan yaitu pemerintahan dari
suatu Negara mestilah didorong untuk melakukan “keterjagaan” identitas supaya
tak diganti oleh “sesuatu yang asing.” Yang bukan pakaian kita sendiri.
Gerakan ini tidaklah berhenti untuk diwujudkan. Karena silih
berganti, terutama kalangan kebudayaan, dari masyarakat kesenian dan pelaku
sastra, tak pernah “jera” menggelorakan semangat pelestarian bahasa. Semangat
yang dikobarkan melalui kegiatan-kegiatan kesastraan atau pun dihasilkan dari
diskusi, seminar dan peristiwa pendeklrasian. Meskipun sayup tak lantang namun
tetap berketerusan. Sesuai dengan tuntutan perobahan zaman, dalam kesayupan
sebenarnya terkandung “dian yang tak
kunjung padam.”
Bahasa yang baik di alam kebudayaan yang terjaga, melahirkan
karya-karya sastra dari tangan para sastrawan. Karya-karya sastra menjadi
cerminan zaman. Menjadi perekat bagi catatan peristiwa zaman, pemikiran
dan makna kejiwaan masyarakat. Memperbaiki
kerusakan sendi-sendi kehidupan manusia. Memperkuat kemampuan alam pikir.
Memperhalus pemahaman dan makna alam rasa.
Betapa kayanya alam budaya Melayu, dimana begitu hidupnya di masa
silam pada kehidupan masyarakat pepatah
petitih, syair, pantun, gurindam dan hikayat. Tidak hanya ada di waktu
momen acara adat dan keagamaan tetapi juga tumbuh berkembang di dalam
keseharian masyarakat. Dimana jejak-jejaknya masih dapat ditelusuri, baik
secara lisan maupun pada karya-karya sastra yang dihasilkan.
Semisal bagi Indonesia secara tulisan dikenali sebagai masa
periodisasi Pujangga Lama. Pujangga lama merupakan bentuk pengklasifikasian
karya sastra di Indonesia, dihasilkan sebelum abad ke-20. Pada masa ini karya
sastra di dominasi oleh syair, pantun, gurindam dan hikayat.
Di Nusantara, budaya Melayu klasik dengan pengaruh Islam yang kuat meliputi
sebagian besar negara pantai Sumatera dan Semenanjung Malaya.
Di Sumatera bagian utara muncul karya-karya penting berbahasa
Melayu, terutama karya-karya keagamaan. Hamzah Fansuri adalah yang pertama di antara penulis-penulis utama angkatan
Pujangga Lama. Dari istana Kesultanan Aceh pada abad XVII muncul karya-karya klasik selanjutnya, yang
paling terkemuka adalah karya-karya Syamsuddin Pasai dan Abdurrauf Singkil. serta Nurudin ar-Raniri..
Setuju atau tidak. Persoalan “kemelayuan” senantiasa tak pernah
henti untuk dibicarakan, baik dalam kesejarahan maupun pada tataran social
budaya dan politik. Tak pernah kering dijadikan sebagai kajian, digali terus
menerus untuk menemukan “mata airnya” ditelusuri kemana alirannya untuk
mengetahui dimanakah sebenarnya “muaranya.” Sebab laut, airnya menjadi tujuan
aliran sungai. Air laut sendiri yang asin dikontribusi oleh air tawar yang
berasal dari perut daratan.
SN DATO' DR AHMAD KHAMAL ABDULLAH |
Pada tempatnyalah, Ahmad
Khamal Abdullah “terbersit” ide di tahun 2016, untuk mengadakan
perbincangan soal Sastra Melayu Islam. Karena sejarah Melayu dan Islam memiliki
kaitan erat. Sedang karya sastra yang pernah ditulis sastrawan pun ada banyak
memiliki kandungan keislaman. Ia ingin para sastrawan, akademisi dan pemerhati,
berkumpul pada satu rangkaian momen. Berbagi pemikiran dan pengalaman.
Presiden Numera Malaysia Ahmad Khamal Abdullah, bergelar Dato’ dan
Dr merupakan sastrawan yang dikenal bernama pena Kemala, melalui karya-karyanya yang telah banyak dipublikasikan dan
diterbitkan dalam bentuk buku. Pun sudah diterjemahkan ke bahasa asing.
Memainkan peranannya sebagai Sasterawan Negara melalui kegiatan kesastraan
Persatuan Sasterawan Nusantara Melayu Raya (Numera) Malaysia, dengan
menyelenggarakan “Seminar Sastera Melayu Islam 2017.”
Pembicaraan sastra Melayu dan keterkaitan kandungan nilai-nilai
keislaman, tidaklah hal baru menjadi kajian-kajian dan perdebatan di berbagai
Negara dan dunia pendidikan. Baik diselenggarakan kalangan kebudayaan dan
kesenian atau pun di perguruan-perguruan tinggi untuk kebutuhan akademik. Sudah
berlangsung lama. Penyelenggaraan seminar yang diadakan Numera ini satu
diantaranya. Satu kelanjutan yang membuktikan bahwa pembicaraan terhadap sastra
Melayu dan nilai Islami, masih hangat. Masih diperlukan mengisi ruang pemikiran
kebudayaan.
“Masuknya agama Islam ke Nusantara pada abad ke-12, diserap
baik-baik oleh masyarakat Melayu. Islamisasi tidak hanya terjadi di kalangan
masyarakat jelata, namun telah menjadi corak pemerintahan kerajaan-kerajaan
Melayu. Di antara kerajaan-kerajaan tersebut ialah Kesultanan Johor, Kesultanan Perak, Kesultanan Pahang, Kesultanan
Brunei dan Kesultanan Siak.
Kedatangan kolonialis Eropa telah menyebabkan terdiasporanya
orang-orang Melayu ke seluruh Nusantara, Sri Lanka dan Afrika Selatan. Di
perantauan, mereka banyak mengisi pos-pos kerajaan seperti menjadi syahbandar,
ulama, dan hakim.
Dalam perkembangan selanjutnya, hampir seluruh Kepulauan Nusantara
mendapatkan pengaruh langsung dari Suku Melayu. Bahasa Melayu yang telah
berkembang dan dipakai oleh banyak masyarakat Nusantara, akhirnya dipilih
menjadi bahasa nasional Indonesia, Malaysia dan Brunei.” (Wikipedia)
MAKAM ABDURRAUF SINGKIL / SYIAH KUALA DI ACEH (FOTO: FICKR.COM) |
Yang patut digarisbawahi, momentum SISMI17 yang dilaksanakan pada
28-30 September 2017, di Masjid Abdul Rahman bin Auf, Kuala Lumpur, Malaysia,
memberikan peluang kepada kalangan muda, lebih luas dan terhormat, ruang untuk
berekspresi di “podium” peristiwa kesastraan bertaraf internasional. SISMI17
melibatkan kalangan sasterawan, akademisi, pemerhati dan artis (seniman) dari
Negara Malaysia sendiri, Indonesia, Thailand, Singapura, Brunei Darussalam dan
Bangladesh.
Antara gagasan dan jalan untuk mewujudkan peristiwa sastra internasional
nusantara ini, juga tidaklah mudah. Membutuhkan kesadaran, keteguhan dan
pembiayaan. Karena yang menyelenggarakan tidak institusi pemerintahan atau pun kelembagaan
yang memiliki donatur permanen. Hanya satu diantara banyak organisasi
kesastraan yakni Persatuan Sasterawan Numera Malaysia. Suatu hal yang
luarbiasa, Numera merancang dan mempersiapkannya berlangsung satu tahun lamanya.
Berproses sampai ke hari H.
Dari proses inilah Pengerusi SISMI17, SN Dato’ Dr Ahmad Khamal
Abdullah, menyebutkan bahwa; “Bagi
merealisasikan Sismi17, AJK Induk Marba-Numera, bakal menghadapi tantangan kiri
kanan, depan belakang. Bukan semua yang bernama Melayu di atas itu sayangkan
sastera Melayu-Islami. Ramai yang mahu “menjahanamkan”nya. Namun dengan
keyakinan dan nawaitu yang baik, Allah berikan kemudahan dan jalan terbaik
untuk kita melaksanakannya demi pelestarian sastera Melayu-Islami di dunia.
Insyaallah.” (*) BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar