Kalau sekadar nama, aku sudah lama
mengenal keduanya. Karena pada masa usia mudaku, aku adalah anak yang “gila”
membaca buku, majalah, apalagi suratkabar. Baik suratkabar terbitan di daerahku
maupun suratkabar terbitan nasional.
Searah Jarum Jam: AHMAD TAUFIQ (JEMBER) AKU (PADANG) FAKHRUNAS MA JABBAR (RIAU) ACEP ZAMZAM NOOR (TASIKMALAYA) JEUMPA D'RAMO BANGSAR KUALA LUMPUR 2014 |
Dalam usia masih terbilang sangat
muda, membaca suratkabar harian bagiku adalah lebih penting dibandingkan
makanan mengisi perut. Hampir setiap hari aku harus bertengkar dengan
saudara-saudaraku, tersebab mereka lebih dulu menerima dan membaca Koran yang
diantarkan si pengantar Koran langganan di rumah kami.
Itulah penyebab aku banyak mengenal
nama seseorang, karya-karya ataupun aktifitas yang dilakukannya. Karenanya
peranan media sangat penting dalam “mengenalkan” diri dan karya kepada public.
Ada benarnya statemen yang mengatakan, “orang yang dapat menguasai dunia, orang
bisa memanfaatkan informasi dan komunikasi.”
Pada zaman keterbatasan media yang
dapat menampung karya atau memperkenalkan seseorang, atau lagi menginformasikan
kegiatannya, tak semua orang memperolehnya. Tak semua orang karyanya dapat
dimuatkan. Tak setiap orang profilnya diperkenalkan. Tak setiap kegiatan yang
diselenggarakan mendapat liputan sebagai pemberitaan.
Ketidakmudahan seperti demikian memang
suatu hal yang menyedihkan. Banyak orang, karya dan peristiwa tak mendapat
perhatian public . Namun disisi lain, keterbatasan ruang dan kesempatan yang
tersedia, justru menjadikan media selektif. Tidak hendak “isi media” mereka tidak
actual, tidak akurat dan tidak terpercaya oleh pembacanya (public). Redaksi
akan mempublikasikan hal-hal menarik dan berkualitas agar dapat merebut “pasar”
penjualan di masyarakat.
Di zaman itulah salah satunya aku
mengenal nama Acep Zamzam Noor. Baik
karya atau pun kehadirannya di kegiatan sastra. Walaupun aku tidak intens
membaca karyanya dan kegiatannya, setidaknya nama beliau masuk ke dalam
memoriku bahwa salah seorang Penyair di Provinsi Jawa Barat ada yang bernama Acep Zamzam Noor.
Acep adalah sastrawan Indonesia
Terlahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 28 Februari 1960
.
Dalam catatan riwayat yang pernah
kubaca, Acep menghabiskan masa kecil dan remajanya di lingkungan pesantren,
melanjutkan pendidikan Seni Lukis Fakultas Seni Rupa Desain ITB, lalu
Universita Italiana per Stranieri, Perugia, Italia.
Kemudian dalam tahun-tahun terakhir,
aku baru mengetahui dalam suatu kesempatan, berbincang dengan kakakku Isson Khairul, yang lebih dulu dariku
“terjun” ke dunia media dan menyenangi dunia sastra, menyebutkan bahwa Acep
adalah putra tertua dari K.H. Ilyas Ruhiat, seorang ulama kharismatik dari
Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya.
BERSAMA ACEP ZAMZAM NOOR MAKAN SIANG RUANG MAKAN MENARA DEWAN BAHASA PUSTAKA KUALA LUMPUR - 2014 |
KH Ruhiyat dan Pesantren Cipasung.
Satu nama tokoh. Satu lagi nama lembaga pendidikan keagamaan yang “tercatat” di
Indonesia. Tidak asing bagiku. Sama juga dengan nama Acep sendiri yang sudah
kukenal dalam usia remajaku. Masih hangat dalam ingatanku sampai kini. Aku
mengenal nama KH Ruhiyat dan Pesantren Cipasung dari media nasional, semasa
berada di alam “pergolakan politik” Indonesia era Orde Baru ke fase Reformasi.
Tokoh “eksentrikku” yang senantiasa
fenomenal di berbagai pemberitaan media local, nasional bahkan internasional, KH Abdurahman Wahid yang kerap disebut Gus Dur, bersama kawan-kawannya memilih
Cipasung salah satu tempat “menancapkan” jejak sejarah fase “Reformasi
Indonesia.” Di penghujung rezim Soeharto, melahirkan yang disebut pemberitaan
media terkemuka dengan “Perjanjian
Cipasung.” Menghantarkan Gus Dur menjadi Presiden Republik Indonesia.
Walau pun aku sudah “mencuri” beberapa
eksemplar buku antologi, “Risalah Melayu Nun Serumpun” yang diletakkan di atas
meja, di ruang resepsionis Jeumpa d’Ramo, Bangsar, tempat menginap, di awal
kedatangan. Sama sekali pandainya aku hanya mencuri. Memasukkan ke dalam tas. Tidak bersegera untuk
membalik-balik halaman, apa saja isi yang terdapat di dalam. Sampai beberapa
waktu sudah berada di tanah air pun tak hendak kusentuh. Padahal di dalamnya
termuat 3 buah puisiku, yang menghantarkanku datang pertamakali di Kuala
Lumpur, Malaysia.
Itulah diriku. Tak ada sesuatu yang luarbiasa
dan berlebihan. Aku merasa semuanya berjalan seperti adanya. Setiap yang
menanam pastilah akan menuai. Setiap yang berusaha pastilah akan memperoleh.
Tapi tidak menanam, buah apa yang hendak dipetik. Jika tak berusaha apa pula
yang akan didapatkan?
Demikian juga karyaku. Kalau tak
kutulis dan tak kukirimkan, apa mungkin dia termuat dalam buku itu? Soal utama
dan kategori pilihan, itu kan hanya “penilaian.” Bisa jadi diluar sana, orang
lain dengan argumentasinya malah menilai yang pilihan adalah utama dan yang
utama dikategorikan pilihan. Sesuatu relative. Hanya sebuah karyalah bukti
akhir menentukan, apakah dia jauh lebih baik diantara karya-karya lainnya atau
malahan jauh lebih buruk bila dicocokkan pada persyaratan yang hendak dituju si
punya hajatan.
Tak melihat buku yang kucuri, itu
berarti aku tidak mengetahui siapa-siapa saja yang menghadiri acara Anugerah Puisi Dunia Numera 2014 yang
kuhadiri. Aku baru tahu pada malam hari, di panggung Auditorium Dewan Bahasa
Pustaka Kuala Lumpur, Acep Zamzam Noor menyampaikan Anekdot Sastra, rangkaian acara yang diselenggarakan Numera
Malaysia. Ya hanya sekadar tahu saja. Sama juga pada yang lain.
Sampai acara selesai dan masing-masing
peserta kembali pulang, aku tak pernah terlibat percakapan secara intens dengan
Acep “Penyair dari Tanah Sunda.” Bila bertemu hanya sekadar senyum-senyum saja.
Begitu juga dengan yang lainnya kecuali bersama Syarifuddin Arifin, penyair yang sama-sama berangkat dari Padang.
Kemudian dengan Ahmad Taufiq penyair
dari Jember dan A’yat Khalili dari
Madura, Jawa Timur. Akrab sejak pertama bertemu saat kedatangan di LCCT, yang
kini berobah nama bandara KLiA2.
Ada memang sesaat kami bercakap di
dalam bus saat perjalanan dari Kuala Lumpur menuju Melaka. Itupun yang kami
perbincangkan hanyalah perkara seupil
batu akik, “Lumuik Sungai Dareh” yang terpasang pada cincin di jemariku.
AKU BERLATAR DUA PENYAIR FAKHRUNAS MA JABBAR DAN ACEP ZAMZAM NOOR MELAKA 2014 |
Sepulang dari KL, selang berapa waktu
kemudian, barulah kami berteman di media fesbook.
Itupun sekadar bercanda sebagai bentuk pertemanan di dunia maya pada penyair
Acep Zamzam Noor, yang telah banyak membukukan puisi-puisi karyanya. Yang
dimulai dengan buku kumpulan puisi pertamanya berjudul, “Tamparlah Mukaku!”
tahun 1982. Menerima, Penghargaan
Penulisan Karya Sastra Depdiknas (2000). South East Asian (SEA) Write Award dari Kerajaan Thailand (2005). Khatulistiwa Literary Award (2007) dan Hadiah Sastra Rancage, 2012 untuk
kumpulan sajaknya berjudul, Paguneman.
Dibandingkan dengan nama Acep Zamzam
Noor, nama Fakrunas M.A. Jabbar,
lebih dulu kukenal dan akrab dalam ingatanku. Penulis kelahiran Tanjung
Barulak, 15 Januari 1960 ini, salah satu nama yang sudah biasa kukenali,
diantara nama-nama seniman yang berasal dari Pekanbaru, Riau.
Pengenalanku pada aktifitas
berkesenian di Riau dan senimannya, terutama pada bidang kesastraan, tidak
hanya karena letak daerah provinsinya berdampingan dengan Provinsi Sumatera
Barat, dimana aku bermukim. Tetapi sejak paruh tahun 1970-an sampai tahun
1980-an, ramai para penulis dari Pekanbaru mengirimkan tulisan mereka ke
suratkabar Harian Haluan Padang,
untuk dipublikasikan. Karena masa itu Riau belum mempunyai suratkabar harian
yang diterbitkan di Riau.
Sementara di Padang ada tiga suratkabar terbit. Menjangkau wilayah pemasaran tidak hanya di dalam Sumatera Barat tapi juga untuk Pekanbaru dan Jambi. Fakrunas MA Jabbar terbilang gencar mengirimkan tulisannya. Ada banyak tulisannya yang lolos dipublikasikan.
Hingga Fakhrunas dikenali sebagai penulis, tidak hanya membatasi diri pada satu bidang. Karyanya mencakupi esai, puisi dan cerpen, yang telah dimuat dalam kurang lebih empat puluh media local ataupun ibukota, seperti majalah sastra Horison, Panji Masyarakat, Sinar Harapan, Gadis, Pelita, Prioritas, Merdeka dan Terbit.
Sementara di Padang ada tiga suratkabar terbit. Menjangkau wilayah pemasaran tidak hanya di dalam Sumatera Barat tapi juga untuk Pekanbaru dan Jambi. Fakrunas MA Jabbar terbilang gencar mengirimkan tulisannya. Ada banyak tulisannya yang lolos dipublikasikan.
Hingga Fakhrunas dikenali sebagai penulis, tidak hanya membatasi diri pada satu bidang. Karyanya mencakupi esai, puisi dan cerpen, yang telah dimuat dalam kurang lebih empat puluh media local ataupun ibukota, seperti majalah sastra Horison, Panji Masyarakat, Sinar Harapan, Gadis, Pelita, Prioritas, Merdeka dan Terbit.
Dosen Jurusan Perikanan Fakultas
Pertanian, universitas Riau ini memiliki pengalaman luas dalam keorganisasian,
seperti Sekretaris Lembaga Seni Budaya Pemuda KNPI Riau, Sekretaris HSBI Riau,
Ketua Sanggar Dolphin dan pengurus Komisariat sastra BKKNI Tingkat I Riau.
Selain mengajar, ia juga pernah menjadi wartawan dan banyak memenangkan
berbagai perlombaan penulisan.
Karya-karya Fakhrunas MA Jabbar yang
sudah diterbitkan menjadi buku, antara lain, adalah; Di Bawah Matahari (1981), Kumpulan
Puisi dan Matahari-Matahari, kumpulan puisi bersama Husnu Abadi (1982),
Cerita anak-anak Menembus Kabut, Di Bawah Merah Putih dan Bonan si Anak Gerilya. Kumpulan
cerpennya Ongkak (2010). Karya
nonfiksi adalah biografie, H. Soeman Hs;
Bukan Pencuri Anak Perawan (1998) terpilih sebagai Buku Terbaik Anugerah
Sagang 1999.
Pada satu kesempatan, semasa penyair Hamid Jabbar masih hidup, aku pernah
sekadar berseloroh pada abang Hamid, begitu panggilan kami kepada Hamid Jabbar,
bahwa saudaranya ada satu lagi di Pekanbaru. Orang yang kumaksudkan ialah
Fakhrunas MA Jabbar. Waktu itu bang Hamid mengangguk sambil mengiyakan atau
membenarkan. Namun aku tak serius. Jadi benar atau tidak tak begitu penting
saat itu bagiku.
Di hari kedua berada di Kuala Lumpur,
saat berada di penginapan, barulah aku tahu bahwa selain Acep Zamzam Noor juga
hadir Penyair Riau, Fakhrunas MA Jabbar. Aku tahu dari cerita Syarifuddin
Arifin. Karena dia memang berdekatan generasi di dunia kepenulisan, pun tentu
berbilang acap berjumpa dim omen-momen acara sastra, yang kini alangkah
banyaknya diselenggarakan dimana-mana. Berbeda denganku yang sudah lama
“hijrah” Tidak hadir dimana-mana. Sehingga tak menjumpai banyak orang.
Meskipun sudah lama mengenal nama tapi
aku tak pernah bertemu dengannya. Atau bisa jadi, karena aku orang cuek,
berkepribadian tidak suka sibuk terkagum-kagum dengan orang ternama, tidak
berhabis waktu bergegas minta berkenalan pada setiap orang di berbabagi
kesempatan. Mungkin kami pernah bertemu dimasa 1980-an dan 1990-an di
acara-acara kesenian di Pekanbaru atau pun di Padang tapi karena tak saling
mengenal ya tak mengetahuinya.
AKU BERSAMA PRESIDEN NUMERA MALAYSIA SN DATO' DR AHMAD KHAMAL ABDULLAH FAKHRUNAS MA JABBAR SANGGAR TUN SRI LANANG MENARA DBP KUALA LUMPUR 2014 |
Sedang sederet nama seniman Riau yang
bermukim di Pekanbaru sudah banyak pernah bertemu olehku walau pun tidak akrab.
Setiap aku datang ke Pekanbaru, aku hanya sering menjumpai penyair dan
teaterawan Idrus Tintin dan Dasri al-Mubary. Begitu juga
sebaliknya, bila mereka datang ke Padang. Menurut Pak Idrus, begitu aku memanggil
Idrus Tintin, hubungan kami “bersahabat.”
Sejak awal sampai acara berakhir, “suaraku”
saja yang “menciracau” kala sudah bersama Syarifuddin Arifin, Ahmad Taufiq dan
A’yat Khalili. Dalam momen-momen begitulah Fakhrunas “terseret” ke dalam “teatrikal
spontan” yang tercipta begitu saja. Membuktikan Fakhrunas berdarah Minang.
Hal-hal semacam itu dalam kehidupan orang Minang, sebentuk “perbualan” social menanggapi
situasi dan kondisi. Hal biasa “mencemooh” dan “memparodikan.”
Waktu itulah aku baru bertemu secara
fisik dengan Fakhrunas. Baru saling mengenal begitu saja. Beliau sendiripun
mengungkapkan bahwa ia memang memiliki pertalian darah dengan Penyair Hamid
Jabbar, karenanya ia memakai kata “Jabbar.” Mereka bersaudara sepupu. Namun aku
kesulitan untuk akrab pada orang yang baru kukenal. Sehingga tidak banyaklah
pembicaraan terjadi diantara kami.
Menjelang acara berakhir, aku
mendatangi kamarnya di penginapan yang sama. Kamar kami berada di satu lantai.
Memberikan buku karyaku yang diterbitkan. Juga kepada Acep Zamzam Noor.
Fakhrunas balik menghadiahkanku buku kumpulan cerpennya berjudul, Ongkak.
Sampai saat menulis ini, belum sempat aku membacanya. Meskipun ada terniat
untuk membuat sekadar catatan apresiasi, pabila sudah selesai membaca
cerpen-cerpen yang termuat dalam buku tersebut.
Awal kedatangan di penginapan Jeumpa
d’Ramo, penginapan peserta acara Numera 2014, aku ditempatkan Teratai Abadi (panitia Numera) pada
kamar berbeda dengan Penyair Syarifuddin Arifin, yang sama-sama datang denganku
dari Padang. Menurut anggapanku saja, pemilihan kamar itu agar ditempati oleh orang yang “setara.” Padahal aku tidak tahu bersama siapa aku di kamar itu. Karena
kedatanganku lebih awal, merasa aku sendiri saja di kamar, membuatku pindah dan
bergabung ke kamar Syarifuddin Arifin dan Ahmad Taufiq.
Sewaktu mengantarkan buku puisiku “Antara Bukik Punai” dan buku catatan kebudayaan “Izinkan Aku Bicara” yang kutulis pada Acep Zamzam Noor dan Fakhrunas MA Jabbar, tahulah aku, andaikan aku tidak pindah kamar, tentulah kami selama acara, bertiga pada satu kamar itu (*) copyright: abrar khairul ikhirma
Sewaktu mengantarkan buku puisiku “Antara Bukik Punai” dan buku catatan kebudayaan “Izinkan Aku Bicara” yang kutulis pada Acep Zamzam Noor dan Fakhrunas MA Jabbar, tahulah aku, andaikan aku tidak pindah kamar, tentulah kami selama acara, bertiga pada satu kamar itu (*) copyright: abrar khairul ikhirma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar