MENYONGSONG SISMI17 DI KUALA LUMPUR
Oleh: ABRAR KHAIRUL IKHIRMA- INDONESIA
Sejauhmana sumbangan
sastrawan di dalam karya-karyanya bernafaskan keislaman. Karena semangat budaya
Melayu pada akhirnya sejak masuknya Islam sebagai agama di nusantara, adalah
suatu jembatan yang mempersatukan, tidak pada tempatnya “berenang lagi” dengan
alasan tiadanya jembatan, untuk menyeberang “sungai peradaban.”
Pentingkah
Seminar Sastera Melayu Islam 2017
(SISMI17) ini?
Dr Phaosan Jehwae, seorang pengajar di University
Fathoni, Patani, Thailand Selatan, secara khusus dimintakan pendapatnya
perihal peristiwa SISMI17, dimana beliau salah seorang yang akan membentangkan
kertas kerja pada seminar itu mengatakan, “Suatu acara yang sangat bermanfaat. Kerana
jarang sekali pihak penganjur mengadakan acara sastera yang berpandukan Islam.
Melayu dan Islam dua komponen yang menjadi satu dan tak bisa dipisahkan.”
Phaosan di negaranya, terutama di
Patani, dalam beberapa tahun terakhir ini aktif “memperjuangkan” keberadaan
bahasa Melayu pada generasi muda. Melalui berbagai kegiatan Phaosan yang juga
menulis puisi, bergiat memberikan apresiasi sastra mengatakan, “Apabila kita bicara tentang sastera Melayu
pasti Islam menjadi komponen utama di dalam isu tersebut. Melayu beridentitikan
dengan Islam.”
DR PHAOSAN JEHWAE |
Sebelumnya hanya mengenal
pasangan suami isteri, Asnida Daud
dan Jeffrey Zauhari dari Singapura.
Asnida seorang cikgu, artis dan penyair. Jeffrey orang music. Keduanya adalah
regenerasi Melayu Singapura. Terpikat mengikuti aktifitasnya dalam
menggelorakan semangat kemelayuan di tanah airnya. Semenjak mengenalnya
pertamakali sama-sama mengikuti Anugerah
Puisi Dunia Numera 2014 di Kuala Lumpur.
Selang belum berapa lama ini,
lewat media social fesbook, suatu hal
yang menggembirakan mengenal lagi seorang dari Negara yang sama, T. Ahmad Mohamed (Ahmir Ahmad), seorang
yang bergiat di sastra Singapura. Menanyakan secara khusus kepadanya terhadap
peristiwa SISMI17 yang akan diselenggarakan.
Ahmad mengatakan, “SISMI17 acara yang bagus. Ia adalah acara
kerjasama komuniti sastera dengan aktivis Masjid. Secara tak langsung
mendekatkan orang umum kepada sastera di samping mengajak aktivis sastera
menfokuskan kepada sastera Islami.”
Ahmad yang bekerja sebagai
seorang Penganalisis Makmal, bidang pengkhususan enjin analisis oktana di
Singapura ini menyebutkan bahwa, “Sejak
polemik sastera Islami di Malaysia tahun 1987, jarang sekali dibangkitkan soal
sastera Islami pada akhir-akhir ini.”
T. Ahmad Mohamed tampaknya memang
mengikuti kegiatan kesastraan di tanah Melayu selama ini. Karenanya, ia dapat
menyebutkan bahwa, “Sedang acara Mahrajan
Persuratan Islam sering diadakan di Sabah sejak 2012, di semenanjung Malaysia
jarang kedengaran acara sastera yang bertema Islami, selain tema nasionalisme
saja sering menjadi tumpuan.”
Diharapkan ramai dan beragam
“hal” akan dikemukakan dalam SISMI17 yang akan berlangsung nantinya. Membuka
catatan lama, membaca catatan hari ini dan membuat catatan ke depannya bagi
sastra Melayu di nusantara.
Mungkin sisi demikian kiranya
dapat dilihat pada pandangan yang terbuka. Karenanya T. Ahmad Mohamed, satu
diantara sejumlah pembentang kertas kerja pada SISMI17, melihat peristiwa
sastra ini penuh harapan. Dia mengatakan, “Sismi17
juga menampilkan gabungan ahli akademik dan juga penulis non-akademik dalam suatu platform sastera dan forum ilmu.”
T. AHMAD MOHAMED |
Sungguh disayangkan, Drs. Dasril Ahmad, dari Padang, Sumatera
Barat, Indonesia, tak tampil dalam forum SISMI17. Semula namanya disebut-sebut
sebagai salah seorang pembentang kertas kerja. Padahal dalam rentang lebih
kurang 30 tahun terakhir ini, Dasril intens mengikuti dan mendocumentasikan
perjalanan kehidupan sastra di daerahnya.
Akan terasa lengkap, Dasril
dimintakan membentangkan penelusurannya sekitar sastra bernafaskan budaya
Minangkabau yang tentu saja bertitiktolak dari nilai-nilai keislaman.
Minangkabau termasuk bahagian terpenting dalam perkembangan sejarah kemelayuan.
Apalagi dalam decade ini ramai diterbitkan karya-karya sastra berlatarbelakang
budaya Minang.
Meskipun tak hadir, Dasril Ahmad
dimintakan pendapatnya terhadap konteks peristiwa sastra Melayu ini pada
SISMI17 mengatakan, “Persoalan kemelayuan
dan sastra melayu yang Islami, adalah hal menarik untuk dikaji. Setidaknya kita
mengetahui bagaimanakah situasi kesastraan Melayu dewasa ini, di dalam
menyikapi perkembangan budaya-budaya modern, yang membuatnya pudar dan dapat
menghancurkan dengan pengaruhnya.”
DRS DASRIL AHMAD |
Kegamangan dan kecemasan, adalah
dua hal yang seringkali “mendebarkan” kalangan pemikir kebudayaan di nusantara.
Mereka tidak hanya melihat “ancaman” kepada datangnya “pengaruh” asing
“menggerus” kebudayaan nenek-moyang. Akan tetapi “kebijakan politik”
masing-masing pemerintahan adalah juga “penyebab” melemahnya kedudukan
kebudayaan itu sendiri di dalam masyarakat, bangsa dan Negara. Realitas tidak
segegap gempita slogan-slogan yang seringkali dikumandangkan para pemimpin di
berbagai kesempatan nasionalisme.
Kegamangan dan kecemasan perlu
tetap dipelihara dengan sikap waspada dan terus menerus melakukan
perbaikan. Tanpa kegamangan dan
kecemasan, kita tentu tidak tahu bahwa pengaruh asing itu telah “merasuki”
kehidupan kita secara sempurna. Tidak akan membangunkan pemikir kebudayaan,
seperti sastrawan misalnya, hanya akan diam dan tidak melakukan perjuangan agar
bahasa dan kesastraan “tidak diganti.”
Perjuangan itu melalui
“MENCIPTAKAN” karya-karya sastra yang berkualitas, dengan jumlah pembaca yang
semakin bertambah. “MELAHIRKAN” pemikiran-pemikiran sastra yang dapat membuka
ruang pemikiran dan “MENCERAHKAN” masyarakat sastra secara universal. Tidak
hanya mejadi “terasing” di atas puncak “menara gading.” Tidak juga menjadi
“lebih rendah” sehingga menjadi “padang terbuka” melahirkan tempat berkarya “epigon” atau pun “copy paste.”
Karenanya, Sastra Melayu harus
terus dihidupkan oleh sastrawan masa kini. Sejarahnya yang panjang sudah
membuktikan bahwa Sastra Melayu itu hidupnya ibaratkan memasak Rendang Padang.
Untuk mendapatkan “rasa enak,” dimasaknya akan lebih tepat menggunakan bahan
bakar yaitu kayu yang dapat menghasilkan bara api. Tidak menyala tetapi
“menghangatkan.” Tidak tergantikan oleh alat masak modern meskipun sama-sama
menghasilkan api yang mengeluarkan panas di tungku.
Rentang waktu sampai akhirnya
masak, membutuhkan waktu lama. Diperlukan kesabaran yang tidak hanya berpangku
tangan di depan tungku. Secara periodic, si juru masak harus terus menerus
“mengacau” isi kancah (kuali besar) dengan “menanggungkan” hawa panas api di
depannya.
Sementara angin dengan rasa tak
sabar, akan menebarkan kemana-mana “bau harum” rendang, sehingga membuat “orang
sekampung” menjadi “ribut” diantara rasa lapar kala hidungnya mencium bau
rendang yang dimasak.
Apa bedanya perjalanan Sastra
Melayu atau kebudayaan Melayu dengan cara masak rendang? Sama. Sama-sama
membutuhkan waktu yang panjang. Perlahan (baunyai-unyai) melintasi berbagai zaman
di atas “bara api” akhirnya sampai kepada abad Milineum ini. Dan tepatlah
dikatakan ---jika benar ini merupakan kutipan--- dari kata Hang Tuah (sendiri),
“Takkan mati Melayu di bumi Melayu.”
Terbukti secara nyata bahwa
memang tidak mati. Sampai hari ini perkara Melayu masih hangat untuk
diperbincangkan. Masih kita butuhkan untuk ditelisik “keharumannya.” Walau realitas
nasibnya di tengah kehidupan modern bak pameo orang Minang, “karakok tumbuah di batu” (Karakok
tumbuh di batu). “Hidup sagan, mati tak
amuah.” Yang artinya, hidup segan mati tak mau. Tetap “hidup” tiada
terbantahkan namun hanya “kerap” menjadi “kebanggaan,” kalau pun tetap ada keberlangsungannya
antara ada dan tiada.
Apakah semangat Melayu masih bercitarasa keislaman di dalam
karya-karya yang dihasilkan para sastrawan di abad modern ini di nusantara?
Disaat di berbagai belahan bumi “keislaman” itu sendiri, banyak dijadikan oleh
“pihak tertentu” hanya sebagai “alat” untuk kepentingan pihak tertentu saja.
Padahal sejatinya, agama memberikan rasa sejuk di tengah derita perjalanan
“musafir” melintasi “gurun” kehidupannya dari zaman ke zamannya.
Para penjaga nilai-nilai
Melayu-lah harus tetap berada di “garis depan.” Menjaga “kegamangan dan kecemasan”
yang selalu “menghantui” dalam arus deras globalisasi yang tak mungkin
dibendung dengan sikap “suka dan tak suka.”
Diantara penjaga nilai-nilai itu
ialah sastrawan.
Karenanya, karya sastra yang
berbicara harus tetap dilahirkan dan dihadirkan, selain terus menerus
menghidupkan bara api di tungku-tungku peristiwa sastra semacam diskusi,
seminar dan kajian-kajian keilmuan.
Seperti peristiwa sastra yang akan dilaksanakan
Numera Malaysia bertajuk, Seminar Sastra
Melayu Islam 2017, di Masjid Abdul Rahman bin Auf, Kuala Lumpur, 28 – 30
September 2017 (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar