MENYONGSONG SISMI17 DI KUALA LUMPUR
Oleh: ABRAR KHAIRUL IKHIRMA- INDONESIA
Etnik Melayu kian menyebar dari tahun ke tahun
secara alamiah, dengan sendirinya budaya dan bahasa tentulah juga mengalami
pembaharuan. Semangat perubahan itu dapat dipahami seiring perubahan zaman dan
regenerasi. Namun selalu mencemaskan itu ialah “benang merah” budaya dan bahasa
Melayu menjadi “putus,” digunting tajamnya budaya asing, yang terus “memainkan
perannya” melalui berbagai lini “pertemuan” antar bangsa.
MAKAM RAJA ALI HAJI DI PULAU PENYENGAT |
Ketuaan bahasa dan sastra Melayu
itu setidaknya dapat dilihat dengan periodesisasi perjalanan Sastra Indonesia.
Dimana telah mengalami perkembangan dan perubahan-perubahan yang menyesuaikan
dengan zamannya.
Periodisasi Sastra Indonesia
terbagi menjadi 2 bagian besar, yaitu: lisan dan tulisan. Secara urutan waktu
maka sastra Indonesia terbagi atas beberapa angkatan: Angkatan Pujangga Lama,
Angkatan Sastra Melayu Lama, Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru,
Angkatan 1945, Angkatan 1950 - 1960-an, Angkatan 1966 - 1970-an, Angkatan 1980
- 1990-an, Angkatan Reformasi dan Angkatan 2000-an.
Sebagaimana sudah disebutkan
bahwa dengan masuknya agama Islam ke nusantara, juga memberikan warna Islami di
dalam kelahiran karya-karya sastra (baik lisan maupun tulisan) Melayu, yang
menjadi suatu rumpun budaya. Masa periodisasi yang dicatat pada masa awal ini,
disebut sebagai Angkatan Pujangga Lama.
Berpedoman sejak masa Pujangga
Lama sampai saat ini, telah banyak melahirkan karya-karya sastra, sekaligus
mencatatkan nama-nama yang semakin ramai pula. Dalam keramaian pertumbuhan dan
perkembangan penerbitan serta semakin meningkatnya sarana penyebarluasannya
kini, hampir tak terikuti kemunculan dan ketenggelaman nama karya-nama
penulisnya.
Perkembangan yang terjadi dari
masa ke masa dalam Sastra Melayu, sesuai tuntutan zaman membutuhkan
pembaharuan. Pembaharuan tersebut dikenali sebagai suatu produk modern. Rintisan
ke arah bahasa Melayu Modern dimulai ketika Raja Ali Haji, sastrawan istana dari Kesultanan Riau Lingga, secara sistematis menyusun kamus ekabahasa
bahasa Melayu (Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamus Loghat
Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga penggal yang pertama) pada pertengahan abad
ke-19.
Perkembangan berikutnya terjadi
ketika sarjana-sarjana Eropa (khususnya Belanda dan Inggris) mulai mempelajari
bahasa ini secara sistematis karena menganggap penting menggunakannya dalam
urusan administrasi. Hal ini terjadi pada paruh kedua abad ke-19. Bahasa Melayu
Modern dicirikan dengan penggunaan alphabet
latin dan masuknya banyak kata-kata Eropa.
Pengajaran bahasa Melayu di sekolah-sekolah sejak awal abad ke-20 semakin
membuat populer bahasa ini.
DIANTARANYA LITERATUR MELAYU |
Nilai-nilai Islami dalam
periodisasi perkembangannya, juga mengalami masa “ancaman” tatkala ada
kepentingan politis, diantaranya kepentingan kekuasaan dan bisnis. Dalam
sejarahnya terjadi di masa awal abad 19, dimana “bertebaran” bacaan cabul dan
disebut liar, dihasilkan produk sastra yang dinilai sebagai sastra Melayu
Rendah.
Sastra Melayu Rendah ini dianggap
bertujuan politis, menyoroti kehidupan pernyaian.
Untuk mengantisipasi hal tersebut konon telah mendorong pendirian Balai
Pustaka. Dimana Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa
Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dengan
bahasa Bali, bahasa Batak dan bahasa Madura.
Melihat pemakaian bahasa sesuai
dengan etnik dan daerah itu, adalah langkah cerdas di zamannya, agar karya
sastra mendekati pembacanya lebih cepat. Menarik dan mudah dipahami. Dengan
demikian karya sastra tidak memiliki jarak dengan masyarakatnya. Sehingga
memiliki keterhubungan sesuai dengan fungsi sastra, antara karya dan pembaca.
“Di Indonesia, pendirian Balai
Poestaka (1901) sebagai percetakan buku-buku pelajaran dan sastra mengantarkan
kepopuleran bahasa Melayu dan bahkan membentuk suatu varian bahasa tersendiri
yang mulai berbeda dari induknya, bahasa Melayu Riau.
Kalangan peneliti sejarah bahasa
Indonesia masa kini menjulukinya bahasa
Melayu Balai Pustaka atau bahasa Melayu
van Ophuijsen. Van Ophuijsen adalah orang yang pada tahun 1901 menyusun
ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin untuk penggunaan di Hindia Belanda. Ia
juga menjadi penyunting berbagai buku sastra terbitan Balai Pustaka.
Dalam masa 20 tahun berikutnya, bahasa
Melayu van Ophuijsen ini kemudian dikenal luas di kalangan orang-orang pribumi
dan mulai dianggap menjadi identitas kebangsaan Indonesia. Puncaknya adalah
ketika dalam Kongres Pemuda II (28
Oktober 1928) dengan jelas dinyatakan, menjunjung bahasa persatuan, bahasa
Indonesia. Sejak saat itulah bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa
kebangsaan” (Wikipedia)
MAKAM M. YAMIN TOKOH KONGRES BAHASA DI TALAWI |
Angkatan
Balai Pusataka merupakan karya sastra di Indonesia yang terbit sejak tahun
1920, yang dikeluarkan oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel,
cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di
Indonesia pada masa ini.
Tentu
perjalanan sejarah dan kesastraan Melayu ini akan menjadi beragam sesuai dengan
dinamika zamannya. Masing-masing Negara serumpun tentu juga memiliki
periodesasi karya sastra dan sastrawan mereka. Semisal khususnya di Tanah
Semenanjung Malaysia, Malaysia dan Thailand-Selatan. Singapura, Brunei
Darussalam atau pun Philipina-Selatan.
Pertumbuhan
dengan pembaharuan, pembaharuan dengan perkembangan, adalah dinamika yang tak
dapat ditolak. Berkembangnya ilmu pengetahuan, terjadinya kemajuan sarana
informasi dan teknologi, dengan sendirinya akan menjadikan sastra bertumbuhan,
sesuai tema dan gayanya. Pada satu sisi terjadi pengaruh dan peniruan
dimana-mana. Sedang di sisi yang lain, mendorong lahirnya karya-karya kreatif
memiliki akar yang jelas pada budaya dan bahasanya.
Di
dalam derasnya pertumbuhan sastra zaman ini, dirasakan sedikit kehadiran kritikus,
apresiator, documentator dan pemerhati, dalam memberikan “menggaris-bawahi”
atau “mengikuti” karya (penting) sastra yang “berakar jelas” dan mewakili
“cerminan” zamannya. Dapat dikatakan juga, disebut sebagai karya “sastra yang
berbicara.”
Kini terselenggara
berbagai peristiwa sastra semacam bedah buku, diskusi dan seminar di berbagai
tempat tapi adakah dari semua itu memiliki “gezah,” setelah acara selesai dan
semuanya kembali memasuki kerutinannya. Menjadi tak sekadar catatan tapi dapat
memberikan sumbangan kepada langkah-langkah pemikiran zaman ini dan masa depan.
Hal
seperti demikian adalah suatu pertanyaan dan tantangan bagi SISMI17 atau
sesudahnya. Kini nusantara rentan diliputi dilema “racun” politik yang
“membonceng” agama. Tampaknya adalah hal actual jika seminar kali ini, ingin
menelusuri Sastra Melayu Islam. Karena memiliki nilai positif memberikan
penyegaran atau pun kemungkinan alternative untuk masa mendatang bagi kalangan
dunia sastra.
Diyakini
SISMI17 melalui kertas kerja yang akan dibentangkan, tentu belum “menyentuh”
penelusuran kepada “wajah sastra” dalam rentang kurun waktu terakhir ini. Kalau
pun ada, tampaknya tentu tidak titik fokusnya kepada “situasi” dimana
“maraknya” persoalan isyu agama “mewarnai” dimana-mana.
Karenanya
di lain waktu, kiranya adalah suatu “kehangatan” bagi pengamat atau kritikus
sastra Melayu, untuk dapat menelusuri karya-karya sastra yang terlahir di zaman
ini, adakah yang “berbicara” perihal situasi zamannya? BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar