Bagiku perjalanan kali ini, tidak
sama dengan perjalanan berwisata. Entah bagi orang lain. Aku tidak tahu. Tidak
pula hendak membicarakan mereka. Sebab lain orang lain pula cara mereka
memaknakannya. Bagiku tujuanku hanya semata-mata untuk beribadah. Tidak bertujuan
melihat-lihat Mekkah dan Madinah untuk bersantai.
|
BERSAMA M. ABBAS PANE TEMAN DARI MEDAN RUANG MAKAN AT MUBARAK ALMASEE HOTEL |
Kalau hanya sekadar bertujuan
wisata, aku jauh hari pernah berkeinginan untuk dapat mencapai Yunani. Hanya
sebagai suatu keinginan, tidak merupakan impian. Andaikan aku dapat kesempatan
bepergian keluar negeri dan diberi pilihan maka kupilih Yunani sebagai Negara
tujuan.
Yunani, nama resmi Republik
Hellenik, juga dikenal sejak zaman purba sebagai Hellas, adalah sebuah Negara tempat lahirnya budaya Dunia Barat,
yang berada di Eropa bagian tenggara, terletak di ujung selatan Semenanjung
Balkan, di bagian timur Laut Tengah (Mediterania). Yunani memiliki sejarah
panjang dan kaya, membawa pengaruh budaya besar pada tiga benua. Pada masa
modern ini, Yunani adalah Negara maju dengan indeks pembangunan pendapatan per
kapita yang tinggi.
“Di
daerah Yunani inilah kebudayaan Eropa pertama kali muncul, dimulai dengan
peradaban "Cycladic" di kepulauan Laut Aegea sekitar 3000 SM,
peradaban "Minoan" di pulau Kreta (2700–1500 SM) dan peradaban
"Mycenaean Greece" di tanah utama (1900–1100 SM). Periode antara 1200
dan 800 SM dikenal sebagai "Greek Dark Ages" diperkirakan setelah
serangan orang Doria, yang mengakhiri zaman Mycenea. Dua karya sastra Yunani
terkenal, Illad dan Odyssey karya Homer, ditulis dalam zaman
ini.” (Wikipedia)
Di
akhir zaman kegelapan Yunani, muncul
berbagai Negara dan kota-negara di seluruh peninsula Yunani. Terciptanya
tingkat kemakmuran yang tinggi dengan perkembangan budaya, sesuai dengan
bukti-bukti peninggalan arsitektur, drama, ilmu dan filsafat, yang masih dapat
dijumpai, terpelihara dalam lingkungan demokrasi.
Konstitusi Yunani menjamin kebebasan
mutlak dalam beragama. Yunani juga menyatakan bahwa setiap orang yang tinggal
di wilayah Yunani akan menikmati perlindungan penuh akan kepercayaan mereka.
Sebagai tambahan, setiap aktivitas yang berhubungan dengan pembangunan rumah
ibadah resmi harus disetujui terlebih dahulu oleh Gereja Ortodoks. Nyatanya,
agama mayoritas di Yunani adalah Gereja Ortodoks Timur (94%)
Keinginan
untuk sampai ke Yunani itu tak pernah tercapai, walau pun aku sudah pernah
berkesempatan keluar Negara. Bisa jadi hanya karena sebuah keinginan, tidak
merupakan impian. Sehingga tidak ada usaha upaya menemukan jalan dalam
mewujudkannya. Karena tidak impian, tidak terwujud ke Yunani, tidak membuatku
harus bersedih. Aku percaya antara usaha dan doa, antara keinginan dan
kegigihan, antara hidup dan jalan kehidupan, sudah ditentukan Allah.
Bukti nyata
bagiku, kini aku dapat menjejak Tanah Suci. Ada jalan kemudahan yang
diberikanNya untukku, untuk dapat melaksanakan ibadah. Sepintas bagaikan mimpi
tapi jelas tidak mimpi! Ini suatu kenyataan. Aku pernah berkeinginan untuk
melaksanakan ibadah Haji. Keinginan yang terbersit dalam hati, disaat usiaku
menjelang 40 tahun. Namun kenyataannya sepanjang masa, aku berada dalam situasi
konflik batin “teramat dahsyat” sekaligus menghadapi kegetiran hidup di “jalanan”
dengan “kesendirian.”
Setelah
melintasi masa “kegoncangan” lahir batin, penuh dengan berbagai cobaan,
menuntut kejernihan akal pikiran serta kesabaran untuk menerima kenyataan,
sebelum berakhir usia 40-an, terbersit bahwa menunaikan ibadah Haji tak mungkin
teraih sekejap. Harus mengumpulkan uang yang tidaklah mudah bagiku. Lalu harus
meliwati quota jamaah dari negaraku
sendiri. Timbullah keinginan alternative pabila ada kesempatan aku ingin
melaksanakan Umroh.
|
BERSAMA JAMAAH DARI JAKARTA DAN PULAU JAWA BERSANTAI DI PEDESTRIAN |
Allah
kiranya menentukan jalan bagiku. Dia memberikan kemudahan diluardugaanku
sendiri. Dia mempercepat waktu yang semula bagiku tidaklah mungkin aku dapatkan
dengan singkat. Sementara ada sebagian dari kisah-kisah pernah kuketahui
sebelumnya. Ada mereka ditimpa musibah jauh sebelum keberangkatan.
Keberangkatan tertunda-tunda. Ada yang harus membayar lebih mahal ongkosnya
dari ongkos yang semula ditetapkan. Bahkan ada juga tertipu. Terperosok pada
layanan abal-abal. Penyedia jasa layanan
ibadah hilang lenyap tak diketahui rimbanya.
Perihal
musibah demikian tidak mungkin terlepas dari izin Allah. Memalukan dan
menyakitkan. Namun hal demikian adalah cobaan. Kita prihatin kepada mereka yang
ditimpa musibah. Kita juga meyayangkan pada penyedia layanan yang memanfaatkan.
Bagi kita semua, tentulah diberi hikmah, agar berusaha untuk sebaik-baiknya,
sejak mula membersihkan lahir batin menuju ke jalanNya, diredhoi dan dirahmati.
Setiap jalan yang dilalui Insyaallah penuh kemudahan.
Waktu
sebelum berangkat esok hari, ibuku berpesan mengingatkan kebiasaanku merokok.
Aku mengarifi pesan sepintas itu. Aku sendiri tak pernah terpikirkan apakah aku
akan membawa rokok atau tidak. Bagiku hal itu tidak terlalu penting. Yang
penting, apapun yang dapat mengganggu perjalanan dan ibadah tidak akan kuikuti.
Aku memang
tidak ingin membawa rokok meskipun hanya sebungkus. Tidak pun diingatkan ibu.
Kalau pun kubawa setelah dipesankan ibu, walau hanya sebungkus, hanya akan
mendatangkan perkara nantinya. Aku tak hendak ada perkara. Itu kuyakini benar.
Apalagi bepergian ke Tanah Suci. Apapun dapat terjadi pabila Allah berkehendak.
Bukankah sudah disebutkan kata-kata orangtua, apalagi seorang ibu adalah do’a?
Merokok
bagiku hanyalah soal kebiasaan. Kebiasaan yang masih dapat dikendalikan. Tidak
merokok tidak menjadi soal. Misalnya tidak ada yang menjualnya. Tidak mempunyai
wang. Mempunyai wang tapi ada hal lain lebih dibutuhkan. Tidak berada di tempat
untuk merokok atau situasinya tidak untuk merokok. Simple saja. Karenanya aku
tak pernah “menggubris” berbagai alasan pembenaran terhadap merusak kesehatan.
Sampai saat
ini, aku tetap mencurigai “maklumat” internasional itu ada misi politis di
baliknya. Karenanya, menurut hematku, pemerintah negaraku lebih tepat
“membudayakan” kedisiplinan merokok. Tidak merokok sembarangan. Sebab budaya
disiplin itu sangat rendah. Daripada melarang dan memberlakukan cukai tembakau
“setinggi langit,” kemudian “ikut-ikutan” mengatakan “merusak kesehatan.”
Karena secara umum, masyarakat kita tahu ada banyak hal jauh lebih merusak
kesehatan, akibat adanya perdagangan, industry atau pun lingkungan tak
terkendali.
|
KAMI AKRAB SAMPAI KE MEKAH SELALU BERSAMA BERSHOLAT DI MASJIDIL HARAM AKU DAN M. ABBAS PANE |
Dalam
sejarahnya yang pernah diteliti para ahli, manusia yang diketahui pertamakali
merokok adalah suku bangsa Indian di Amerika. Suku Indian melakukannya untuk
keperluan ritual seperti memuja dewa atau roh. Kemudian di abad 16, penjelajah
dari Eropa menemukan Amerika. Diantaranya mencoba-coba menghisap rokok. Lalu
mereka membawa tembakau ke Eropa.
Kebiasaan merokok mulai muncul di
kalangan bangsawan Eropa. Tapi berbeda dengan bangsa Indian merokok untuk keperluan ritual, di Eropa
orang merokok hanya untuk kesenangan semata-mata. Abad 17 para pedagang Spanyol
masuk ke Turki dan saat itu kebiasaan merokok mulai masuk Negara-negara Islam.
Setiap
selesai makan aku selalu segera meninggalkan ruang makan, yang terletak di
lantai 2 penginapan. Kalau tidak bersegera menuju Masjid Nabawi, sudah pasti
kembali ke kamar. Ruang makan pada jam makan selalu ramai. Selain anggota
rombongan travel agent kami, juga ada rombongan jamaah Umroh travel lainnya
dari Indonesia, juga menginap di hotel yang sama. Termasuk jamaah dari
Malaysia.
Pertemuan di
ruang makan, suatu hal menyenangkan. Suasana ramai adalah menggembirakan.
Termasuk rasa kekeluargaan terjalin dengan sendirinya. Saling mengenal satu
sama lainnya terjadi dengan alamiah. Hal yang tak disengaja dalam perjalanan
serupa ini, terkadang terlupakan adalah waktu untuk menunjukkan keterhubungan
sesama mukmin. Orang muslim bersaudara.
Ada orang
berbeda daerah, berbeda Negara, secara kebetulan duduk berdampingan di meja
makan yang sama. Tidak mungkin tidak saling menyapa. Mungkin hal sederhana
dengan senyuman setelah saling berpandangan. Atau lebih jauh bercakap-cakap,
diawali hal remeh temeh. Kemudian berlanjut saling membuka diri perihal daerah,
pekerjaan dan keluarga. Hal itulah kemudian aku temukan dari sebuah ruang makan
penginapan ini.
Muhammad Abbas Pane, jamaah dari Medan, Sumatera Utara, akhirnya kami berteman. Kami satu
rombongan dari travel agent yang sama. Dia tampaknya lebih banyak berdiam. Perawakannya
tenang. Sewaktu makan tidak buru-buru. Rupanya, setiap jam makan malam, Pane
tidak langsung meninggalkan ruang makan. Ia akan duduk bersantai dulu. Minum
kopi dan merokok. Kalau sudah tidak ramai, merokok di ruang itu tidak
mengganggu orang. Juga tidak dilarang.
Malam ketiga
berada di Madinah itu, karena makan malamku sudah di penghujung waktu, aku juga
ikut bersantai dengan Pane sambil bercakap-cakap. Tetapi aku tidak merokok. Aku
tidak memiliki rokok. Kalau pun aku minta agak sebatang pada orang-orang yang
terlihat merokok, tidak mungkin tidak diberinya, namun tidak satupun rokok yang
kusukai. Pane menawarkan miliknya tapi karena tidak sama, aku tolak. Pane hanya
membawa satu bungkus rokok dari tanah air. Ia merokok sekadarnya saja. Jadi
rokoknya masih banyak.
Sejak itu
selama perjalanan Umroh aku dan Pane menjadi sering bercakap-cakap. Bahkan
sesampai di Kota Mekah kami berdua ditempatkan satu kamar di penginapan.
“Cocoklah abang dengan abang Pane tu. Sama-sama ahli hisap,” kata Muhammad
Azmi Nasution, saudara Pane yang sama-sama berumroh.
Istilah
“ahli hisap,” sudah popular dalam masyarakat Indonesia, untuk menyebut
orang-orang yang suka merokok. Ahli hisap merupakan “plesetan” dari sebutan
“hisab.” Hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk
menentukan posisi bulan dalam menetapkan dimulainya awal bulan pada kalender
Hijriyah. Kalender Islam.
“Hisab
secara harfiah ‘perhitungan. Dalam dunia Islam istilah hisab sering digunakan
dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi Matahari dan Bulan
terhadap Bumi. Posisi Matahari menjadi penting, karena menjadi patokan umat
Islam dalam menentukan masuknya waktu sholat. Sementara posisi Bulan
diperkirakan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode
bulan baru dalam kalender Hijriyah. Hal ini penting terutama untuk menentukan
awal Ramadhan saat muslim mulai berpuasa, awal Syawal (Idul Fitri), serta awal
Dzulhijjah saat jamaah Haji wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah) dan Idul Adha (10
Dzulhijjah).” (Wikipedia)
Jadi plesetan hisab kepada orang yang perokok
dikatakan ahli hisap itu, aku kira plesetan berhikmah. Diantara kepopuleran
ahli hisap, dengan sendirinya kita akan diingatkan akan pentingnya suatu
penghitungan di dalam kehidupan. Terutama dalam beragama Islam. Perhitungan
dalam berbagai kemungkinan dan penghitungan jumlah dan komposisi. Tanpa ada
ukuran atau standar manusia akan kehilangan keseimbangan. Di dalam Islam aku
kira, semua hal itu pabila dipelajari dan dilaksanakan dengan baik, tidak akan
mendatangkan keraguan atau hal yang tak pasti.
Bila kita
telusuri dengan sabar, dalam Alquran pada surat Yunus (10) ayat 5, dikatakan bahwa Allah memang sengaja menjadikan
Matahari dan Bulan sebagai alat menghitung tahun dan perhitungan lainnya.
Dipertegas pada surat Ar-Rahman (55)
ayat 5, disebutkan bahwa Matahari dan Bulan, beredar menurut perhitungannya.
|
BERSAMA SEORANG ASAL MADURA MENJADI MUNTAWIF JAMAAH UMROH DI KOTA MADINAH |
Berkembangnya
peradaban, juga diikuti perkembangan ilmu pengetahuan. Termasuk dalam
penghitungan modern Islam. Tercatat astronom muslim yang telah mengembangkan
hisab modern yakni Al Biruni (973-1048), Ibnu Tariq, Al Khawarizmi, Al Batani
dan Habash. Sebagai ilmuwan mereka telah mengembangkan metode hisab.
Tidak banyak
mungkin diantara kita yang menyadari, ibadah-ibadah dalam Islam terkait
langsung dengan posisi benda-benda langit, terutama adanya Matahari dan Bulan.
Karenanyalah, jika dipelajari sejak awal peradaban, Islam menaruh perhatian
besar terhadap dunia astronomi. Dewasa
ini, metode hisab telah menggunakan komputer dengan tingkat presisi dan akurasi
yang tinggi. Berbagai perangkat lunak (software) yang praktis juga telah
ada.
Khusus
di Indonesia, diketahui ada beberapa criteria yang digunakan untuk penentuan
awal bulan pada Kalender Hijriyah yaitu; Rukyatul Hilal digunakan oleh
Nahdlatul Ulama, Wujudul Hilal digunakan oleh Muhammadyah dan Imkanur
Rukyat MABIMS (adalah criteria penentuan awal bulan ---kalender---
Hijriyah ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama, Brunei
Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura. Dipakai secara resmi untuk
penentuan awal bulan pada Kalender Resmi Pemerintah).
Bagi
kami masyarakat pesisir, rantau dari 3 Luhak Minangkabau (Agam, Tanah Datar dan
50 Koto), selama ini pertikaian masuknya bulan puasa Ramadhan dan berhari raya
Idul Fitri, sudah biasa saja. Sudah dikenali dan dipahami sebahagian besar
masyarakat.
Dari
tahun ke tahun daerah Pariaman berhari rayanya tidak satu atau dua hari tapi
sepekan lamanya, tetap disebut sebagai Hari Raya. Pertikaian hari tidak jadi
persoalan yang mendasar. Saling menerima dan menghormati saja. Berbeda secara
nasional. Pertikaian seringkali dijadikan isyu yang saling merebut pengaruh.
Tentu saja isyu bersifat “politis.”
Padahal
suatu yang wajar saja. Metode penentuan criteria menetapkan awal bulan Kalender
Hijriyah, berbeda pula hari melaksanakan ibadah seperti puasa Ramadhan atau
Hari Raya Idul Fitri. Di Indonesia, perbedaan itu pernah terjadi beberapakali.
Pada
tahun 1992 (1412 H), ada berhari raya Jum’at 3 April, mengikuti Arab Saudi, ada
pada Sabtu 4 April sesuai rukyat NU dan ada pula hari Minggu 5 April,
berdasarkan pada Imkanur Rukyat.
Penetapan
awal Syawal juga pernah mengalami perbedaan pendapat tahun 1993 dan 1994. Yang
menarik pada peristiwa di tahun 2011. Dalam kalender resmi Indonesia sudah
tercetak bahwa awal Syawal adalah 30 Agustus 2011. Namun siding isbat
memutuskan awal Syawal berubah menjadi 31 Agustus 2011. Muhammadyah tetap pada
pendirian bahwa awal Syawal adalah 30 Agustus 2011.
Tahun
berikutnya, tahun 2011 terjadi lagi perbedaan. Dimana Muhammadyah menetapkan
awal Ramadhan pada 20 Juli 2012, sedangkan sidang isbat menentukan bulan
Ramadhan ialah pada 21 Juli 2012.
Kembali
lagi pada hisap (merokok) dan hisab (menghitung). Tergantung
keyakinan dan menghormati pada pilihan. Bertoleransilah terhadap perbedaan.
Semisal,
pada hari ke 4 berada di Madinah, aku pun membeli dari “tangan seseorang”
sebungkus rokok kretek produk Indonesia. Berkat menjadi ahli hisap, aku pun
saling mengenal jamaah lain yang berbeda rombongan dan daerah walau sesama dari
Indonesia. Ketika sama-sama mencari tempat yang tak dilarang untuk merokok (*) copyright: abrar khairul ikhirma