CATATAN:
ABRAR KHAIRUL IKHIRMA - Indonesia
“Di sinilah sastra sebagai ilham bagi kebudayaan akan menghidangkan sesuatu yang akan memberikan pencerahan dengan caranya sendiri dan dengan bahasanya sendiri yang kreatif yaitu, bahasa kemanusiaan yang baru dan segar dengan mencintai Manusia dan Kemerdekaan. Puisi ialah suara Kemanusiaan dan Kemerdekaan,” ujar penyair Zawawi Imron yang membentangkan pemikirannya “Puisi dan Jiwa Merdeka.” Penyair Indonesia asal Madura ini, menjadi “bintang” di auditorium Dewan Bahasa Pustaka (DBP) pada “Temu Penyair Asean 2016,” 3 September 2016 di Kuala Lumpur.
“Di sinilah sastra sebagai ilham bagi kebudayaan akan menghidangkan sesuatu yang akan memberikan pencerahan dengan caranya sendiri dan dengan bahasanya sendiri yang kreatif yaitu, bahasa kemanusiaan yang baru dan segar dengan mencintai Manusia dan Kemerdekaan. Puisi ialah suara Kemanusiaan dan Kemerdekaan,” ujar penyair Zawawi Imron yang membentangkan pemikirannya “Puisi dan Jiwa Merdeka.” Penyair Indonesia asal Madura ini, menjadi “bintang” di auditorium Dewan Bahasa Pustaka (DBP) pada “Temu Penyair Asean 2016,” 3 September 2016 di Kuala Lumpur.
Zawawi Imron, dengan
bernas memaparkan pemikirannya terhadap puisi dan keberadaan penyair di
masyarakat. Presentasinya hampir tak membuat ruang hampa. Namun menciptakan
suatu penyegaran pemikiran. Zawawi penuh pandangan luas kesastraan dan Islami.
Kutipan-kutipan yang disebutkannya sebagai referensi sepanjang sesi Ucap Utama, menjadi penguat sisi
telaahannya, “Menyepelekan estetika
artinya identik dengan tidak memberikan tempat kepada ‘rasa’ sedangkan rasa dan
perasaan itu salah satu karunia Allah yang sangat mahal. Dengan rasa, manusia
mampu menghayati dan menangkap keindahan yang membias sebagai nuansa pada alam
dan kehidupan. Mematikan rasa dan perasaan ialah pengingkaran terhadap fitrah.”
Zawawi berbicara di hadapan forum tak membaca teks
makalahnya. Makalahnya sudah ditulis di “kepalanya.” Beliau “menjelma” bagaikan
seorang orator di hadapan masyarakat
sastera. Pun juga bak seorang ustad
tampil di wirid kesastraan. Vokal, intonasi, gesture dan penyampaian yang
runut, telah memukau peserta Temu Penyair Asean 2016. Bahkan sejumlah peserta
terdengar berucap; “Dia seorang hafiz puisi,” tatkala Zawawi disela-sela penyampaiannya, membacakan puisi-puisi yang
dikutipnya dengan pas tanpa cacat.
Pembahasan yang menjadi topic pembicaraan Zawawi disampaikan
dengan jernih. Suatu penyegaran pemikiran kita dalam memandang hasil sastra,
terutama puisi-puisi yang ditulis para penyair. Tentu saja penyair yang
berhasil menempatkan puisinya sebagai karya sastra. Zawawi menyebutkan, betapa
puisi seorang yang masih relative berusia muda dapat merubah seorang pemimpin
yang jauh lebih tua darinya. Karena sama-sama ingin menggelorakan semangat
kemerdekaan. Terjadi dalam sejarah Indonesia, bagaimana puisi yang ditulis
penyair Chairil Anwar, menjadi
inspiratif dan dibacakan oleh Soekarno,
Sang Proklamator dan Presiden Republik Indonesia di hadapan rapat umum di
Jakarta.
Sebelum tampilnya Zawawi Imron dari Indonesia, acara diawali
dengan pembukaan resmi dan peluncuran buku, “Puisi Wadah Suara Kemanusiaan,” editor Mohamad Saleeh Rahamad, terbitan ITBM-Pena Malaysia. Buku tersebut
merupakan himpunan makalah “Temu Penyair Asean 2016” dan “Temu Penyair Asean
2015.” Sebuah buku yang menggabungkan makalah pada tahun berbeda dan tema tak
serupa tapi pada konteks acara yang sama, menarik dan patut dimiliki untuk dibaca.
Dengan covernya didominasi latar putih,
terasa tidak menjadi “menakutkan” bagi pembaca yang menganggap sebagai “bacaan
berat,” membuat kening berkerut. Hampir secara keseluruhan ditulis dengan
bahasa yang segar.
Menjadikan makalah ke dalam kumpulan buku ini, merupakan hal
yang patut dipujikan. Karena merupakan sumbangan memperkaya kebutuhan bahan
bacaan dan referensi, dalam mengamati perjalanan sastera dewasa ini. Cover,
penataan tata letak isi, juga kualitas cetaknya tidak mengecewakan. Begitu
juga, dari banyak pengalaman hal semacam ini, makalah-makalah selepas kegiatan
hanya terbuang atau pun tersimpan begitu saja, bahkan hilang bagi setiap
peserta. Akan tetapi jika berbentuk sebuah buku, nasibnya tentu menjadi lain.
Sebagaimana dikatakan Mohamad Saleeh Rahamad, editor dan
Presiden PENA, dalam pengantar buku ini, “Daripada
kedua-dua forum tersebut, banyak pandangan, paparan sejarah, idea yang
konseptual, dan pencerahan tentang sastera di Negara-negara serantau dapat
dikutip untuk tulisan yang pelbagai. Bagi peneliti sastera, bahan tersebut
merupakan sumber yang sangat penting, manakala bagi aktivis sastera yang
merancang untuk mengakrabkan hubungan antara sasterawan serantau, bahan itu
menjadi landasan yang bermanfaat. Pertemuan akademik dan sasterawan sebegini
merupakan medan pertukaran maklumat dan peneguhan solidarity.”
Pertemuan Penyair Asean tahun 2016 ini adalah merupakan kali
kedua diselenggarakan ITBM
(Institute Terjemahan Buku Malaysia) – PENA
(Penulis Nasional) Malaysia dan DBP
(Dewan Bahasa Pustaka) Malaysia di Kuala Lumpur. Pada tahun 2015 dengan tema, “Puisi: Suara Kemanusiaan.” Sedangkan
pada 2016 ini bertemakan, “Puisi: Untuk
Diri atau Masyarakat.” Acara terkait didahului pada malam 2 September 2016
dengan “Puisi Akrab Asean 2016,” di
Rumah Pena. Dimana para penyair Asean berkesempatan membacakan puisi dan
musikalisasi puisi. Esoknya, bertempat di Auditorium DBP dilaksanakan
pembukaan, peluncuran buku dan forum penyair dari pagi sampai petanghari.
Malamnya dilanjutkan dengan baca puisi.
Selain kehadiran Zawawi Imron dari Indonesia sebagai “Ucap
Utama,” tampil pada forum penyair tahun 2016 ini pemakalah yang dibagi pada
tiga sesi. Puisi Sebagai Suara Diri atau
Masyarakat: Muhammad Lutfi Ishak
dari Malaysia, “Puisi: Suara Diri atau Masyarakat ,” Ahmadun Yosi Herfanda
dari Indonesia, “Suara Penyair Suara Masyarakat; ” Sa’eda Buang dari
Singapura, “Merenung Kembali Puisi: Untuk Diri atau Untuk Masyarakat,” Haji
Mohamad bin Rajab dari Brunei Darussalam, “Puisi Siber di Brunei
Darussalam Satu Pembicaraan.”
Penyair dan Kebebasan
Ekspresi: Malim Ghozali Pk dari Malaysia, “Penyair dan Kebebasan
Ekspresi,” Shirley O Lua dari Filipina, “The Filipino Poets and History of
Pain,” Oum Shupany dari Kamboja, “Poet and Freedom of Expression.” Hamed
Ismail dari Singapura, “Konflik Penyair: Keluar Pintu Lama Masuk Pintu
Baru.” Tanggungjawab Penyair dalam
Masyarakat: Han Lynn dari Myanmar, “Contemporary Burmese Poets and
Society,” Pensupa Sukkata dari Thailand, “The Responsibility of the Poet
and Society,” Lim Swee Tin dari Malaysia, “Peranan Penyajak dalam
Masyarakat,” dan Rukmi Wisnu Wardani dari Indonesia, “Tanggungjawab Penyair
dalam Masyarakat.”
Suatu hal wajar pertanyaan tentang “suara” puisi dan
hubungannya dengan masyarakat, dijadikan sebagai tema pada Temu Penyair Asean
kali ini. Dalam pelbagai kegiatan sastra maupun kritikan para kritikus selama
ini, pertanyaan-pertanyaan serupa juga seringkali bermunculan, ketika
direntangkan akan nilai sebuah karya dan peranan penyair pada kesastraan.
Karena pada akhirnya sejauhmana karya dan penyair berada dalam masyarakat
sastra dan masyarakat secara lebih luas diluar sastra. Masyarakat dengan multi
latar belakang. Merupakan suatu pertanyaan yang akan tetap actual.
Relevansi tema acara pun dapat dipujikan. Baik topic maupun
temanya sangat actual kiranya digemakan dewasa ini. Tentu saja sesuai dengan
“suburnya” pemunculan komunitas dan “kepenyairan” dimana-mana. Terutama dapat
dilihat di Malaysia maupun di Indonesia. Penerbitan buku puisi hampir tiap saat
dan kegiatan sastra pun kian bergiat. Pertumbuhan dan perkembangan itu akan
menjadi “terlepas” begitu saja, kalau tidak “terpublikasikan” dan tidak menjadi
“pembicaraan.” Alangkah “memprihatinkan” malah tidak “terdokumentasikan.”
Peranan apresiator, baik pengamat otodidak maupun kritikus
sastra ---dengan bedahan ilmiah kesastraan--- tetap diperlukan. Sebab hukum
yang lazim kita ketahui, akan lebih baik setiap pertumbuhan juga diiringi oleh
keseimbangan. Keseimbangan demikian itulah kini terasa, betapa “kurangnya” kita
memiliki mereka yang “berjaga-jaga” di garis “keseimbangan” dalam mengamati,
mencatat dan mengapresiasi pada kelahiran karya-karya dan kehadiran para
pengkarya itu sendiri.
Pertumbuhan dan perkembangan, penyair dan karya puisinya,
sangat dirasakan ketika teknologi internet menyediakan ruang yang mampu
“menembus batas.” Batas-batas sempit dan teramat terbatas dulunya, kini “sangat
tidak berbatas.” Setiap orang, penyair atau tidak, dapat menuliskan dan
memposting apa yang terlintas di pikirannya tanpa harus melalui seleksi
keredaksian. Dia berkarya, dia mengoreksi-memutuskan dan dia pula sendiri yang
mempublikasikannya di jejaring media social. Berbeda dengan media konvensional,
karya harus melalui pelbagai pertimbangan keredaksian dan penerbit, sebelum
dipublikasikan kepada masyarakat.
Pemanfaatan media internet dan jejaring media social telah
membantu pertumbuhan penyair dan perkembangan pempublikasian puisi pada
masyarakat (public). Tetapi ditengah-tengah
situasi yang demikian, tentu menarik juga pekabaran hasil pengamatan Haji
Mohamad bin Rajap dari Brunei Darussalam. Penyair ini menyampaikan hasil
“penelitiannya” mengamati media blog dan media social fesbook di negaranya. “Saya telah menelusuri beberapa laman web,
blog, dan facebook yang dimiliki oleh penulis Brunei yang muncul di internet.
Sebagai hasilnya hanya terdapat beberapa buah laman web, blog dan fb yang
mempunyai kandungan mengetengahkan karya-karya sastera seperti sajak, cerpen,
kertas kerja, komentar dan juga kegiatan sastera di tanah air.”
Topik demikian membuka mata kita pada dua hal. Hal pertama,
dapat dilihat bahwa tidak semua daerah atau Negara “terpikat” menggunakan
kemudahan sarana internet berikut media social untuk bergiat di sastra. Jika
diteliti lebih jauh, tentu akan tersibak hal-hal yang mendasarinya. Hal kedua,
perkara itu menarik dilihat dalam sisi pertumbuhan dan perkembangan sastra yang
diidamkan. Agar karya untuk masyarakat dan dapat bermasyarakat. Artinya perlu
dilakukan penggiatan melalui kegiatan apresiasi.
Menurut Mohamad bin Rajap, “Dalam kebangkitan sastera multimedia di dunia, termasuklah di Brunei
Darussalam, yang paling banyak menerima impak ialah genre puisi/sajak. Oleh
sebab sifatnya yang lebih ringkas dan lebih mudah daripada genre sastera yang
lain, puisi mendapat sambutan yang “baik,” tetapi tidak meluas daripada kalangan
penulis Brunei yang datang dari pelbagai
latar belakang dan bidang, apatah lagi daripada kalangan penulis-penulis
mapan.”
Tampaknya, tidak banyak yang menggaris-bawahi paparan Hamed
Ismail, penyair dari Singapura. Padahal penyair ini diantara pemakalah yang
lain, lebih “mendekat” kepada tema pertemuan. Karena lebih berbicara
“kekinian.” Mungkin perhatian terjebak pada paparannya pada sebuah review dari
“sejarah” pemunculan perpuisian dan penyair. “Keterkaitan” sastra di Singapura
dengan Indonesia dan Malaysia. Hingga “titik” actual itu luput sebagai hal yang
patut diperdebatkan.
Titik actual yang dimaksudkan ialah, pertumbuhan dan perkembangan.
Penyair dan karyanya. Suburnya kini “musim” bersastra diantara Negara serumpun.
Adakah kesuburan juga diikuti dengan kualitas yang dihasilkan? Hamed menyebut, “Penyair yang ingin bebas daripada belenggu
penulisan yang sudah begitu lama terpelihara itu, perlu mempunyai sifat
keberanian untuk meneroka yang baharu. Kerana kebanyakan penyair penyair
pelapis adalah generasi ikutan yang ingin mendapat pengiktirafan oleh generasi
lama.”
Memang tidak dapat pula dipungkiri, semua pemapar makalah
dalam temu kali ini, lebih bersifat menghadirkan rekaman “perjalanan”
kesastraan, khususnya perpuisian dan kepenyairan dari Negara masing-masing.
Sehingga tak terasa kesan sumbangan “pemikiran” yang menajam. Kalau pun ada,
selintas dan luput dari perhatian.
Hampir-hampir tak kita temui statemen dari pemakalah dalam menanggapi
“keadaan” yang direkamnya tersebut.
Kiranya, patut juga review Hamed Ismail kita lekatkan dengan
kekinian yang dimaksudkan itu. Realitas trend pada dunia penyair dan perpuisian
dewasa ini. “Banyak penyair yang
menceburkan diri dalam penulisan puisi yang memerlukan bantuan vocal, lakonan
dan visual. Ia lebih menekankan bentuk luaran, yang pada keseluruhannya dapat
dilihat tanpa bicara. Tidak ada kriteria tertentu. Mungkin penyair ingin
mencari kelainan dan menampakkan
identitinya sendiri hingga menampakkan terlalu diada-adakan dan tidak seimbang
dengan tema dan persoalan yang menjadi isi kepada bentuk visual yang
ditampilkan itu.”
Walau pun baru memasuki tahun kedua kalinya diselenggarakan
Temu Penyair Asean ini, pertemuan ini telah membuka ruang saling bertukar
pengalaman pada kesastraan. Informasi dan komunikasi seperti ini justeru
berpotensi mencerahkan semangat bergiat sastra dan pemahaman terhadap
kemasyarakatan di Negara masing-masing. Semangat keserumpunan budaya nusantara,
sebagaimana didengung-dengungkan pada setiap kegiatan, memang semestinya
dipernyata, secara periodic diselenggarakan acara-acara serupa ini.
Kekalahan budaya selama ini mesti dimenangkan kembali. Cara
perlawanannya ialah menguatkan kebudayaan kita masing-masing. Kesastraan adalah
bahasa kekuatan. Karena bahasalah yang mempersatukan suatu bangsa. Persatuan
pun tidak hanya semangat namun harus disegarkan, harus diperkuat dengan
pemikiran mencerdaskan dan kejiwaan berakhlak baik. Tentu hal tersebut harus
dimulai oleh mereka yang bersigigih mencipta karya-karya sastra yang
inspiratif, mendorong perbaikan hidup dan cara hidup manusia berbudaya
seutuhnya.
Sebagaimana dipaparkan oleh Ahmadun Yosi Herfanda dari
Indonesia, “Suara Penyair Suara Masyarakat,” dengan melihat “Posisi Sosial
Penyair” dan sebagai “Saksi Zaman,” pada karya-karya puisinya. “Penyair dalam pemahaman yang benar, pada
dasarnya adalah saksi sejarah, saksi pergolakan zamannya. Hasil kesaksian atas
dinamika zamannya itu diabadikan mereka ke dalam puisi. Apa-apa pun yang
diabadikan mereka, jika merupakan refleksi daripada aspirasi dan keadaan
masyarakatnya, maka itu adalah suara zaman, dan suara zaman adalah suara
masyarakat --- tentu juga suara sang penyair.”
Semoga untuk tahun-tahun berikutnya, acara ini tetap
diselenggarakan, dengan harapan akan memunculkan tokoh-tokoh penyair yang tidak
hanya mampu menghasilkan puisi namun sekaligus dapat membuka pemikiran dan
memberikan kesegaran “pencerahan.” Yang hasilnya dapat dipetik bersama. Seperti
ITBM-Pena-DBP sebagai penyelenggara telah memulai “mempersatukan” di dalam
“keserumpunan.” (*)
abrar khairul ikhirma
abrarkhairul2014@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar