Saat ini kota Sawahlunto berkembang menjadi kota wisata multi etnik, sehingga menjadi salah satu kota tua terbaik di Indonesia. Di kota yang didirikan pada tahun 1888 ini, banyak berdiri bangunan-bangunan tua peninggalan Belanda. Sebahagian telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah setempat. Mencanangkan Sawahlunto menjadi "Kota Wisata Tambang yang Berbudaya"
1 Desember 2016 ini, Kota Sawahlunto baru saja memperingati
hari jadinya yang ke 128 tahun. Kota ini tidaklah asing bagiku. Dalam berbagai
kesempatan, aku telah mendatangi kota ini. Termasuk menjelang ulang tahunnya
tahun ini. Masyarakat perantau yang berasal dari Pariaman yang sudah lama hidup di Kota Sawahlunto, ikut memeriahkan
hari ulang tahun kota. Memeriahkan dengan menghadirkan seni tradisi arakan Hoyak Tabuik. Selama 3 hari aku berada
di Sawahlunto bersama teman-teman yang sudah lebih awal datang mengerjakan
pembuatan Tabuik setinggi 8 meter.
Selama berada di Kota Tua pertambangan batubara ini, aku
sudah berniat akan memanfaatkan waktuku untuk hobiku memotret. Tentu saja
memotret lekak-lekuk kota pada saat malam hari. Namun niatku sama sekali tidak
terkabulkan. Situasi cuaca tidak berpihak padaku. Baik siang atau pun malam
hari cuaca tidak mengizinkan. Cahaya matahari tak sempurna dan hujan malam
senantiasa.
LORONG DAN BANGUNAN TUA |
Kota Sawahlunto
adalah salah satu kota di provinsi Sumatera Barat, Indonesia. 95 km
sebelah timur laut Kota Padang, dikelilingi oleh 3 kabupaten di Sumatera Barat.
Kabupaten Tanah datar, Kabupaten Solok dan Kabupaten Sijunjung. Kota Sawahlunto
dengan luas 273,45 km² terdiri dari 4 kecamatan. Pada masa pemerintah Hindia
Belanda, Kota Sawalunto dikenal sebagai kota tambang batu bara.
Saat menyebut nama Sawahlunto, aku selalu teringat sebuah
lagu Pop Minang berjudul “Nasib
Sawahlunto.” Salah satu lagu daerah yang kusukai. Pernah dinyanyikan
penyanyi legendaries Elly Kasim dan Tiar Ramon, sampai sesudahnya oleh
sejumlah penyanyi generasi baru. Aku tak sepenuhnya hafal lagu itu tapi aku
menyukai dua lirik dari lagu tersebut, “Dari
tapian ka Sawahlunto, Sawahlunto bukik barantai.”
Ada sejumlah penamaan berkembang dalam masyarakat terhadap
Sawahlunto yang pernah aku ketahui. Selain Sawahlunto bukik barantai, ada yang
menyebut dengan Kota Tambang, Kota Orang Rantai, Kota Tua, Kota Kuali dan kini
disebut-sebut sebagai motto “Kota Wisata yang Berbudaya.” Tidak tahulah mana
yang dapat popular oleh masyarakat. Yang jelas tentu akan tetap bertahan dengan
istilah “Kota Kuali,” tersebab Kota Sawahlunto berada dalam lembah, dikelilingi
perbukitan, terlihat semacam kuali atau kancah besar.
AMRAN NUR |
Bentang alam kota Sawahlunto memiliki ketinggian sangat
bervariasi, yaitu antara 250 meter sampai 650 meter di atas permukaan laut.
Bagian utara kota ini memiliki topografi relatif datar meski berada pada sebuah
lembah, terutama daerah yang dilalui oleh Batang
Lunto, di mana di sekitar sungai inilah dibentuknya pemukiman dan
fasilitas-fasilitas umum yang didirikan sejak masa pemerintahan Hindia Belanda.
Sementara itu bagian timur dan selatan kota ini relatif curam dengan kemiringan
lebih dari 40%.
Walau pun aku tidak pernah saling kenal atau pun bertemu
semasa hidup Ir. H. Amran Nur, putra
kelahiran Talawi, 13 Oktober 1945 dan meninggal di Jakarta, 22 Juni 2016, tanpa
mengunjungi Kota Sawahlunto pun, aku menaruh hormat kepada beliau. Karena dalam
rentang periode sejarah kepemimpinan kepala daerah, ada 2 nama tokoh tercatat
dan harum namanya sampai kini yakni Ali
Sadikin ---Gubernur DKI Jakarta dan
Anas Malik ---Bupati Padang Pariaman. Kedua tokoh ini berhasil membangun daerah
dengan konsisten dan berpandangan kebudayaan. Padahal keduanya berlatarbelakang
dunia ketentaraan. Ali Sadikin dari Angkatan Laut dan Anas Malik dari Angkatan
darat.
Khususnya bagi Provinsi Sumatera Barat, setelah Harun Zain, Azwar Anas, Anas Malik dan Syahrul Ujud, hampir-hampir tak
terdengar kepala daerah sebagai tokoh pembawa keberhasilan, menangani daerahnya
dengan visi nilai-nilai kebudayaan yang tak hanya berupa retorika politis.
Menurutku, Amran Nur semasa menjabat Walikota Sawahlunto, selain memiliki
kemampuan inovasi juga mampu melakukan perubahan. Namanya harum. Karena Amran
Nur sebagai Walikota menerima “Kota Mati,” dengan dihentikannya penambangan
batu bara sebagai penghasilan utama daerahnya.
Amrun Nur juga Kepala Daerah yang pernah terpilih sebagai Walikota dalam 2 system pemilihan. Periode pertama 2003 melalui system perwakilan di DPRD setempat. Periode kedua 2008 dari jalur “independen.” Selama kepemimpinannya, Amran Nur mengubah “Kota Mati” menjadi “Kota Hidup.”
Kota Sawahlunto telah menghentikan penambangan batu bara. Aset yang ditinggalkan pabrik dan bangunan-bangunan tua peninggalan zaman Belanda, direnovasi. Dijadikan museum dan fasilitas penunjang kepariwisataan. Bekas penggalian tambang dijadikan danau. Sawahlunto merubah dirinya dari pertambangan menjadi destinasi pariwisata Sumatera Barat.
Amrun Nur juga Kepala Daerah yang pernah terpilih sebagai Walikota dalam 2 system pemilihan. Periode pertama 2003 melalui system perwakilan di DPRD setempat. Periode kedua 2008 dari jalur “independen.” Selama kepemimpinannya, Amran Nur mengubah “Kota Mati” menjadi “Kota Hidup.”
Kota Sawahlunto telah menghentikan penambangan batu bara. Aset yang ditinggalkan pabrik dan bangunan-bangunan tua peninggalan zaman Belanda, direnovasi. Dijadikan museum dan fasilitas penunjang kepariwisataan. Bekas penggalian tambang dijadikan danau. Sawahlunto merubah dirinya dari pertambangan menjadi destinasi pariwisata Sumatera Barat.
Keberhasilan kepemimpinannya tidak keberhasilan pencitraan.
Suratkabar Harian Republika memberikan penghargaan atas kerja keras Amran Nur.
Dia terpilih sebagai Tokoh Perubahan
Republika 2011. Setahun kemudian Majalah Tempo Jakarta yang terbilang
selektif memberikan penghargaan, menobatkan Amran Nur, Walikota Sawahlunto, Bukan Walikota Biasa sebagai Tokoh Tempo 2012. Tercatat dalam masa
kepemimpinannya Amran Nur telah menerima 34 penghargaan dan tanda jasa.
Kota Sawahlunto kini memiliki cagar budaya mengundang
perhatian banyak orang untuk datang ke Sawahlunto. Museum Kereta Api, Gedung Pusat Kebudayaan, Museum Gudang Ransum dan
Lobang Mbah Suro. Lokomotif “Mak Itam,” loko yang hanya sekarang
tinggal 2 di dunia, pun berhasil dikembalikan ke Sawahlunto dari Pulau Jawa.
“Mak Itam” merupakan loko dengan bahan bakar batubara, berjasa menarik gerbong
batu bara dari Sawahlunto ke pelabuhan Teluk Bayur sejak zaman Belanda.
Meskipun aku tidak dapat melakukan pemotretan secara
maksimal selama berada di Kota Sawahlunto, aku masih bisa mendapat sejumlah
objek foto sekadar mendokumentasi. Aku juga secara selintas dapat pula
mengunjungi jejak-jejak yang pernah “dibangkitkan” oleh seorang Amran Nur
semasa menjadi Walikota. Sayang, kita memang membutuhkan kepemimpinan setara
Amran Nur dalam masa ini. Namun sepertinya zaman yang terbentuk, kita teramat
sulit mendapatkan tokoh “kepemimpinan” semacam itu.
Selama berjalan kaki mengelilingi pusat kota, aku mencoba
memahami kenangan atas event Festival
Multikultural sebagai penghidup asset budaya yang terdapat di kota ini.
Event-event yang diselenggarakan mendiang Amran Nur seharusnya tetap dihidupkan
dan dikembangkan dari tahun ke tahun. Museum-museum yang sudah direnovasi tetap
semestinya terjaga dengan baik. Karena itu tak lagi hanya milik Kota Sawahlunto
tapi sudah milik kita bersama.
Penduduk kota Sawahlunto saat ini didominasi oleh kelompok
etnik Minangkabau dan Jawa. Etnik lain yang juga menjadi
penghuni adalah Tionghoa dan Batak. Sejak dijadikannya Sawahlunto
sebagai kota tambang batu bara atau sejak didirikannya kota ini pada abad
ke-19, pemerintah Hindia Belanda, mulai mengirim narapidana dari berbagai
penjara di Indonesia ke kota Sawahlunto sebagai pekerja paksa, sehingga sekitar
20.000 narapidana telah dikapalkan ke Sawahlunto. Pekerja paksa inilah yang
dikenal oleh masyarakat setempat sebagai Orang Rantai.
Cikal bakal dijadikannya Sawahlunto sebagai kota terkait
dengan penelitian yang dilakukan oleh beberapa geolog asal Belanda ke pedalaman
Minangkabau (saat itu dikenal sebagai Dataran Tinggi Padang), sebagaimana yang
ditugaskan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Penelitian pertama dilakukan
oleh Ir. C. De Groot van Embden pada
tahun 1858, kemudian dilanjutkan oleh Ir.
Willem Hendrik de Greve pada tahun 1867.
Dalam penelitian De Greve, diketahui bahwa terdapat 200 juta
ton batu bara yang terkandung di sekitar aliran Batang Ombilin, salah satu
sungai yang ada di Sawahlunto. Sejak penelitian tersebut diumumkan ke Batavia pada tahun 1870, pemerintah Hindia
Belanda mulai merencanakan pembangunan sarana dan prasarana yang dapat
memudahkan eksploitasi batu bara di Sawahlunto. Selanjutnya Sawahlunto juga
dijadikan sebagai kota pada tahun 1888, tepatnya pada tanggal 1 Desember yang
kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Sawahlunto (*)
abrar khairul ikhirma
Sabtu
3 Desember 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar