Makam Sutan Ibrahim yang bergelar
Datuk Tan Malaka di Desa Selopanggung,Kabupaten Kediri, Jawa Timur, akan
dipindah ke Pandam Gadang, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, kampung
halaman Sang Bapak Republik Indonesia dimana beliau dilahirkan.
MAKAM TAN MALAKA DI KEDIRI (Foto: JPNN) |
Nama Tan Malaka sudah kukenal semenjak bersekolah di sekolah
dasar. Termasuk dari bahan-bahan bacaan umum yang aku baca. Dia seorang orang Minang
berasal dari Payakumbuah ---begitu sebutan bagi kami orang pesisiran pada orang
yang berada di Luhak 50 Koto.
Sebagaimana nama-nama yang lainnya, aku tidaklah seorang
pengagum pada orang-orang ternama. Aku hanya seorang yang berusaha mengetahui
dan menaruh rasa hormat kepada orang yang pernah berbuat tidak seperti orang
biasa, apalagi berjasa untuk orang banyak. Termasuk pada seorang Tan Malaka.
Selain berjasa pada terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, aku merasa
terikut bangga, beliau adalah Orang Minang.
Setelah memasuki masa remajaku, sedikit banyaknya, aku
mengetahui banyak orang “beranggapan” Tan Malaka adalah seorang PKI, yang
dipahami banyak orang gerakan seperti PKI “disebut-sebut” di zaman Orde Baru,
melakukan “Peristiwa G30S PKI” yang dijadikan “momok” itu. Menjadi suatu “cap”
yang menakutkan dan harus dijauhi untuk disebut apalagi dikenali.
Tetapi itulah pemahaman orang banyak. Sesuai juga dengan
latarbelakang realitas mereka. Kita tak hendak belajar menggunakan fitrah kita
untuk mempelajari yang seringkali kita anggap benar, begitu juga terhadap yang kita
sering anggap salah. Benar menurut kita, rupanya tidaklah benar senyatanya.
Yang kita anggap salah, sama sekali ternyata adalah yang benar. Kita terjebak
dalam pemahaman kita sendiri dan sesuatu yang sudah umum tanpa mengukurnya
untuk mengetahui bagaimana kebenaran semestinya.
Sejak aku mendekatkan diri dengan bahan-bahan bacaan umum
dan buku-buku, sesuai pula dengan pertambahan usia dan pengalaman bertemu
banyak orang dan mendatangi berbagai tempat dan daerah, aku tak begitu
berpedoman pada “pemahaman orang” tetapi lebih menyukai kepada literature dan
akal fikiran. Patut dan mungkin. Termasuk dalam memandang tokoh semacam Tan
Malaka.
Suatu hal mustahil dalam kehidupan keseharian di
tengah-tengah lingkungan kita hidup, tidak pernah terjadi seseorang atau banyak
orang atau diri kita sendiri pernah menjadi “korban” dari perbuatan sesama
kita. Korban dari apapun kepentingannya. Kenapa hal semacam itu tidak kita
lihat juga dalam memahami seseorang pada “situasi” yang justru beragam
“politiknya.” Tetapi itulah kita pada umumnya, hanya senang “pekabaran” dan
memperturutkan “pemahaman” yang datang dari “mulut ke mulut.” Dari tiap mulut berbeda-beda “cara” dan
“suara” walau “mengatasnamakan” perihal yang sama.
“Revolusi memakan
anaknya sendiri.” Hal tersebut kerap dinyatakan para sejarawan dan
pemerhati terhadap nasib Tan Malaka. Di zaman Orde Lama beliau akhirnya menjadi
korban. Di zaman Orde Baru nama beliau “dihilangkan.” Di zaman sesudahnya
“dilupakan.” Zaman ini “terlupakan.” Apakah demikian “pembalasan” dari
“kenikmatan” suatu bangsa setelah ia
nyaris sepanjang hidupnya memperjuangkan
“kemerdekaan” yang kita nikmati hari ini dan seterusnya beralih ke anak
cucu kita nanti ???
Manakah lebih “penjajah” para penjajah yang masa sebelum
meraih kemerdekaan daripada kita sebagai bangsa dari suatu Negara sesudah
kemerdekaan ??? Agaknya perlulah kita renungkan. Setidaknya satu kali setahun
setiap perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia di 17 Agustus. “Jas Merah,”
kata Sang Proklamator Bung Karno.
“Jangan sekali-kali melupakan sejarah.” Sejarah Negara, sejarah bangsa dan
sejarah diri kita sendiri.
Semasa aku hidup dalam keluarga budayawan dan pengusaha
Sumatera Barat, Roestam Anwar, nama
Tan Malaka pun suatu hal tak asing menjadi bahan diskusi lepas dalam
keseharian. Setiap hari ada saja berdatangan sastrawan, budayawan, penjabat,
pengusaha, politikus, para akademisi, tokoh masyarakat bahkan hanya orang
biasa. Silih berganti datang ke rumah minum kopi “perintang hari. Roestam Anwar
salah seorang yang pernah ada pada Kongres Pelajar Indonesia yang pertama di
Negeri Belanda. Beliau saat itu belajar di Belanda. Ayahnya Anwar Sutan Saidi, pendiri Bank Nasional Bukittinggi dan pejuang
penyumbang biaya perjuangan kemerdekaan di Sumatera Tengah.
Pembicaraan perihal Tan Malaka, biasanya sekitar pemikiran
dan gerakan yang pernah dilakukannya. Termasuk “kemisterian” kematiannya.
Sebagaimana biasanya hal-hal tersebut menjadi bahan percakapan dari beragam topic
spontanitas pada keseharian hari-hari di teras sudut dalam, tempat santai
keluarga di Hotel Minang Padang.
Pada pertengahan tahun 1990-an berkesempatan berada di
Payakumbuh menjadi crew produksi sinema elektronik. Secara kebetulan mencari
setting perkampungan yang masih banyak terdapat rumah “bagonjong” untuk
dijadikan latar shooting. Rupanya kawasan kampung itu berada pada salah satu
lembah dimana jalannya melalui rumah kelahiran Tan Malaka. Aku hanya melihat
dari jalan saja. Sebuah rumah tua bagonjong tanpa penghuni. Rerumputan tumbuh begitu
saja. Aku tidak singgah. Rumah terletak di bahagian bawah jalan. Rumah sunyi. Kenapa
tak dijadikan museum dan dibuka untuk umum ??? Pikirku pada saat itu.
Beberapa tahun terakhir, diketahui rumah kelahiran Tan Malaka
yang terletak di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota, dijadikan
sebagai museum. Ternyata apa yang terbetik sekian tahun silam saat pertama
melihat rumah itu, akhirnya ada yang “bersedia” mewujudkannya. Tentu ke
depannya sudah mesti dikelola “bersama.” Pemerintah sudah seharusnya setiap
tahun menyediakan “hibah” anggaran biaya rutin untuk pengelolaannya dan
memasukkan ke dalam daftar destinasi wisata daerah. Tidak mesti harus dibuka
setiap hari tapi harus jadual tetap yang diketahui masyarakat dan biro
perjalanan/ travel agent. Mengingat jaraknya dari pusat pemerintahan cukup jauh
untuk dicapai para “pendatang.”
Bulan November tahun ini, bulan Hari Pahlawan, tersiar makam
Tan Malaka akan dipindahkan dari Kediri ke kampung halamannya. Upaya pemindahan
ini ditandai dengan kedatangan Wakil Bupati Lima Puluh Kota Ferizal Ridwan ke Kediri. Pemindahan
akan dilakukan di tahun 2017. Pemindahan pun akan diawali dengan berbagai
kegiatan yang berkaitan “penghormatan” terhadap Tan Malaka. Kita patut pujikan
upaya ini. Akan lebih baik tokoh yang identik dengan kesunyian ini, dibawa ke
tanah kelahirannya. Akan memperkuat keberadaan nama Suliki dan
“keterpeliharaan” sejarah . Mengingat juga Tan Malaka adalah seorang Datuk,
sosok pemangku adat. Dimana pemangku adat lazimnya “berkubur” di tanah kaumnya.
Nama Tan Malaka sepertinya tak terpisahkan dengan nama Harry Poeze. Harry Poeze sejarawan asal
Belanda selama ini, begitu gigih mengabdikan profesinya ---tak kurang memakan
waktu selama 30 tahun--- menelusuri sejarah kepahlawanan Tan Malaka yang
dianggap “misterius.” Tulisan-tulisan
dan buku-buku yang ditulisnya kian membuka ruang pemikiran dan pemahaman kita
akan Tan Malaka. Akan “sumbangannya” dalam mencetuskan terbentuknya Negara
Republik Indonesia.
HARRY POEZE (Foto: Antara) |
Perjalanan hidup Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka alias Tan
Malaka mungkin tidak terlalu terkenal dibandingkan tokoh layaknya Soekarno dan
Mohammad Hatta. Ini dimungkinkan Tan Malaka menjaga keselamatan dirinya untuk
memasuki berbagai lingkungan, tempat dan daerah, dalam melakukan perjuangan
menghadapi dinamika politik yang dilawannya. Namun kisah hidup yang diungkap
sejarawan Belanda secara rinci, merupakan suatu sumbangan berharga sejarah
tanah air, tentang pahlawan yang terkenal dengan slogan “Merdeka 100 persen.”
“Bukan hanya
riwayat Tan Malaka, namun saya tulis tentang latar belakang gerakan nasionalis,
komunis dan revolusi,” mengutip kata Harry Poeze, pada waktu acara pembedahan
buku Tan Malaka jilid IV yang ditulisnya di Jakarta waktu lalu.
Walau pun nama
Tan Malaka sejak lama sudah kukenal melalui bahan-bahan bacaan, namun sampai
hari ini, aku sendiri belum pernah membaca pemikirannya yang sudah dibukukan.
Begitu juga buku-buku tentang Tan Malaka yang kini sudah banyak ditulis dan
diterbitkan dalam berbagai sudut pandangan. Perkenalanku terhadap Tan Malaka
hanya melalui artikel-artikel di suratkabar yang pernah ditulis para penulis
dan mendengar pembicaraan lepas dari sejumlah budayawan dan praktisi. Bagiku
suatu hal yang cukup aku menaruh rasa hormat, karena beliau telah menghantarkan
negaraku menjadi sebuah Republik diantara Negara-negara yang ada di dunia.
Karenanya,
beberapa waktu lalu, jauh sebelum diselenggarakan suatu seminar sejarah Tan
Malaka di rumah kelahiran Tan Malaka di Pandam Gadang, diselenggarakan Tan Malaka Institute yang dikelola
kawan Ben Ibratama Tanur dan
kawan-kawan, aku pernah mengusulkan di laman group fesbook Tan Malaka,
sebaiknya setiap tahun diselenggarakan di Rumah Kelahiran Tan Malaka berupa
acara kesastraan; menulis puisi dan membaca puisi tentang Tan Malaka dan
bertemakan cinta tanah air. Termasuk menyelenggarakan setiap tahun lomba
menulis tentang Tan Malaka di kalangan pelajar sekolah menengah, terutama di
Kabupaten Lima Puluh Kota, dengan hanya menuliskan sebuah pertanyaan saja, “Siapa Tan Malaka Menurutmu.”
Hal-hal tersebut
sesungguhnya suatu jalan sederhana penghargaan kepada seorang tokoh pahlawan,
termasuk untuk melaksanakan pemindahan makamnya dari Kediri ke Pandam Gadang.
Penghargaan yang mesti ditanamkan kepada para regenerasi kita terus menerus.
Agar menghargai jasa para pendahulu dalam menikmati alam kemerdekaan (*)
abrar khairul
ikhirma
abrarkhairul2014@gmail.com
Kamis 8 Desember 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar