[Tulisan ini tidak Kertas Kerja untuk seminar.
Hanya ditujukan untuk apresiasi penghormatan ---sebagai orang sastra yang
pernah bersama Numera pada “Anugerah Puisi Dunia Numera 2014”--- untuk menyambut
akan diselenggarakannya peristiwa sastra internasional, “Seminar Sastera
Melayu-Islam 2017” oleh Persatuan Sasterawan Numera dengan Masjid Abdul Rahman
bin Auf, pada 28 – 30 September 2017 mendatang di Kuala Lumpur, Malaysia]
Antara Jam Gadang dan Pasa Bawah di
Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia, dihubungkan salah satu jalan
berupa tangga termashur namanya yakni, “Janjang
Ampek Puluah,” sesuai anak tangga jenjang tersebut berjumlah 40 buah. Pasa
Ateh – Pasa Teleang – Pasa Bawah, sudah terbentuk sejak masa silam, sebagai lokasi
berdagang (rakyat), pasar tradisionil dengan keramaian hari pekan Rabu dan
Sabtu.
Ada apa dengan Janjang Ampek Puluah ???
Nama objek tersebut dapat dijumpai dalam khazanah sastra
lisan (keseharian) masyarakat Minang dalam berpantun dan berpetatah-petitih,
berpameo dan bergurau. Nama objek terselip dalam pantun-pantun dan lagu.
Sebagaimana umumnya (mayoritas) berbagai nama tempat, daerah dan nama orang,
senantiasa menjadi inspiratif bagi masyarakat Minang dalam merangkai
“penciptaan” sastra lisan.
Bagi masyarakat Minang, “budaya tutur” jauh lebih mudah
daripada menuliskan. Bertutur spontanitas adalah hal biasa dalam keseharian.
Kiasan dan bermakna terjadi begitu saja pada setiap percakapan. Dengan bahasa
lisan dapat memainkan pelbagai intonasi. Intonasi berbeda tekanannya, membawa
“maksud dan tujuan” berbeda pula meskipun dengan kata dan kalimat yang sama.
Itulah salah satu gaya bahasa Orang Minang. Kaya dengan kiasan dan perumpamaan.
Janjang Ampek Puluah
adalah satu kesatuan dari kawasan yang disebut sebagai pasar Kota Bukittinggi. Sekeliling
Jam Gadang merupakan pusat perdagangan rakyat, merupakan pasar tradisionil
sejak masa silam bagi “Urang Agam”
dan “Urang Kurai” dalam “transaksi”
dengan “orang luar.”
Untuk satu masa, direntang tahun 60-70-an konon pada keramaian
setiap hari pekan di Bukittinggi, Rabu dan Sabtu, akan terlihat ada seorang
lelaki dengan matanya yang buta bermain alat music tradisi kucapi (kecapi). Lelaki itu bernyanyi dan memainkan kucapi di salah
satu anak tangga di Janjang Ampek Puluah, diantara keramaian orang turun naik
tangga.
Lelaki buta itu tidak hanya sekadar “keriangan hati” saja
bernyanyi dan bermain music. Dia mengharap pada orang yang tersuka dengan
permainannya, akan berbagi uang padanya. Uang itu dalam memenuhi kebutuhan
hidup anak dan cucunya.
Lelaki buta itu bekerja “menjual” kemampuan
seni-otodidaknya. Bekerja sesuai dengan kondisi “kebutaannya” tidak sekadar
menggunakan “keterbatasannya” untuk meminta-minta belas kasihan pada setiap
orang.
Lelaki buta itu namanya “Pakiah Geleang.” Namanya sangat
popular bagi masyarakat, terutama para
pedagang dihari pekan Bukittinggi. Nama
aslinya tentulah bukan Pakiah Geleang. Penamaan tersebut merupakan hal biasa
bagi Orang Minang. Penamaan semacam itu disebut nama “gala,” gelar diberikan orang berdasarkan
spesifiknya sebagai penanda seseorang.
|
SN DATO AHMAD KHAMAL ABDULLAH |
Tokoh Pakiah Geleang kemudian menjadi inspiratif bagi seorang
pencipta lagu Minang, Syahrul Tarun Yusuf
untuk menciptakan sebuah lagu berjudul, “Pakiah Geleang.” Lagu ini sampai hari
ini tetap popular sebagai salah satu lagu Minang Klasik. Pertamakali
dinyanyikan dan dipopulerkan dengan suara emasnya oleh penyanyi Minang
legendaries Elly Kasim di tahun 1970-an. Selain direkam pada bentuk pita
casset, juga dicetak ke piring hitam dan diputar tiap saat di radio-radio pada
zaman media hiburan masih terbatas di Indonesia.
Saya kutipkan bait pertama dan kedua dari lagu tersebut:
“Dahulunyo
(ondeh) di Pasa Teleang
Iyo
takaba si Pakiah Geleang
Jikok
banyanyi nyo manggeleang-geleang
Mangko
namonyo si Pakiah Geleang”
[Terjemahannya:
Dahulunya di Pasa (r) Teleang/ Sangat terkenal si Pakiah Geleang/ Kalau
bernyanyi ---kepalanya--- menggeleng-geleng/ Karenanya dinamakan si Pakiah
Geleang]
Hari
Rabaa (ondeh) jo hari Sabtu
Di
Janjang Ampek Puluah Pakiah balagu
Mancari
makan untuak anak jo cucu
Urang
mancaliak (sanak) rami di situ
[Terjemahannya:
Hari Rabu dan hari Sabtu/ Di Janjang Ampek Puluah Pakiah balagu ---bernyanyi/
Mencari makan untuk anak dan cucu/ Orang menonton ramai di sana]
Pada bait
pertama menggambarkan asal muasal dan memperkenalkan tentang nama sang tokoh,
Pakiah Geleang. Sedangkan bait kedua pekerjaan yang dilakukan Pakiah Geleang
dan tempat Pakiah Geleang bekerja serta menjelaskan tujuan dan kegunaan atas
uang yang didapatkannya. Sebagai suatu bentuk harfiah manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya.
Apakah
keistimewaan seorang Pakiah Geleang, sampai harus saya mengutip sebuah lagu
perihal beliau, untuk dijadikan topik pembicaraan tulisan saya ini ???
Berkait kepada
akan diselenggarakannya Seminar Sastera Melayu-Islam 2017 oleh Numera dan
Masjid Abdul Rahman bin Auf, Kuala Lumpur, Malaysia di bulan September 2017
mendatang. Dimana seminar akan menampilkan sejumlah pemikir sastra sekaligus
penyair --- akademisi sekaligus penyair dan akan dihadiri oleh penyair, orang
sastra, akademisi, melibatkan terutama dari Malaysia sendiri, Indonesia,
Thailand, Singapura, Brunei Darussalam, Bangladesh. Masih dimungkinkan, acara
ini juga akan terbuka dihadiri peserta dari Negara lainnya.
|
PENGUCAP UTAMA: HUDAN HIDAYAT GOZALI |
Seminar akan
menampilkan Hudan Hidayat Gozali dari Indonesia sebagai “pengucap utama.” Namanya
baru saya kenal sama-sama hadir di Anugerah Puisi Dunia Numera 2014 di Kuala
Lumpur. Belum pernah membaca tulisannya, pun juga tak mengikuti jejak rekamnya.
Hudan “saya ketahui hanya sebatas” waktu terakhir ini terlihat intens memiliki
“keterhubungan sastra” dengan tokoh Sasterawan Negara 11 Malaysia, Dato
Ahmad Khamal Abdullah, Presiden Numera Malaysia --- penggagas seminar
sastera yang akan diselenggarakan.
Dalam decade
terakhir ini, diakui atau tidak, dunia kesastraan kita khususnya, sangat terasa
tidak memiliki personal-personal yang “mengabdikan diri” kepada intensitas
kesastraan. Sementara perkembangan kesastraan itu sendiri, dalam beberapa tahun
terakhir ini, tumbuh bak cendawan di musim hujan. Terbantu pula dengan adanya media
social yang dimungkinkan oleh kemajuan hasil teknologi serupa internet.
Pertumbuhan
kesastraan jauh melesat. Karya-karya tiap saat dapat dituliskan dan diposting
melalui media social tanpa harus melalui seleksi, editing dan pertimbangan
seorang redaktur. Sangat jauh beda bila berhadapan dengan media cetak atau
media elektronik, setiap karya harus melalui persyaratan dan giliran untuk
dipublish.
Belum lagi
“kemeriahan” itu ditambah lagi, dengan munculnya berbagai komunitas di berbagai
tempat. Menghadirkan beragam kegiatan dengan aneka label, semuanya tak mau
kalah mengacu kepada “atas nama” daerah, regional, nasional dan internasional.
Kebebasan pelabelan itu, karena memang tidak ada aturannya. Sama juga setiap
orang bisa melabelkan dirinya sendiri sebagai penyair atau biar gagah dan hebat
sebagai sastrawan, kalau tak ada orang lain yang hendak melabelkan namanya.
Buku-buku
pun tiap saat diterbitkan. Dalam tempo singkat, seseorang bisa menulis 3 – 5
buku atau lebih. Nama-nama penerbitnya pun beragam. Begitu ramainya, sulit juga
untuk diingat nama penulisnya, nama buku, termasuk nama penerbitnya sendiri.
Tentu saja ketiga hal itu dapat disebut sebagai “segala baru.” Sesuatu yang
baru biasanya pula sudah biasa belum dikenal secara luas, seluas-luasnya. Dan
untuk “dikenal” itu tak dapat dipungkiri tak mudah, tidak “semudah” seperti
pelabelan, kemeriahan dan penerbitan yang tengah berlangsung.
Seperti di
kehidupan sastra Indonesia pada masa dahulu, ada nama yang dikenal, karena
peranannya dalam lajunya kesastraan serupa, HB Jassin dan A.Teeuw.
Ada Umar
Junus, Mursal Esten dan pada tingkatan lebih muda Korrie Layun Rampan. Mereka
rajin mengikuti dan menelisik karya-karya yang terlahir dan tumbuh berkembang
di jagat “sastra.” Dan kita akui bersama, hasil penelisikannya pun tidaklah mengecewakan.
Karena yang ditelisik memang “karya sastra” diantara karya-karya yang juga
bertumbuhan di sana-sini sesuai zamannya.
“Keterhubungan”
Hudan Hidayat Gozali dari Indonesia kepada karya-karya Kemala ---Dato Ahmad
Khamal Abdullah--- tampaknya sudah terjadi pada sebelum-sebelumnya. Pada
rangkaian Anugerah Puisi Dunia Numera 2014 yang silam, dia pun hadir selintas
di forum pembacaan puisi di Tun Sri Lanang, Dewan Bahasa Pustaka, Kuala Lumpur,
dengan cuplikan mengenai buku kumpulan puisi “A’yn” Kemala. Kemudian kalau tak
salah, melanjutkan terkait pembicaraan tersebut di UPSI ----University
Pendidikan Sultan Idris.
Sebagai
Pengucap Utama pada Seminar Sastera Melayu-Islam 2017, Hudan akan menuliskan
“ucap utamanya” dalam bentuk buku esei. Bulan desember 2016 ini, ia telah
memposting cuplikannya berkait untuk seminar di laman tertutup fb “NUMERA:
The new poetry of Numera’s and world poests.” Saya (sempat) sepintas
membacanya, tampaknya Hudan. mengurai pemaknaan dan keberadaan karya-karya
Kemala ---SN Ahmad Khamal Abdullah--- dalam perspektif karya sastra, unsure
Melayu, sejarah dan relegiusitas. Keterhubungannya sastra nusantara dan
kesastraan dunia.
|
SEBAHAGIAN DARI WAJAH YANG AKAN HADIR |
Selanjutnya
Ucap Utama Hudan, akan ditanggapi oleh penanggap yakni DR Arbak Othman dari Malaysia.
Selain Hudan, akan hadir sejumlah pemikir sastra dan akademisi sastra yang
sekaligus juga penyair, dapat dianggap mewakili zamannya. Mereka akan membentangkan
kertas kerja. Misalnya sekadar menyebut
nama saja seperti DR Ahmad Taufiq dari Jember (Indonesia) akan mengurai tentang Pujangga
Ronggowarsito dan Chairil Anwar. Drs. Dasril Ahmad dari Padang
(Indonesia) akan mengurai sastera daerah (?).Mungkin berkait dunia kepenyairan-keislaman
di Ranah Minang. DR Phaosan Jehwae dari Pattani (Thailand) mengurai atmosfir
kesasteraan di negaranya.
Terutama
tentu mungkin dapat “dibaca” semua topic kertas kerja adalah merupakan yang
dapat dijadikan sebagai gambaran perjuangan kesastraan dan perjuangan keislaman,
yang akan diangkat sebagai pembicaraan pada forum seminar nantinya. Termasuk
kehadiran Aminur Rahman dari Bangladesh. Semakin melengkapi maksud dan
tujuan dari peristiwa yang akan diselenggarakan.
Seminar
Sastera Melayu-Islam 2017 bertemakan “Melestari & Mengabdi Sastera Melayu
Islami.” Dimungkinkan dari peristiwa
sastra ini, akan banyak dipetik jejak-jejak sejarah, lintasan atau pendalaman
terhadap keberadaan sastera yang bernafaskan keislaman di nusantara ini. Baik
pada kesastraan lama maupun sastra modern. Tentu saja dapat memetakan pembicaraan
dalam menyikapi perkembangan kesastraan Negara serumpun, kenusantaraan yang
terikat dalam etnik-budaya-agama. Termasuk mengungkap keberadaan dunia
kepenyairan di Negara masing-masing selama ini, kekinian dan masa datang.
Merujuk
kepada hal tema dan topic yang akan dimunculkan pada seminar tersebut, terutama
berkait dengan keislaman, saya seketika teringat, terutama dalam kehidupan seni
tradisi masyarakat di Minangkabau yang menjadi bahagian dari wilayah budaya
nusantara, kesastraan yang Islami itu sudah “hidup” sejak lama pada sastra
lisannya. Telah memiliki sejarahnya yang panjang, setidaknya dimulai dari era Datuak Katumangguangan dan Datuak Perpatih Nan Sabatang. Sesuai
dengan landasan hidup etnik Minangkabau, “Adaik
basandi syara’ – Syara’ basandi kitabullah.” (Adat bersendikan agama, agama
bersendikan kitab --- Al Qur’an).
Salah satu
contoh perihal kisah tokoh semacam si Pakiah Geleang, misalnya, yang saya
kemukakan ini. Saya melihat pada tiga hal terhadap topic Pakiah Geleang yang
saya sebutkan.
Pertama: Pakiah Geleang sebagai “seorang
tokoh.”
Pakiah
Geleang tidak sekadar hanya mengandalkan bermain music dan menyanyi untuk
mendapatkan uang sebagai pemenuhan kebutuhan hidup keluarganya saja. Tetapi ia
berperan untuk bersyiar keagamaan lewat
seni sastra (lirik pantun) dan seni suara (bernyanyi) sekaligus seni music
(kecapi), kepada setiap yang mendengar ia menyanyi, agar tetap menjalankan
ibadah (sholat) sebagai orang Islam.
Seperti yang
digambarkan oleh bait lagu Pakiah Geleang berikutnya:
Matonyo
buto (ondeh) hatinyo tarang
Jo
kucapi Pakiah lah badendang
Pantun
jo lagu manyuruah urang
Sakali
jangan (sanak) tingga sumbayang
[Terjemahannya:
Matanya buta tapi hatinya terang/ Dengan
kecapi Pakiah berdendang/ Pantun dan lagu menyuruh ---menghimbau/mengingatkan---
orang/ Sekali jangan tinggalkan sholat]
Kedua: Pakiah Geleang sebagai “sebuah
lagu.”
Lagu Pakiah
Geleang diciptakan tahun 1970-an ini oleh seniman penciptanya, menurut saya
merupakan teks karya sastra bernafas Islami. Seperti banyak lagu-lagu Minang
Klasik yang pernah popular di blantika pop music Minang, mayoritas mengambil
dan menyerap dari “kesastraan lisan,” tradisi yang hidup di tengah kehidupan
kebudayaan masyarakat Minang. Sehingga lagu tersebut disenangi dan akrab bagi
masyarakat. Popular sepanjang masa, semacam lagu Pakiah Geleang ini.
Dengan
adanya lagu ini, tokoh Pakiah Geleang yang bersyiar agama di Janjang Ampek
Puluah akan tetap diingat dan dicatat. Dari
masa ke masa.
Pakiah
Geleang sebagai sebuah lagu, selain bentuk hiburan tapi berperan sebagai suatu
kelanjutan kesyiaran Islami yang telah dilakukan oleh Pakiah Geleang, untuk
“mengingatkan” agar masyarakat terhadap kewajiban melaksanakan ibadah.
Ketiga: Pakiah Geleang Sebagai Simbol
Zaman.
Saya
menyimpulkan, Tokoh Pakiah Geleang dan lagu Pakiah Geleang, adalah salah satu
dari symbol perjalanan zaman. Simbol dari upaya “syiar” dan upaya “pemenuhan”
kebutuhan hidup. Dimana keduanya, merupakan suatu tantangan untuk menjalankan
dalam satu kesatuan bersamaan pada “seseorang.” Salah-salah kegiatan “syiar”
dianggap komersil. Atau sebaliknya “komersil” dianggap memanfaatkan “syiar.”
Tetapi
penekanan pembicaraan saya ini, dengan mengambil sample Pakiah Geleang, tidak ke arah perubahan zaman perihal “penyelewengan”
atas “kepentingan-kepentingan” terhadap keagamaan. Namun saya menekankan, tokoh
Pakiah Geleang, dapat menjadi symbol, dimana kita merindukan orang seperti dia
disaat gebalau zaman, dimana kita memerlukan suri tauladan dan akhlak yang baik.
Karenanya
sebagaimana di bait akhir lagu Pakiah Geleang, saya kutipkan:
Sajak
nyo pasa (ondeh) habih tapanggang
Si
Pakiah Geleang kini lah hilang
Namun
lagunyo dikana urang
Itu
kisahnyo (sanak) si Pakiah Geleang
[Terjemahannya:
Sejak pasar habis terbakar/ Si Pakiah
Geleang kini sudah hilang atau tak ada lagi/ Namun lagunya diingat orang/
itulah kisahnya si Pakiah Geleang]
Tidakkah ini
sebagai suatu kisah simbolik sangat actual pada hari ini ???
|
ABRAR KHAIRUL IKHIRMA |
Ketika
terjadi musibah kebakaran yang meluluh-lantakkan pasar, kemudian untuk membangun
kembali pasar yang dibutuhkan oleh banyak orang perlu proses.
Tentu saja tidak
secepat proses kebakaran yang menghancurkan.
Ketika
proses pembangunan selesai, bangunan baru dan suasananya juga baru, waktunya
tidak lagi sama, sang tokoh Pakiah Geleang tak pernah terlihat lagi.
Dia yang
buta dan bernyanyi di Janjang Ampek Puluah tinggal cerita.
Hanya sebuah
lagu pop, kemudian dapat mengabadikannya (*)
Sambil minum kopi ketika dinihari
Dari pantai barat, 20-21 Desember 2016